Chereads / Takdir Yang Ku Tulis / Chapter 24 - DEFIANCE

Chapter 24 - DEFIANCE

Lagi, lagi dan lagi. Berapa kalipun di ketuk. Prinsip pemilik villa adalah sama. Tak akan dibukankan. Ia hampir tak mengenal satu orang pun di lingkungan ini. Abaikan saja. Jika bukan orang minta sumbangan pastilah para pelancong yang mencari Villa murah untuk disewa. Sungguh udara di luar terasa sangat panas. Terik sekali. Di tambah irama ketukan pintu yang semakin keras. Siang itu perbukitan mendadak berubah menjadi padang Kalahari.

Tak mau menyerah, kali ini, tamu tanpa undangan mengubah ritme musik ansambel miliknya. Jika sebelumnya ia menggunakan nada dasar C minor, Kali ini naik ke Z mayor. Tak perlu mencari arti dari kuci Z mayor dalam buku panduan bermusik. Karena Z berarti level gebrakan paling keras yang pernah kau dengar. Siapkan saja mental dan pikiran yang kuat untuk mendengarnya. Karena ini akan lebih terdengar seperti hentakan kaki para gajah meyerbu pondok-pondok di sekitarnya.

Saat kita SD dulu, aku yakin, pasti semua orang pernah mempelajari proses pelapukan yang akhirnya mempengaruhi jenis-jenis tanah di muka bumi. Tidak ingat?. Paling tidak pasti pernah dengarlah. Simpelnya, jika batu besar, tiap hari diberi tetesan air selama lima tahun, pasti akan berlubang juga. Dalam kasus Pintu Villa Misterius ini, tak butuh waktu lima tahun, hanya sepuluh menit setelah adanya tekanan kuat dari pengetuknya.

"Kalau Kamu tutup aku,…Aku akan ,…Aku.." mendadak aku jadi bingung mau mengancamnya dengan model apa. Aku akan membuatmu menyesal seumur hidup?. Caranya bagaimana. Aku akan lapor polisi?. Rumah dia , aku yang akan dilaporkan. Aku akan cerita ke semua orang kalau kamu itu membuat kebohongan publik. Hidup, hidup dia, mana ada yang peduli. Aku akan bunuh kamu! Sadis amat. Ingat upah dosa adalah maut.

Pada akhirnya aku tak temukan jurus jitu untuk mengancamnya. Ia membuka pintu dan tidak menutupnya lagi. Tak ada komentar keluar dari mulutnya. Ia juga tak terlalu memusingkan aku yang bingung dengan kata-kataku sendiri. Ia hanya ngelunyur pergi begitu saja. Tanpa menutup lagi pintu yang sudah terbuka. Malahan aku yang berinisiatif menutupnya. Siapa tahu, akan ada orang-orang yang berniat jahat. Memang aku ini sepertinya tak berbakat menjadi criminal.

Jason yang menungguku di dalam mobil sempat mengingatkakn aku sebelum aku melakukan semua hal ini.

"Terus, kamu kamu bilang apa?". Tentu saja aku tak pikir panjang, langsung turun dan meyakinkan temanku itu.

"Udah, tenang aja, aku yang atur!"

Nyatanya semua itu hanya bualan semata. Sekarang aku malah yang harus memutar otak setelah menemukannya. Dia dengan santai masuk ke dapur dan duduk meja makan. Hanya ada dua kursi. Ia duduk di kursi yang menghadap halaman belakang.

Halaman belakang yang luas. Tapi rumah yang sempit. Mungkin ini tipe 36. Dengan dua kamar. Aku bisa lihat indahnya perbukitan dari sini.

"Siapa yang kasih tau aku disini?"

"Eh! Stop! Aku yang Tanya! BUKAN Kamu!" semoga setelah ini aku nggak kualat. Mengingat dia itu lebih tua dari aku.

Aku meletakkan tas di meja dan membuka-buka isinya. Defiance hanya menuruti saja perintahku tanpa ada perlawanan. Semoga aja nggak ketinggalan pikirku. Ada, ini dia.

"Maksud kamu apa sih!"

Defiance tak mengambil buku rekening yang kuletakkan di depan tangannya. Hanya dia pandangi saja. Kamu kira itu makanan, cuma dia pandangi saja.

"Aku tanya, kenapa kamu kasih lebih! Terus yang kedua, kenapa kamu kasih padahal aku belum kasih bab terakhirnya!"

Ia masih membisu. Dasar ni orang apa jadi bisu ya. Aku udah meledak-ledak dia cuma diam aja. Nonton dagelan Pak!.

"Kamu itu maunya apa sih?" masih tak bereaksi. Kursi-kursi, berasa ngomong sama kursi.

Aku kembali mengacak-acak isi tasku. "Ini, Bab terakhir. Sesuai keingiann Anda. Aku nggak mau ya dibilang cuma mau uangnya aja!"

Dia hanya meliriknya tanpa komentar. Tambah panas hatiku. Di kira aku ini apa.

"Jangan cuma diem donk. Wis nggak ada bedanya sama orang mati!"

"Iya, aku sudah suruh Rita Hardja selesaikan bab terkhirnya" responya dengan nada datar tanpa rasa bersalah.

"Rita adalah penulis terkenal, jadi aku bisa pastikan semuanya akan bagus. Jangan khawatir, aku tak akan menulis namanya. Novel itu, akan tetap dicetak dengan namamu sebagai penulisnya. Rita juga sudah setuju. Aku akan kirimkan cetakan pertamanya"

JEDERRRRRRRRRRR!Bak petir di siang bolong. Ternyata dia. Dan dia. Aku sampai nggak bisa ngomong. Aku tarik kursi. Ku grak meja dengan tangan kiriku.

BRAKKKKKKK!. Dia kaget secara pontan.

" Gue Nggak ngerti ya! Otak Lu tu isisnya apa!" kali ini aku sudah tak bisa mengontrol emosiku padanya. Dulu dia pecat aku terus kasih sisa kontrak. Sekarang, dia bayar lunas tapi suruh orang lain selesaikan. Apes banget nasib gue kerja sama dia.

"Lu orang suruh aku tulis, aku tulis. Terus tba-tiba kamu suruh orang lain tulis endingnya. Mau ku kirim ke Menur kamu! Tau nggak menur?. Rumah Sakit Jiwa di Surabaya!"

Kedip-kedip. Defiance hanya diam tak begerak memandangiku.

"Itu namanya penghinaan tau!"

Ya ampun, dia masih diam. Tapi tidak apa-apa. Setidaknya, aku bisa meluapkan semua rasa kekecewaanku padanya.

"Kamu tau, Aku tu ya, udah susah-susah ngarang, pinjem laptop. Jalan kesana kesini. Bohong. Melawan nurani. Melawan rasa keadailan. Aku tulis tu semua cerita bohong tentang hidup kalian. Dan sekarang, kamu cuma diam. Kamu suruh orang lain selesaikan! Hei Pak! Kenapa nggak dari awal aja kamu suruh Rita tulis?!"

Setelah berteriak-teriak lebih dari tiga puluh menit aku merasa capek. Tenggorokannku mulai sakit. Tapi rasanya agak plong juga. Defiance, dia hanya mengubah posisi duduknya sedikit. Salah satu tangannya ia gunakan untuk menopang kepala. Wajahnya membuatku kesal. Ah sudahlah aku putuskan untuk bangkit berkiri dan pergi. Pesan terakhirku adalah,

"Suruh Si Rita itu tulis semua dari awal, Dialebih bagus kan tulisannya. Aku nggak mau ada beban moral! Kamu kira gampang, menulis kebohongan dengan lebel, Based on Tru Love!. Dasar Penipu!"

Kali ini dia bereaksi. "Aku nipu kamu apa?".

"Masih ngeles aja!"jawabku sambil membetulkan tas dan pergi. Dia sedikit terusik dengan kata-kataku.

"Aku cuma mau ngomong, terserah kamu mau bohong sampai kapan. Ingat, Orang yang hidup dalam dunia khayalan itu sama dengan orang mati! Kenyataan itu pahit, Tapi kita ini bukan tokoh novel, jadi hadapi!"

Defiance menarik tanganku. "Kamu ini ngomong apa sih?"

"Apa kata-kataku kurang jelas! Wake Up! Berhentilah berbohong! Bukan ke aku atau orang lain tapi pada dirimu sendiri"

Sepertinya ia tak terima dengan ucapanku. "Aku bohong apa?, Aku merugikan kamu?. Atau aku ganggu kamu?"

Cengkraman tanganya semakin kuat. Aku berusaha melepaskanya.

"Jangan Kamu kira aku nggak tahu ya, sebelum ke sini aku melihat buku yang ada pada barisan pertama urutan ke lima sudah berpindah posisi ke urutan ke tujuh. Kamu udah paham kan apa maksudku!"

Defiance seperti menelan udahnya sendiri.

"Tenang aja, aku nggak akan bilang ke orang lain kok tentang kenyataan yang terjadi antara kalian bedua. Itu urusan kamu, sama Tuhan!~ Aku cuma minta hapus aja namaku dari novel kamu, tulis nama kamu sendiri, Aku nggak mau ikutan dosa dan menyebar kebohongan ke orang lain tentang kisah kematian Artha"

Tanganku dilepaskan olehnya. Dia mengambil kunci yang melekat pada handle pintu.

"Nggak usah kaget begitu, aku sudah tahu cerita sebenarnya. Artha tidak mati karena tertabrak mobil, melainkan…"

"Ia dibunuh oleh Ken?" Lanjut Defiance atas statement yang ku keluarkan. Ia mencoba memeberi penekanan bahawa analisaku salah.

"Lebih tepatnya, Dia bunuh diri gara-gara KAMU!!"