"Jadi yang kasih tau kalau kamu ke sana itu bukan si Qila itu?"
"Bukan!"
"Terus Ngapain Ai sampai segitunya nya sama kamu?. Dendam apa dia sama kamu?"
Aku mencoba menjelaskan pada Jason, bahwa Ai adalah adik dari Artha. Ia membutuhkan banyak uang untuk biaya kuliah. Selama ini Artha yang merupakan model Freelance yang membantu keluarganya mencari nafkah.
"Oh, Jadi cewek cantik itu sebenarnya, bukan pedangang asongan di Pantai gitu?'
"Ya mana ada pedang cantik gitu?. Dia sebenarnya model. Yang waktu itu Cuma settingan aja. Akal-akalnya dia biar bisa deket sama targetnya."
Jason masih terus bertanya. Kami masih saling bercerita.
"Ya, jadi gitu. Sejak kakaknya dikabarkan meninggal, Ai langgsung tahu kalau sebenarnya, Defiance selama ini adalah target operasi. Ia tahu berkat surat Artha untuk sang ibunda. Melihat kenyataan Defiance, mengabaikan surat itu, Ai langsung punya ide"
"Memeras orang yang patah hati?"
"Lebih tepatnya bekerja sama!" kataku memeberi penekanan.
"Kamu tahu, Ibu Artha mati-matian memohon agar anaknya bisa dimakamkan di samping Sang kekasih, tapi Ai, adalah orang yang mendukung rencana Defiance, untuk memisahkannya. Ai meyakinkan ibunya, kalau hal terbaik adalah tidak membongkar aib Artha dan Defiance. Ia juga turut membantu dalam konferensi pers. Ia juga yang mengawasi kalau-kalau ada orang lain yang berusaha membongkar kenyataan antara Ken dan Artha"
"Terus sebagai imbalannya?"
"Jelaskan. Imbalanya adalah uang kuliah dan santunan se-umur hidup. Kalau sehari aja telat, AI akan membocorkan semuanya ke publik. Mereka biasa bertemu di pemakaman. Dengan begitu, nggak akan ada yang curiga"
Cerita ini belum selesai, aku masih melanjutkan bagaiman ceritanya sampai dia bisa tahu aku mengunjungi makan Ken.
"Oh, Jadi Ai juga yang kasih tahu, tahu gitu, kita nggak usah ke ruamah Artha ya."
"Nggak juga sih, emang udah jalannya gitu kali." Jawabku. Aku juga menjelaskan pada Jason tentang apa yang terjadi kemarin di Villa. Pertengkaran kami berdua, sampai semua hal yang aku tanyakan pada Defiance, si tersangka utama. Dan hasilnya.
"Ya, Nggak apa-apalah, tapi yang pentingkan uangnya udah di kamu kan?. Jangan sampai kerja sia-sia"
"Emmm, Sebenarnya, Uangnya Gue udah balikin ke dia, buku tabungannya gue lempar ke muka dia"
"Ohhh, Apa?" Jason berteriak kaget mendengar kebodohan yang aku lakukan.
"Iya, gue kasih ke sono semuanya. Males banget kan terima uang dari orang jahat kayak gitu. Penghinaan itu namanya!"
"Tapi ada ATM nya KAN?" Jason bertanya dengan santainya.
Aku tersenyum " Nggak ada, aku kasih ke dia juga".
"Kamu kasih ke Dia juga?, gimana ceritanya, rugi donk!. Tapi tunggu kamu bilang kan DP nya msuk ke rekening kamu iya kan?, Berarti paling nggak amasih ada DP kan?"
Aku menggeleng lagi. "Ya DP nya udah aku jadikan satu juga ke buku tabungan yang dia kasih...."
Jason syok berat. Aku msih berusaha memebela diri. Membuatnya percaya bahwa yang aku lakukan adalah hal yang benar. Bukan hal yang salah. "Ya, kan aku kira, aku nggak usah terlibat apapun sama dia kan, dari pada ntar urusannya panjang. Aku juga nggak sangka, kalau hasil akhirnya kayak gini.."
"Ya tetap aja, hasilnya kamu nggak ada uang kan sekarang?"
Tebakannya tepat sekali. Akibat ulahku dengan bumbu kecerobohan yang sudah aku lakukan, aku tak bisa mendapatkan apapun. Hanya buang-buang waktu dan tenaga. Padahal. Kalau ku ingat lagi. Aku menulis, dengan laptop Jason. Awalnya aku mau kasih sekitar 5 % sebagai, ucapan terimaksih saat project ini selesai. Faktanya, karna yang ku dapat minus, aku tak lebih hanya bisa bisa kembalikan laptpo miliknya dengan selamat dengan tanda terimakasih berupa statement saja.
Dilihat dari segi manapun, sepertinya memang aku lah yang salah. Tapi aku tidak mau disalahkan, aku lebih nyaman menyebutnya, kurang beruntung. Satu-satunya kesalahan yang aku buat, adalah melibatkan Jason dalam setiap penyelidikan yang sudah aku buat. Sebagai akibat akan hal tersebut, tentu saja patner in crime ku ini, marah-marah. Ia merasa tak puas dengan apa yang sudah ku lakukan. Menurutnya, harusnya aku tak perlu ikut campur urusan orang lain. Harusnya, aku cukup bertanya baik-baik dan membuatnya yakin, aku tak akan menggangu kehidupanya.
Apa boleh buat, Mangga sudah terlanjur menjadi jus. Tidak bisa terulang lagi. Lagi pula, satu-satunya yang wajib disalahkan di situasi ini, adalah keadaan. Yang ke dua adalah Takdir. Ingat kita semua lahir dengan takdir yang sudah Tuhan tulis di masing-masing diri kita. Jadi kesalahanya, adalah pada Takdir yang kejam.
"Ya, Nggak bisa salahin takdir dong, kita semua punya pilihan!!!!" sedikit banyak ia benar. Tapi aku lebih benar.
"Udah deh ya, kan udah terjadi, diomongin juga percuma"
"Terus? sekarang kamu mau apa?" tanyanya lagi.
Aku cengar-cengir. "Ada pekerjaan nggak buat aku?"
Jason membuatku mengulangi pertanyaan. Ia tak yakin pada telinganya. "Aku bolehkan kerja di sini, ada lowongan buat aku?"
"Nggak ada LAH!" jawabnya.
"Bisa cuci piring standar café?"
"Nggak"
"Ngepel?"
Aku berfikir keras.
"Ok, Coba senyum yang manis ke customer"
Jason meng-ekpresikan senyumku yang tak ramah. Lanjut ke pertanyaan berikutnya "Bisa bikin kopi?"
"Bisa!" jawabku semangat.
"Ok, sebutkan jenis-jenis Kopi yang kamu tahu?"
Dan ting tong aku tak bisa menjawabnya. "Hitam, Putih,agak hitam"
"Salah!" potong sang pemilik café padaku. "Mana ada hitam, putih agak hitam!"
"Bisa kabur semua pelanggan café lihat kamu jadi barista!" tambahnya melanjutkan.
"Terus gimana donk?" renggekku pada sahabat terbaik yang aku miliki saat ini. "Ya. Nggak tau, coba kamu nggak bikin gara-gara, paling nggak kamu bisa dapat kerjaan tu di kantor mantan bos kamu!"
Dan ucapannya seratus ribu persen tak salah sama sekali.