"Kamu dapat buku ini dari mana sih?" Jason, hanya bisa membolak-balik buku cokelat yang kubawa.
"Dari, te-Men?" Jason terlihat tak mempercayai kata-kataku
"Bukanya Kamu yang punya Café BookShop dengan segala koleksi buku, harusnya kamu tau cara buka buku semacam itu?" jawabku.
"Apa?"
"Iya, aku bawa ke sini, harapaku adalah, Kamu bisa kasih tau aku gimana cara buka buka yang model ini.Ya paling nggak kamu yang punya café bookshop pasti tahukan cara membuka buku semacam ini"
Jason mulai berfikir. Ia meletakkan kembali buku ke meja kami. Ia melihat ke arah perpustakaan miliknya.
"Di antara semua buku yang pernah aku beli sebagai koleksi. Memang ada banyak jenis cara membukanya. Ada yang harus dengan kombinasi kode. Ada juga yang dengan kunci biasa. Tapi ingat, kunci hanya dipakai jika ada gemboknya. La ini, flat, nggak ada penguncinya."
Jason benar. Hal serupa juga terlintas dipikranku saat itu.
"Terus gimana donk?, Aku mau baca isinya" Aku terlihat sangat memaksa kali ini. Sebagai seorang kutu buku. Jason pasti punya jalan keluarnya.
"Ya mau nggak mau harus di silet untuk membuka isinya"
Aku menyandarkan tubuhku pada kursi. "Bukannya, nanti nggak bisa dikembalikan lagi seperti semula?"
"Terus apa masalahnya, ini buku kamu kan?. Kecuali kalau ini bukan milik kamu! Dan Kamu harus mengembalikannya dalam keadaan utuh!. Karena yang punya nggak tau kalau kamu ambil!"
Aku tertawa kecil menutupi bahwa aku mencurinya dari Fifi. Aku perlahan mengambil dan memasukkanya kembali ke dalam tas.
"Jadi bener ya, kamu curi ini?"
"Eh enggak ya, aku cuma pinjem kok, Ntar dibalikin!"
Jason tak percaya, "Oh Ya?!, terus pinjem itu , yang punya tau apa eng -nggak?"
Aku menggeleng. Bodohnya aku. Itu sama saja mencurikan. "Ah, udah anggap aja, balas dendam, toh ini, yang punya ini, orangnya ngeselin banget kok" Kataku membela diri
"Udah deh, mau bantuin buka nggak sih?"
Jason berfikir sejenak. Ia bangkit dari tempat duduknya ke meja bartender. Ia mengambil silet.
"Jangan donk!"
"Ini satu-satunya jalan" Jawabnya dengan tetap merobek bagian sisi-sisi buku tersebut dengan rapi.
"Balikinnya gimana Ntar?"
Jason berusaha focus. "Kalau nggak bisa dibalikin, buat ulang lagi aja gimana?. Aku kenal orang yang bisa buat buku kayak gini persis!"
"Yakin bisa sama?"
Jason hanya diam tak menjawabku kali ini. Mungkin ia sedikit kesal padaku yang terus nyerocos dari tadi.
"Nah sudah!~Ayo kamu liat sendiri aja isinya….."
Aku segera meraih buku itu. Jason memang hebat, hasil siletannya sangat halus dan rapi. Seandainya aku yang melakukan pembedahan, bisa dipastikan , isi dan bukunya jadi terlihat luar biasa abstrak.
***************************************************
"Kamu kapan Pulang?"
Aku masih Di café Shop dengan Jason duduk di depanku. Membuka-buka benda yang ada didalam buku itu. Siapa sangka, Defiance menelponku. Aku tak boleh mengatakan bahwa aku mengambil buku dari kamar Artha. Percakapan ini harus terlihat se-natural mungkin.
"Oh, masih empat hari lagi. Langsung pulang apa harus kemana dulu?"
Aku mendengarkan baik-baik apa apa yang Fifi sampaikan padaku.
"Iya, tapi banjirnya udah reda makanya, tadi jam 10 aku pulang. Eh maaf ya, aku sampai tidur dikamar Artha lo. Tapi aku udah beresin kok!"
Jason memeperlihatkan padaku sebuah tulisan tangan tegak bersambung. Sudah tak terlalu jelas. Harus ditebali terlebih dahulu untuk membacanya.
"Iya, hallo, hallo, kenapa tadi?. Langsung pulang ya. Ok deh. Bye"
Telepon ku tutup dan beralih pada dia yang sibuk di depanku.
"Jason kalau ditebali dulu, bisa ketahuan donk".
"Ya tapi kalau nggak mana bisa kebaca tulisannya."
***********************************************
~Rumah Fifi~
Pagi ini setelah mengambil duplikat dari Jason, aku kembali ke kamar Artha. Kali ini Litta menceritakan beberapa hal penting, yang ia tahu padaku. Tentu saja semua sudah ku kembalikan dengan rapi pada tempatnya. Ku harap, Fifi tak akan memeriksa isinya. Jason sudah menebali dan mengkopi isi dari buku tersebut. Jika Defiacne membukanya, ia pasti akan langsung tau, bahwa seseorang telah menebalinya. Goresan tangan json, tak sebagus Artha. Aku hanya berharap pada keberuntungan saat ini. Mengingat, Tiger tak pernah masuk lagi kemar ini sejak dua tahun yang lalu. Harusnya ia juga tak akan masuk lagi setelah ini.
"Sebenarnya, kalau dipiki-pikir, Dulu ada berapa foto Defiance terpajang di sana, di tempat lukisan itu menggantung sekarang. Tapi, entah alasan apa,Tiger mengambil, dan memindahkannya. Itu dulu foto pre-Wed mereka."
Aku mecoba bubur yang Litta masak pagi ini.
"Kalau orang tua Tiger, sejak, kematian Artha, mereka memutuskan untuk kembali ke rumah mereka dulu. Rumah ini, sebenarnya direncanakan untuk Artha dan Defiance setelah menikah nanti. Tapi, Artha menolaknya. Ia memilih untuk tinggal di Villa lain yang lebih kecil. Oleh karena itulah, orang Tua Ian memutuskan tinggal di sini. Tapi. Setelah Artha meninggal semuanya menjadi kacau. Tiger, tampak seperti orang depresi. Ia sempat bertengkar dengan ibunya. Akhirnya, sang ayah memutuskan untuk pulang, dan kembali ke rumah mereka."
Dari cerita Litta aku bisa sedikit menarik benang merah, tentang isi surat yang sudah kubaca berulang-ulang semalam.
"Umur?, berapa ya, kalau nggak salah Artha berumur 24 tahun dan Tiger 2 tahun lebih tua saat itu"
***********************************************
~Perpustakaan Pusat Kota~
"Berita sepuluh tahun lalu?" Janiarta Winarto, seorang pustakawan, memandangiku dengan aneh, ia merasa tak yakin untuk menjawab pertanyaan dariku.
"Koran atau majalah ya~, wah susah. Tunggu ya. Kalau tidak salah pada tahun 2006 kan sudah ada internet, kenapa harus cari yang vesi cetak sih?"
"Saya butuh berita yang beda versi Bu"
Jania menelpon seseorang.
"Ke sini ya".
Tak lama diapun datang
"Ini, Pak Dodi" Jania memperkenalkannya padaku. "Ikuti beliau ya, tapi saya juga nggak janji kalau yang kamu cari itu ada."
****************************************************
Aku paham dengan semua itu. Semua media mengabarkan hal yang sama. Kecuali satu. "WARTA KOTA JAKARTA". Sayang koran ini tak mampu bersaing, sehingga kantor beritanya harus tutup sekitar tujuh tahun yang lalu. Bukan karna tak mampu mencari pembaca setia, melainkan ia harus gagal berkompromi dengan beberapa pihak, sehingga perusahaannya, mau tidak mau harus di bubarkan.
"Sebenarnya, Kamu mau tanya apa sih, dari tadi muter-muter aja, Tante kan jadi bingung?"
Ini adalah hari ke dua aku mencari bukti dari hal yang selama ini rapat tersembunyi.
"Kalau kamu tanya, siapa nama lengkap Vine, Tante tau…Tapi kalau kamu mau tanya, yang nabrak siapa namanya, tante nggak tau Hope"
Aku hanya terdiam kecewa. "Terus, kalau Vine, tante pernah ngobrol nggak sama dia?" tanyaku lagi.
"Lo ya pasti pernah, tapi udah lama banget sih, emang kenapa?" ia bertanya lagi padaku.
"Dia punya pacar lain nggak?"
Tante lina pun speechhless dan tak menjawab apapun.
*********************************************
~Di sebuah Klinik Swasta ~
"Nyonya, Amelia…"
Sesosok wanita bangkit dari tempat duduknya. Ia tersenyum sebentar sebelum akhirnya masuk ke dalam ruangan.
Lima menit kemudian nama lain di panggil.
"Bapak Doni"
"Ya, saya mbak…"
Diapun segera masuk, segera setelah pasien sebelumnya keluar dari ruangan.
Pria paruh baya itupun juga tak lama berada di ruangan. Setelah ia keluar perawat bangkit dari tempat duduknya dan memanggil orang lain.
"Baru pertama kali?" Tanyanya.
Wanita di depannya hanya tersenyum saja. Setelah membuat beberapa catatan, sang perawatpun mengantarkannya masuk ke dalam.
"Dok, ini datanya….ini yang terakhir, saya akan langsung pulang dok" Dan perawat itupun keluar.