Chereads / Takdir Yang Ku Tulis / Chapter 16 - ARTHA

Chapter 16 - ARTHA

"Kau bisa mengendarai mobil?".

"Tidak!"

Defiance tak bertanya apapun lagi. Aku tak tahu ia akan membawaku kemana kali ini. Ia tak mengatakan apapun. Yang membuatku trerkejut adalah, ia membeli banyak buket mawar putih sebelumya. Tapi semua itu hanya ditaruh begitu saja di lantai mobil

"Kita akan bertemu dengan seseorang yang penting"

Aku hanya mengikutinya. Ini adalah observasi. Aku tak paham apa maksud dari semua hal yang ia lakukan. Menurutku, Artha meninggl tepat sebelum pernikahan. Jadi kurasa, mereka bukan suami istri. Lalu kenapa Dafiance mengatakan, bahwa ia adalah istrinya. Apa ada kaitannya dengan harta ya?.

"Ini, adalah dokter yang menyatakan Vine meninggal"

"Oh, Hallo,Kau datang lagi hari ini, Defiance. Kenapa?. Apa ada yang bisa aku bantu?" Tanya dokter itu.

"Defiance, mengeluarkan sebuah kertas. "Saya berencana akan mengundang anda dok, untuk peringatan 10 Tahun Artha"

Dokter itu menerima kertas itu. Kurasa itu adalah undangan. Ia membukanya dan membacanya sekilas.

"Oh, 10 tahun ya?" Dokter itu berkomentar. "Masih tak bisa melupakannya?". Defiance mengalihkan pembicaraan.

"Kenalkan, ini Escada Hope, ia adalah seorang penulis"

Dokter itu menyalamiku. "Oh, Hallo"

"Aku memintanya secara khusus untuk menulisakan kisah Vine kedalam novelnya, aku mohon bantunanya ya dok"

Dokter itu, menghela nafas. Ia melepas kacamatanya.

"Emm…Aku mulai dari mana ya?"

"Selamat datang" Wanita tua ini menyapa kami dengan cukup ramah. "Aku, Jeka dan Kau?" tanyanya.

"Namanya Hope, Kami akan berkeliling sebentar di rumah duka, jika kau tak keberatan ibu Jeka".

Wanita itu berdiri dan memanggil seseorang.

"Ikuti Pak Dan ya, kurasa ruangan itu sedang kosong, Tapi jangan terlalau lama, kasihan, teman Anda sepertinya ia tak suka rumah duka. Apa kau bisa melihat hantu?"

Aku tak percaya orang ini menanyakan hal tersebut. Syukurlah aku tak bisa melihat hantu. Bukan berarti aku tak bisa merasakan hawa jahat para roh halus tapi. Mengingat aku ini benci dengan apa yang disebut kematian, harapanku satu. Bisa nggak di skip aja bagian gak penting ini?. Gak bisa pasti ya.

"Silahkan. Saya nyalakan AC nya dulu ya."

Kami berdua masuk pada blok ini. VIP memang. Tapi tetap saja mengerikan. Ruangan terang benerang, aura kegelapan.

"Pak, Mau kemana?" ia kaget aku berteriak.

"Aduh, mbak takut?, nggak papa ka nada Masnya yang itu.

"Aduh Pak jangan ditinggal donk, buka aja pintunya!" aku merengek. Defiance, hanya melihat, tak bereaksi apapun. Memang dia orang mati. Mati rasa. Mati semua. Seperti beberapa peti mati yang berjajar pada blok-blok lainnya. Gila. Aku benci kematian.

"Kalau dibuka nggak Dingin Mbak!"

"Pak, Kalau ditutup, bisa-bisa saya yang mati berdiri Pak!"

****************************************************

Setelah, rumah sakit, rumah duka, sekarang makam. Aduh, trip de Hell beneran hari ini. Aku ahrus membawa se-ikat mawar putih pula.

"Aduh kok pucat banget sih? Takut ya?" Tanya penjaga makam.

Aku hanya tersenyum. "Takut, kok ya ikut sih!"

Kalau tau mau dibawa ke makam ya nggak ikut Buk.

Setelah berjalan melalui beberapa blok makam besar. Kami tiba di sebuah bukit yang padat. Padat penduduknya, maksudku padat dengan mereka yang sudah meninggal. Kurasa tanah ini, pasti mahal. Melihat gaya makam di kanan dan kirinya sangat bagus.

MakamVine Arthapun juga besar sekali. Dengan kursi dan meja. Buat apa sih dibuatkan begian juga?. Ini sangat memakan banyak lahan menurutku.

"Di sini, Dia biasanya bisa duduk berjam-jam memandai batu nisan itu" Jelas penjaga makam padaku.

"Ibuk, tau banget ya?, sudah kenal banget sama yang tidur di situ?"

Ia tertawa. Namanya juga penjaga makan, ya tau pasti semua kebiasaan peziarah di sini. Apalagi yang model-model kayak begitu. Biasanya, aku tungguin bisa sampai pagi mbak, duduk begitu"

Benar juga, penjaga makam pasti paham betul, ya.

"Ini, sih masih enak, pas lagi ramai-ramainya. Coba datang pas nggak cimbing, wah sepi. Bisa banyangkan?~Duduk sendirian, meratapi kepergian orang yang dicintai. Bukan 1 atau 2 jam. Seharian"

Aku merasa semakin aneh dengan Defiance. Kayak orang mau mati aja, berlama-lama di makam. Atau, persiapan ya. Persiapan untuk mati.

"Mbaknya, ke sini naik apa?"

"Saya?~" ibu itu mengangguk."Sama dia buk!"

Ibu itu langsung memukul dahinya. "Aduh, kok bisa sih, liat deh, dia udah pose duduk begitu, lama itu!. Mau nungguin sampai pagi?, paling cepet malam lo!"

Ha?, aduh aku terjebak rekerasi taman makam ini namanya. Mana aku tahu, kalau Defiance se-deperesi itu. Tadi dia cuma bilang, mau ke makam untuk memberikan inspirasi novelku. Siapa sangka, kalau begini jadinya. Aku yakin, mungkin ini adalah alasan mengapa ia menanyaiku, "Bisa naik mobil?", gimana ya.

"Terus buk, bukanya orang biasanya jam 6 malam udah pada pergi dari makam. Kalau dia duduk begitu sampai pagi terus…?"

Penjaga makam itu tertawa. "Ya, ibuk, atau anak ibuk tungguin. Masa ya di tinggal. Kan kasihan."

"Tapi entah, kenapa ya, Saya tu heran. Dia itu kok, ya nggak pernah kesurupan gitu, padahal umumnya kalau malam-malam ke makam kan…..Tau kan maksud ibu?" Ibu penjaga makam ini tertawa bahagia lagi.

"Di Ganggu HANTU maksud nya?"

Ibu tadi menepuk pundakku dan tertawa. "Bukan Ibuk lo ya yang bilang!"

"Buk, Hantunya tu, takut sama dia!"

"Ha? Kok bisa?"

Aku dengan sedikit bercanda menjawab. "Ya iyalah, dia rajanya!"

Kami berdua tak kuat menahan tawa. "Ha ha ha , bener kamu!" semoga Defiance nggak denger.

"Nama kamu siapa?, Nama ibu, Marni. Barang kali ntar ketemu di jalan kan bisa pangil-panggil gitu…ha ha ha"

"Hope Buk!"

Dari arah belakang. Seorang bapak menepuk pundak Bu Marni. Ia langsung menoleh

"Di sini rupanya, Ini ada yang nyari!"

Bu Marni langsung menyalami orang yang berada di samping suaminya.

"Buk, saya mau jemput temennya, Pak Ian. Tadi pesenya, saya suruh jemput jam 4 di sini!"

"Oh, Yang ini?" Ibu itu menunjuk ke arah ku.

Dan aku bersyukur, itu adalah sopir yang biasa mengantar Defiance.

"Cie, Nggak jadi camping romantis di sini?."