"Maaf Pak, mobil yang lain mau keluar, ini mobilnya jadi keluar apa nggak?"
"Oh, Jadi Pak, Maaf-maaf" benar saja, ada sebuah mobil yang jauh lebih besar akan keluar. Ia beruntung pemiliknya bukan orang yang asal bicara dan marah. Kadang jika kita menghalangi jalan, dan orang tersebut orang berpangkat, bukan juru parkir yang akan di mintai tolong menegur. Mereka akan turun tangan. Dengan berbagai embel-embel pangkat dan derajat yang mereka miliki.
"Besuk ya, datang kan?" tanyanya meyakinkan lagi. Semetara mobil di belakangnya menyalakan bel. Tin Tin Tin.
"Mbak itu temennya?" Tanya pengemudi mobil yang melintas keluar. "Bilangin donk, jangan lama-lama kalau bongkar muat yang lain jadi susah keluar masuk, Ok?, Mari…."
Aku hanya tersenyum dan menggangguk. Berjalan kembali ke pintu café.
"Bye…" Fio mengucapkan selamat tinggal pada teman barunya. Jason. Sepertinya ia sudah menemukan orang yang tepat. Wajahnya berseri-seri.
"Ini?" kataku membuyarkan kesenangannya sesaat.
"Apa?" ia bertanya tanpa melihatku. Melihat terus ke arah Fiona yang mengambil motor dan keluar dari parkiran sambil melambaikan tangan.
"Baca Donk! Undangan pernikahan!"
Jason masih melihat ke arah luar. Fiona sudah tak terlihat. Sudah mulai tak waras sepertinya.
"Dari siapa?"
"Defiance"
"Kapan?" tanyanya setengah sadar.
"Besuk jam 12 siang"
Ia langsung pergi dan meletakkannya di meja barista. "Kamu aja yang datang, besuk Aku ada janji sama Fiona!" sudah kuduga jawabannya akan begitu.
"Tanggal tua belum gajian…"
Tanpa membalikkan badan ia menjawab "Iya, cashbon dulu aja nggak apa-apa"
Cashbon?, kenapa tidak bilang saja, nggak usah datang.
**********************************************************
~Wedding Party~
"Apa yang dipersatukan oleh Tuhan, tidak boleh diceraikan oleh manusia, Dan sebagai manusia, seharusnya lebih berhati-hati dan memilih~, Menentukan langkah, serta, melibatkan Tuhan dalam segala perkara."
Dan semua orang bertepuk tangan dengan sangat meriah mendengar ceramah dari Pendeta tersebut. Ia orang yang sangat berumur jika dibandingkan dengan kami semua. Asam garam kehidupan fisik dan spiritual sudah barang pasti menjadi makananya sehari-hari. Ini bukan pernikahan yang biasa, tapi pernikahan yang luar biasa. Bukan karena aku salah kostum dan memakai gaun pinjaman ya.
"Dan sebagai penutup, kita juga akan mendoakan, kedua mempelai, mari kita bersatu dalam doa"
Aku menundukkan kepala, tapi tidak ikut berdoa. Malah memandangi tamu-tamu lain. Semua yang hadir adalah undangan istimewa menurut penerima tamu. Tanpa undangan mereka tak akan bisa masuk. Jumlahnya juga tak terlalu banyak. Dari raut wajah mereka, sebagian besar, memiliki emosi kebahagian, haru, sedih yang bercampur jadi satu. Mereka juga datang bukan dengan angpoo, tapi dengan hadiah beraneka ragam.
"Baik, demikianlah acara hari ini, selanjutnya akan dilanjutkan dengan resepsi sederhana, selamat menikmati Tuhan memberkati"
Kata Fiona dengan suara emasnya. Sungguh malang nasib Jason, ternyata Fiona mengajaknya datang ke acara ini. Untuk menemaninya bekerja. Expektasi, kencan romantis, makan siang disinari matahari. Realita makan siang di kondangan.
"Hallo, Ok kita foto dulu ya, Mungkin bisa merapat, merapat dan merapat! Good, satu dua, Ti~ga"
Jepret, jepreet, fotografer professional sedang mengabadikan foto mempelai dan keluarganya. Satu jepretan, dan ia memeriksanya.
"Aduh, masa pembawa cincinya dan Bridge mate nya nggak ikutan foto!" protes fotografer itu.
"Nggak usah Pak, nggak apa-apa kok jangan dipakasa ya…" jawab Defiance.
"Jelek ini fotonya, ulang, ayo. Mbak cantik yang bawa cincin, jangan diam aja, sini berdiri diantara dua batu ya"
Tanpa sadar, asisiten fotografer menarik tanganku dan memposisikanku ditengah.
"Bunganya, diangkat sedikit dong, aduh, nggak apa-apa, senyum ya? ini jelek lo fotonya!" gerutu fotografer itu.
"OK, kita ulang ya, satu dua , Good, lagi satu dua, bagus"
Setelah puas mengerjai kami, fotografer pergi begitu saja. Ia sibuk mengambil gambar yang lain. Aku sudah capek berdiri dari tadi. Jika bukan karena penangung jawab wedding Organizer melarang kami beranjak, aku pasti sudah pergi dari tempat ini. Menurutnya, sebagai bridge mate, aku harus berdiri di samping kedua mempelai. Berat baget kan.
"Ya, masa kalian mau duduk, kasihan para tamu nyalaminya ke siapa donk?"
"Ya, nggak usah salaman donk Mr!" protesku.
"Nggak sopan, udah lah ya, ini bunga, kamu bawa, ya jangan di taruh, sampi semua selesai, terus berdirinya di samping pembawa cincin, ok, sekarang mereka udah antri mau salaman, senyum, ok, saya nggak mau ya kredibilitas WO kami hancur, cuma gara-gara kalian yang tidak mengikuti arahan saya ok?"
Aku memprotes Defiance yang hanya diam saja. Semetara para undangan berdatangan memberikan ucapan selamat. Mereka mendoakan dan menyalami ada juga yang membawakan karangan bunga. Mengingat di depan penerima tamu menolak sumbangan berupa apapaun.
"Aduh, bagus banget, menyentuh banget, selamat ya, semoga setelah ini kamu bisa melupakan semua kenangan buruk dalam hidupmu."
"Ya, ampun, nggak yangka banget Ya, akhirnya kamu bisa MOVe On bahasa gaulnya, ini ada bunga" Kata ibu Lin, sekertaris utama. "Kita foto dulu ya, selfie, buat up date status di sosmed OK?"
Tamu berikutnya, si cantik jelita, Ziva yang hanya terseyum dan pergi, memang tak bisa ditebak orang itu. Irit bicara.
"Oh, selamat menempuh hidup baru ya, Defiance."
Tamu lain datang "Ini, perhiasan satu set" katanya. "Tapi bukan buat kamu, Buat dia" kata orang itu.
"Kok buat saya?" tanyaku "Iya, kan ini semua berkat kamu, Tante sudah baca novel kamu, bagus, menginspirasi. Hadapi kenyataan jangan lari!. Sebagai ucapan terimakasih ini simpan ya, jangan sampai ketinggalan, bawa pulang ya, ha ha ha"
Aku menolaknya, tapi ia memaksa.
"Terima aja, mama kalau marah mengerikan" kata Defiance.
"Ah, pernikahan, kenapa nggak dari dulu aja kayak gini, pasti kan Artha arwahnya nggak akan penasaran kalau kayak gini" kata orang ini. Ia membawa bungan dan meletakknya. "Selamat ya sekali kali"
Ini adalah perjalanan panjang. Sungguh, semua orang menyalami dan banyak berkomentar, mengajak foto ada juga yang malah curhat panjang. Baru setelah itu mereka makan.
"Oh, Katanya kencan romantic, party?" sindirku pada sahabatku, Jason, beserta bunganya.
"Aduh iya, ini ternyata diajaknya ke sini, tunggu ,ini bunganya aku taruh aja ya?" seikat bunga iya letakan.
"Mana ternyata pesta pernikahan orang mati pula"
Gerutunya terus, untung saja wajahnya tak mendukung dan kami terus menggodanya. Sepertinya ia kecewa pada sang MC ujaan hatinya.
"Udah, tenang, ada si Ziva, Assiten Pribadinya dia ni, yang cantik seribu turunan"
"Asisten? Dia sekertaris!" potong Defiance. "O ya?, kok aku nggak percaya ya?" sindirku.
"Dia sudah menikah" balasnya dengan wajah serius. Orang tua memang selalu serius nggak bisa diajakin bercanda.
"Masa sih, O, makanya kamu nggak bias Move on, la wong nyarinya sekertaris salah. Coba masih single, pasti, pasti, pasti!"
"Pasti apa?"
"Stop nggak usah ribut!, aku cari orang lain aja?". Jason tiba-tiba berada ditengah kami. "Diliatin orang nggak enak, masa pembawa bunga dan pembawa cincin ribut!"
Aku menjauh satu langkah. Bunga ku berikan ke Jason.
"Nah,lebih baguskan?"
Jason menyadari ke usilan ku. "Apanya, aku kayak nikah sesama jenis kalau gini, ayo balik ke posisi" perintahnya sambil memberikan kembali bunga yang kubawa.
"Nah, kalau gini kayak kalian yang nikah, tinggal pakai kerudung kamu, mana pendetanya, mana?"
Aku melemparkan bunga yang kubawa padanya.
"Ya salah sendiri, masa pake baju model begini, putih pula. Jadi uang cash bon 300 ribu kemarin buat beli baju ini?"
Aku menginjak kaki Jason yang bayak bicara.
"Aduh, ….Kenapa sih, aku kan penasaran, kemarin kayaknya baju yang kamu beli nggak bagus-bagus amat!"
aku menginjaknya lagi. Defiance hanya terbengong melihat kami.
"Kamu bisa diem nggak, kan nggak enak di dengarin aku ngutang buat beli baju…." Bisikku padanya.
"Iya, tapi masa ini baju yang kamu beli kemarin?"
Sekali lagi aku injak.
"Ini, boleh sewa, pijem …punya EO!"
"Kok bisa pas gitu?"
Dia masih saja bertanya.
"Eh,stop-stop jangan diinjak lagi, ini sepatu baru aku beli kemarin OK, sakit kakiku?, OK?, Ok?"
Defiance melihat kami seperti ingin bertanya tapi tak berani. Pada akhirnya ia bicara juga.
"Kenapa?, kalian pacaran?" tanyanya serius.
"Hah, sama dia?, Nggak lah, cafenya aja modal kridit bank. Aku cari orang lain yang lebih baik aja."
"Misi ya Miss, biar kredit, tapi nggak pernah nunggak, Kamu juga kerja disitu kan?" sahut Json enteng. Ia memang suka bercanda saat hatinya tak enak. Menurutku itulah cara agar dia melupakan sakit hatinya.
"Udah, gini, aku penasaran, toh juga udah jauh-jauh ke sini. Niatkencan , ternyata, cuma jadi sopir. Critain" pintanya pada Defiance.
"Apa?" jawabnya dengan santun.
"Apanya?, gimana ceritanya sampai kamu, sadar dari dunia khayalan kamu, dan menerima cinta mereka?,"