Natal Tiba . Aku masih bekerja di café. Belum mendapatkan pekerjaan yang baru. Ini sudah jalan empat bulan. Yang berbeda ada Bellarmus datang padaku hari ini.
"Gimana setuju nggak?" Tanya manager pemasaran pada Jason. Ku rasa pemilik café ini masih akan menimbang-nimbang tawaran Bellarmus untuk bekerjasama.
"Ada sekitar 100 orang akan datang, kita pinjam lantai 3 aja untuk bedah buku. Sebenarnya bukunya terpesan 300 eksemplasr sih, tapi ya kita estimasi aja 100 orang yang datang. Kan pasti nggak semua orang mau datang." Tambah Ganita.
"Tapi, kita minta 1 % ya, dari apa yang mereka pesan sebagai fee." Tambah Bellarmus dengan serius.
"Terus, biaya sewa nya gimana?" Tanya Jason. "Perusahaan Pak, yang akan bayar, tapi kita minta fee juga ya 0,5 % . 0,5 Buat saya dan 0,5 buat Ganita. Kalaupun harga makanannya mau dinaikkan juga nggak masalah, semua bisa kita atur?"
Jason bangkit dari tempat duduknya. Dan mengambil telepon. Ia terlihat menelpon seseorang. Aku hanya terdiam di meja oval ini. Seperti kesatria meja oval.
"Halo, Patrik, Lu suruh orang pinjam café gue?" tanyanya. Entah kenapa wajah dua orang manager itu berubah. Ia tersenyum sedikit takut. Gina membisikkan sesuatu ke telinga Bellarmus. Dan sebaliknya, mereak bicara bisik-bisik.
"Oh, Gitu, Ok Deh, karena kita kan Teman ya, terus ni penulisnya juga teman gue. Gratis aja lah biaya sewanya!"
"Kok gitu!" celetuk Bellarmus. Sementara Jason masih terus beicara dengan santai dan suara yang kencang.
"Ah, kita kan teman baik pas kuliah, anggap aja, ini rasa terimakasihku sebagai sahabat~. Konsumsi?"
Jason tertawa dan memindahkan handhonenya ke telinga sebelahnya.
"Makanan mah, biar mereka pesan sendiri-sendiri gimana OK?"
~Acara Peluncuran Buku~
"Baik semunya sudah siap?, Kita akan mulai acaranya!"
Aku tak pernah menyangka, kalau bukuku akan selaku ini. Aku hanya penulis amatir yang mencoba peruntungan di dunia menulis. Setahuku novel pertama tak terlalu laku. Tapi kali ini dari lantai satu sampai lantai tiga full. Mereka datang untuk meminta tanda tangan dan menghadiri acara peluncuran buku. Sebenarnya buku ini sudah mulai beredar sekitar dua minggu lalu. Tapi karena banayak peminat akhirnya, mereka berinisiatif melakukan peluncuran buku.
"Kita akan dengarkan synopsis Buku dari Nona Escada Hope selaku penulis" seru MC di acara ini. Semua bertepuk tangan dan aku mendekatkan microfon ke wajahku.
"Jadi buku ini bercerita tentang…".
Begitulah hidup. Adakalanya apa yang selalau kita kejar malah lari. Sedangkan yang kita kerjakan denagn santai malah datang pada kita. Memang manusia bisa berharap dan berusaha, hasil akhirnya masih ada ditangan Tuhan. Mengingat Tuhan tak suka di dikte.
"Ok, demikian lah sinopsis singkat dari buku yang sudah kita semua miliki, Berikutnya kita akan membuka sesi Tanya jawab" Suara MC di acara ini sangat merdu sekali. Siapa saja yang mendengar suaranya pasti akan langsung meleleh seperti lilin yang terbakar.
"Yak, Kakak yang ada di pojok sana, silahkan berdiri dan sebutkan nama Anda, baru pertanyaan ya. Tolong untuk panitia memberikan microfon…"
Seseorang di barisan pojok belakang berdiri. "Perkenalkan nama saya Dewi Sartika Angrani Aerul Rahman Wijaya". Nama yang panjang sekali.
"Saya ingin bertanya kepada penulis, apa yang sudah anda lakukan, untuk merubah hidup teman anda . Sebagai teman harusnya Anda mengambil tindakan yang baik untuk merubah teman Anda ke arah yang lebih baik, di sini saya belum bisa menangkap usaha anda untuk membuat teman anda kembali kekehidupan nyata "
Mc menampung pertanyaan demi pertanyaan.
"Mengapa kakak malah memilih nama-nama fiktif ketimbang nama asli, bukanya kalau novel dari kisah nyata akan lebih bagus kalau nama-nama tokohnya sama dengan di kehidupan nyata, siapa tahu mereka bisa jadi terkenal ?"
Aku tak bisa memberikan jawaban yang layak bagi mereka semua. Faktanya, aku menulis, tidak untuk merubah apapun. Aku hanya mengikuti kata hatiku. Aku tak pernah berharap orang yang ku tulis kisah hidupnya berubah seperti yang aku inginkan. Ending di novelku memang aku yang buat, tapi akhir kisah hidup seseorang, orang itulah yang harus membuat pilihan.
Yang aku lakaukan hanya melihat peluang, keganjilan, dan mencoba membaginya pada orang lain. Mengingat aku tak terlalau banyak teman, menulis adalah salah satu jalan bagiku untuk bercerita. Berbagi ide dan melupakan. Jika ini bisa disukai orang lain, maka ini yang di sebut Mukjizat. Jika mereka tak suka, itu wajar, karena suka dan tidak suka adalah masalah hati. Tak seorangpun berhak memaksakan.
"Harapan saya menulis kisah ini adalah, semoga di dunia ini tak akan ada lagi Tino Lardiansyah lainnya. Juga Anita Rue lain dalam rupa seperti apapun. Semua yang sudah kita jalani tak perlu disesali. Seburuk apapun orang memperlakukan kita, lupakanlah mereka. Maafkanlah dia. Terlebih jika orang itu sudah tidak ada lagi didunia ini. Relakan kepergiannya.
Hitler pernah bilang, karanglah sebuah kebohongan, dan bungkuslah dengan rapi. Maka kebohongan akan jadi kenyataan. Dia lupa, dengan berbohong, kita tidak merugikan orang lain. Tapi diri kita sendiri. Kebohongan itu akan menyiksa kita. Membuat kita terus berfikir bagaimana caranya membuat orang lain yakin. Kita ini kan tidak hidup dalam dunia anime. Kita tak perlu menciptakan dunia penuh khayalan seperti Mugen Tsukoyomi. Hiduplah di dunia nyata. Hadapilah dunia nyata. Rasakan sakitnya. Temukan obatnya"
Aku mengakhiri sesi pertanyaan dengan banyak tepuk tangan. Terdengar indah bukan. Karena aku tak menjalaninya. Mungkin, bagi mereka yang menjalaninya, kata-kataku tak lebih dari sekedar bualan. Rasa sakit hati, membuat siapapun saling benci. Saling hina, saling serang, saling menghujat. Sampai muncul meme-meme kocak di instagram.
Di hand phone, chat Jason berkali-kali muncul di layar. Ia memintaku untuk membuat MC bersuara merdu itu mau bicara dengannya. Aku sengaja tak membuknya karena semua chatnya isinya sama
"Jangn lupa ya, fb. Nomor Wa, Telegram, Line, IMO . Ig….."
Aku sudah membalasnya sekali, tapi ia masih saja terus mengirim chat yang sama. Jadi aku putuskan hanya melihatnya saja. Ia tampak tak puas. Dari tempat duduknya. Ia memberi isyarat. Buka chat, buka cha!. Ya seperti itulah. Aku hanya mengkode bahwa aku tahu apa yang harus kulakukan. Ia tampak masih belum puas rupanya. Jadi aku membuka dan membalasnya.
"Demikianlah seluruh rangkaian acara hari ini, untuk berikutnya bagi yang ingin berfoto, atau minta tanda tangan di persilahkan untuk antri terlebih dahulu"
Aku sadar ini adalah kesempatan yang bagus. Setelah ia menutup acara aku buka pesan Chat terakhir Jason.
"OK, selesai, masuk"
Dan langsung di read. Ia bangkit dari bangkunya, menghapiri, Fiona. Dari tempatku duduk terdengar samar-samar.
"Halo, makasih sudah bantu acara hari ini, Saya Jason. Saya temanya Hope….." Dan seterusnya dan seterusnya. Sampai mereka duduk di salah satu meja. Bicara dan makan.
"Bisa minta tolong tulisakan buat aku, namaku?"
"Ia boleh, namanya siapa?"
"Tsutrisno Love Angga" jawabnya. Aku memintanya mengeja namanya. Dan berfoto dengannya setelah itu.
"Nggak usah tanda tangan foto aja ya Kak, cheese"
"Tandangannya di halaman belakang ya, bisa?" kata yang lain.
"Emmm, aku foto dulu, terus setelah kecetak aku minta tanda tangannya di foto ya, ok, Senyum" pinta orang dengan kamera langsung jadi.
Ya memang setiap orang tak sama. Yang kulakukan hanya mencoba untuk memahami mereka itu saja. Tak peduli apakah salah atau benar. Aku terus menandatangani buku-buku yang disodorkan pada ku. Bahkan, ada pula yang sedikit curhat.
"Aku duluan ya, Aku cuma satu buku ni…" bahkan ada pula yang menyerobot. Ya itulah Indonesia kaya akan budaya, dialek, kepribadian, dan suku bangsa.
"Beta punya teman dia mau minta buku milik Beta, Tapi Beta bilang nanti saja, Ini buku harus ditandatangai dulu. Dari sabang sampai merauke, buku ini sudah banyak dipasaran Kau beli sendiri saja. Eh, tapi teman itu malah marah, dia minta edisi asli, cetakan pertama, tentu Beta tak mau kasih....."
Aku tersenyum padanya dan memberikan buku. "Oh sudah selesai ya Kakak, trimkasih"
satu persatu mereka datang dan pergi. Ada yang masih berbincang dengan orang lain tak sedikit mulai meninggalkan café ini. Ini cukup mengesankan. Siapa sangka mereka mau tanda tanganku.
"Maaf, emmm, masih ada sekitar 99 buku lagi"
Sembilan puluh Sembilan. Aku menutup buku pertama dan menerima buku berikutnya. Buku kedua selesai buku ke tiga. Terus sampai buku ke lima. Aku tak mendengar ada banyak orang saling bicara lagi. Dan pakaian yang sama. Tidak lagi berganti.
"Ini yang yang ke enam?" tanyaku menegadahkan wajah setelah sekian lama menunduk.
"Ya, dan masih ada sekitar 94 buku lagi?"
Sembilan puluh empat?. Aku terbengong karena heran. Ia mengambil beberapa tumpukan buku yang diikat dengan rumput jepang. Jika satu ikatan ada 10, maka semuanya ada 9 ikatan persis dan sudah dijajar.
Aku kembali menandatangani buku ke sekian. Dan ia terus membuka halaman pertama. Setiap selesai sepuluh ia mengikatnya lagi dengan tali. Tugasku di sini hanya menandatangainya. Ku harap ini akan sama. Walaupun berbeda, tentu saja, hanya ada perbedaan nol koma sekian.
"Ini yang kelima puluh…" dan masih ku tandangani dengan santai. Lima puluh satu, lima puluh dua, lima puluh tiga, lima puluh empat,.....dua puluh satu, ...…
"Sudah habis?"
"Masih ada sekitar 19 Buku" sahutnya
"Tintanya Habis" aku berdiri dan mencari pena lainya. Di tas aku tak bawa apapaun hari ini. Dua orang manager yang tadi menemaniku sepertinya sudah pulang. Kalau tidak salah, di meja kasir ada beberapa pena. Aku tak mungkin meminjam dari rekan waitress lainya.
Jason terlihat senang sekali. Ia berdiri dari mejanya dan mengantar calon pacarnya ke bawah. Jika aku turun sekarang, mungkin ia akan mengira aku mengganggunya.
"Bagaimana? Tidak ada?" suaranya membuatku kaget dan spontan berbalik badan. Aku bingung harus berkata apa.
"Oh, mau pakai yang ini?" tanyanya sambil menunjukkan pena miliknya. "Kalau tidak keberatan?"katanya saat melihatku tak bereaksi.
"Oh, nggak mau ya?" tambahnya lagi.
Jika ada yang mengenal kami , tentu mereka akan melihat kami seperti dua orang bodoh yang tak saling bicara. Karena yang satu berbahasa alien yang satu berbahasa manusia. Opsi kedua, mereka melihat seorang serial drama korea. Di mana yang satu ingin bicara tapi tak bisa, yang lain menolak bicara karena tak suka. Atau , pilihan ketiga, artis yang menolak permintaan fansnya.
Baik aku pilih yang ke tiga saja. "Pinjam ya?..." aku kembali ke meja dan menandatangani semua buku yang tersisa. Delapan belas Sembilan belas. Ini yang kesembilan belas.
"Ini" aku menyodorkan kembali pena miliknya.
Ia tampak sibuk menata ulang buku agar mudah dibawa. Ia ikatkan kembali. Sepuluh tiap ikatan.
"Oh, ambil saja,…"jawabnya enteng.
Sementara yang kulakukan, hanya meletakkannya ke meja sambil meliriknya. Parker, tentu saja. Harganya sekitaran satu sampai tiga juta. Dari beratnya saat kupakai, tak mungkin ini barang tiruan dari China.
"Trimaksih,…."
"Sama-sama.." ia mengambil beberapata tumpukan. Empat. Dan turun dari lantai tiga, ke lantai satu, menuju mobilnya. Aku bisa melihatnya dari kaca. Dinding-dinding di sini terbuat dari kaca. Sangat tidak efisien. Ia naik lagi, kali ini ia hanya membawa dua tumpukan. Masih tersisa tiga. Turun dan kembali lagi, dua. Ia ambil dua. Tersisa satu. Entah berapa kali ia sudah mondar-mandir. Mengingat pasti ia juga melakukan hal yang sama untuk membawanya masuk.
Sepuluh buku dalam satu tumpukan. Semua orang sedang sibuk. Ini sudah jam 19.30. Café bertambah ramai. Aku putuskan membawanya turun tumpukan terkhir.
"Ini"
Jedak!
Kepalanya tebentur karena kaget. Ia ambil sepuluh buku terakhir.
"Trimaksih". Pintu bagasipun kembali ditutup.
"100 cetak…untuk…" sebelum aku menyelesaikan pertanyaanku, ia membuka pintu depan dan ngambil sesuatu.
"Ini"
Ia menyerahkan sebuah amplop merah panjang. Ada jeda satu dua tiga hingga sekitar sepuluh detik sebelum aku memutuskan menerimanya.
"The Wedding~, Oh Undangan pernikahan, Selamat ya Defiance"