Chereads / Takdir Yang Ku Tulis / Chapter 18 - TAKUT

Chapter 18 - TAKUT

"Banjir?!"

Aku mengulangi apa yang Litta sampaikan padaku malam ini.

"Iya banjir, Jakarta banjir!" tegas Litta padaku. "Hujan deras sejak jam tiga sore tadi sampai sekarang belum berhenti. Dari berita, kita bisa lihat, jalan yang harus kita lalui untuk pulang tergenang setinggi dua meter!"

Aku benar-benar putus asa mendengarnya.

"Terus buk, saya gimana ?".

Litta menjawab dengan santai "Ya, tidur sini!" katanya sambil menata makanan di meja makan untuk ku.

"Aduh! Nggak bisa gitu donk!"

"Mau bagaimana lagi non, hujan nya aja sederas ini. Jakarta banjir, belum lagi resiko longsor kan!" kali ini bapak sopir yang ikut berkomentar.

"Udah nggak papa, tenang aja, Ian juga nggak ada kok sampai minggu depan! Sudah tidur aja di sini dulu! Ada banyak kamar kosong!"

Bukan masalah kamar kosong, tapikan masa tidur di rumah orang. Sial banget nasibku ini. Lagian kok bisa sih banjir lagi. Bukannya harusnya udah nggak banjir ya.

"Gimana sih, pasti nggak pernah baca berita ya, kali emang banyak yang sudah di normalisasi. Tapi ingat, apa semua orang sudah sadar untuk tidak mendirikan rumah kembali di sekitar sungai. Apa semua orang sudah sadar untuk tidak buang sampah di sungai. Terus, pedagang kaki lima apa semuanya sudah tertib tidak berjualan di jalanan?"

Aduh ibu Litta membuatku semakin pusing. Masa iya sih, sampai segitunya.

"Ingat, beda pemimpin, beda momok!"

"Iya benar itu! Dulu kan pemimpinya, he he he menakutkan, tapi semua orang jadi tertib, nggak berani macem-macem. Sekarang sih pemimpinnya baik, sopan….."

"Stop!" Litta menahan Pak Burham untuk berceramah lebih jauh lagi "Kita nggak lagi ngomongin orang lain ya. Mau kamu dituduh penistaan jabatan terus dipenjara 2 tahun?" bentak ibu Litta pada temannya itu.

Pak Burham pun segera menyudahi ocehannya dan pergi dengan sedikit kesal.

"Udah, nggak papa ya, tidur aja di kamarArtha. Kalau takut nanti ibu temenin deh gimana?. Dari pada pulang terjebak banjir kasihan Pak Burham. Dia itu orangnya mudah panik soalnya"

Aku menghela nafas panjang. Aku meletakkan kepalaku ke meja. Mau tidak mau aku harus membuat keputusan.

"Nah, begitu donk, Dari pada kena banjir kan ya. Ayo dimakan dulu. Tapi yakin nih, nggak mau ditemeni? Situ nggak takut?"

"Takut?, Takut apa ya Buk?"

***********************************************************

Kurasa praduga Litta cukup masuk akal. Ini adalah kamar milik orang yang sudah mati. Siapa yang tak takut. Lagi pula Fifi menceritakan betapa pucatnya aku saat mengunjungi rumah duka dan persemayaman. Wajar, jika di mind set Litta aku adalah penakut. Aku jadi teringat kata-kata Litta.

"Setahu Ibu sih, sebenarnya Artha nggak pernah tidur kamar itu kok. Malahan kamar itu kosong dan nggak penah ada yang masuk. Lebih tepatnya nggak boleh masuk. Sebenarnya kamar itu terdiri atas dua kamar yang di bongkar menjadi satu. Tepat setelah kematian Artha, Ian menyuruh arsitek datang dan membuatnya menjadi sebuah kamar besar. Terus pas udah jadi, yang boleh masuk cuma dia sendiri. Ibu juga nggak boleh deket-deket. Asal Hope tau aja, bapak sendiri lo yang manata semua hal yang ada di dalamnya. Selama ini dia juga yang membersihkan kamar itu sendiri. Cuma, kemarin, pas Ian mau pergi tiba-tiba, ibu disuruh bersihkan. Tapi ibu nggak pindahain apapun dari tempatnya. Dan Kamu adalah orang pertama yang dia perbolehkan utak-atik barang-barang yang ada di kamar itu!"

Hmm Kamar baru. Kurasa alasan itulah yang membuatku tak merasa takut sama sekali dengan kamar ini. Secara harfiah, ini memang bukan milik siapapun. Mungkin ini adalah museum khusus untuk mengenang almarhum. Lihat saja semunya masih baru. Bahkan tempat tidur ini juga baru. Seprei ini juga baru. Apa tidak apa-apa jika aku tidur di sini. Fifi apakah tidak akan marah. Bagaimana jika aku merusaknya secara tidak sengaja.

"Masa sih dia hafal, nggak mungkin lah. Terakhir Tiger masuk kamar ini adalah dua tahun lalau. Setelah itu ia tak pernah lagi masuk ke kamar itu! Lagi pula kalaupun ia masuk di tahun-tahun sebelumnya, ia hanya duduk saja, tak menggunakan apapaun, atau mengutak-atik apapun"

Apa kata-kata Litta yang satu itu bisa di percaya ya. Entahlah. Hujan juga masih belum berhenti. Padahal ini sudah jam 10.00 malam. Bagaimana ini. Aku juga tidak bisa tidur. Sangat membosankan.

Aku beranjak dari tempat tidur dan mencoba mematikan lampu. Sekarang kamar ini jadi gelap. Aku mencoba untuk tidur. Satu dua jam berlalu dan mataku tak juga mengantuk. Aku bangkit dan menyelakan kembali lampu. Di TV, acaranya sudah tak terlalu bagus. Film-film kuno yang terus diulang-ulang pemutarannya. Sementara stasiun TV yang lain. Masih mengabarkan bagaiman banjir di ibu kota. Tak ada yang istimewa. Tentu saja ini sudah 00.00. Sebentar lagi akan pagi.

Apakah aku terkena penyakit yang disebut insomnia?. Kurasa tidak, mengingat hari-hari sebelumnya aku bisa tidur dengan nyenyak. Ini hanya masalah kebiasaan saja. Mungkin kamar ini lebih bagus dari kamar kecilku. Namun tetap saja ini bukan milikku.

Aku mondar-madir di kamar. Hujan sudah berhenti. Dengan membuka pintu balkoni, aku harap aku bisa melihat sesuatu yang menarik. Ya, langit malam di pegunungan. Hal yang jarang bisa dinikmati jika berada di dataran rendah seperti Jakarta.

Kata orang buku akan bisa mebuatmu tidur lebih cepat. Akupun mencoba menelisik kumpulan buku yang tertata rapi bagiakan di perpustakaan. Mulai dari A sampai Z. Judul pada punggung buku bisa kubaca dengan sangat jelas. "Perahu Kertas" aku mengambilnya. Astaga ini masih baru tak tersentuh sama sekali. Aku mengmbalikan novelitu ketempatnya semula. Aku coba ambil secara acak lagi. Siapa tahu aku beruntung. "The Unfortune event" . kali ini novel terjemahan. Di terbitkan tahun 2000. Tapi ini juga masih baru. Apa-apaan ini.

Aku melakukan hal yang sama pada novel itu. Aku mencoba mengambil buku lain secara acak. "Harry Potter" tapi ini masih baru seperti tak tersentuh. Jangan-jangan semua buku ini adalah buku baru. Karena penasaran, aku mencoba mengambil buku secara urut. Dari yang berjudul A. secara bergantian. Masih baru. Masih bagus. Masih ada label Harga. Yang ini seperti tak pernah tersentuh. Ini terbitan lama tapi tak terbaca. Kenapa semua buku di sini adalah buku baru. Apa benar ini adalah buku yang Vine Artha miliki. Jika aku mengecek semua buku, aku yakin pasti semuanya sama. Ini adalah dua rak paling bawah yang sudah ku cek. Dan semuanya, tak pernah terbaca.

Mataku tertuju pada rak paling atas. Terlalu tinggi. Melompat pun aku tak akan sampai. Sebuah ide terlintas. Kursi yang ada di pojok, aku tarik dan kugunakan sebagai tangga. Dan benar saja semua buku ini baru. Walaupun ada tanda tangan pengarangnya, semuanya ini adalah baru. Untuk apa dijajar jika semua nya baru. Kenapatidak sekalian saja, biarkan plastic pembungkusnya menempel.

Diantara banyak buku di bagian atas. Sebuah buku terlihat tebal dan berbeda. Aku mengambilnya. Buku ini tanpa judul. Bersampul cokelat. Tak bisa dibuka. Ini bukan buku. Tapi sebuah kotak didesain mirip buku. Kenapa?. Bagaiman cara membukanya. Tak ada gembok.

Setelah ku bolak-balik buku cokelat ini, aku memutuskan turun dan mengembalikan kursi. Aku menguncangkan buku ini. Sepertinya ada sesuatu di dalam sini. Bagaimana aku bisa membukanya. Aku melirik jam analog di dinding. Sudah jam 02.00. Sudah pagi rupanya. Jika Fifi tak mengizinkan siapaun masuk, artinya, Fifi juga tak mengizinkan siapapun membuka buku ini.

"Kau adalah orang pertama yang diperbolehkan menguta atik isi kamar itu" kata-kata Litta terngiang di telingaku kembali.

"Aku harus pergi, Kau boleh melihat-lihat benda apa saja yang Artha Miliki.."

Dengan berbekal kata-kata Fifi saat ia menelponku kemarin, aku memasukkan buku ini kedalam tas secara diam-diam. Dengan begini akan ada sesuatu yang kosong di atas sana. Aku mengambil buku yang mirip dari sudut terbawah. Aku meletakkannya di atas. Siapun akan mengira, aku megambil novel di bawah bukan diatas.

Tak cukup di situ. Aku juga masih penasaran, apakah semua barang di sini baru ya. Mengingat buku dengan 8 tingkat semuanya baru. Ada kemungkinan barang-barang lainnya di sini baru. Aku memulai dengan meja rias. Laci pertama. Eye shawdow. Dari berbagi merek mahal. Ambil secara acak. Buka. Tak ada goresan sedikitpun. Aku membaliknya.

"Exp date 28 Jun 2011"

Sudah tujuh tahun lalu. Aku ambil yang lain. Buka, sama! Ukiran di tiap warna terlihat sangat jelas. Tak pernah dipakai.

Laci kedua. Foundation. Semua sudah kadaluarsa. Ambil salah satu. Ini tak pernah dipakai. Sama sekali. Laci samping, hanya berisi lipstick dari pallet sampai cair. Walaupun tak tersegel dan sudah tak bisa di pakai. Ini tak pernah tersentuh sama sekali. Ini semakin aneh. Aku menutup kembali semua laci. Duduk menghadap kaca. Dari kaca ini aku bisa lihat semua isi kamar. Lemari pakaian,rak buku, alat fitness…

Sudah ku putuskan. Aku akan membuka Walking Closset. Ini sudah jam 03.00. Sepertinya seseorang sudah bangun dan memasak. Aku mendekatkan telinga ke pintu. Iya benar. Litta berbicara pada beberapa orang.

"Iya Sahur aja dulu. Ada makanan yang sudah dimasak oleh Indah. Ambil saja di dapur."

Benar ini adalah Ramadhan. Pasti Litta dan beberapa orang berpuasa. Dengan mematikan lampu, pasti mereka mengira aku masih tidur.

Walking Closet. Bukan salahku membukanya. Toh juga tidak terkunci. Almari pertama. Gaun-gaun tahun 2000 an. Label sudah tidak ada, tapi siapa pun akan tahu ini bukan gaun yang sudah beberapa kali dipakai atau bahkan sama sekali tidak terpakai. Rak sepatu. Ukuranya 38. Semuanya. Tak ada yang berbeda ukuran. Di lihat dari brand, ada bermacam-macam. Aku ingat, saat aku membeli sebuah sepatu dengan brand yang tidak biasa.

"Aduh, kok nggak cukup ya mbak. Padahal ini dua nomor di atas yang biasa aku beli lo. Masa kakiku tambah gede?"

"Oh , beda merek biasanya beda ukuran kak. Tiap brand memiliki patokan sendiri-sendiri. Jadi memang harus di coba" jelas SPG nya padaku waktu itu.

Jika dilihat-lihat, semuanya sama. Di lihat sekilas saja, aku langsung tahu, sepatu paling atas dan bawah. Memiliki perbedaan beberapa cm. Sepatu ini tak pernah di coba. Untuk memastikannya. Aku mengambil yang terlihat paling kecil. Ini tak muat. Sedangkan yang paling besar di nomor yang sama. Muat! Muat di kakiku!.