Kunci adalah hal terpenting bagi sebuah pintu. Tanpanya, ia hanya akan tertutup rapat. Tak akan pernah terbuka. Jikalau harus dibuka paksa. Udah barang tentu, akan merusak pintu tersebut. Ia akan rusak selamanya. Jika tak ada kunci, artinya, tak akan pernah ada harapa untuk melihat isi atau melangkah keluar.
Kunci dari masalah yang aku pilih adalah diriku sendiri. Caraku berbicara. Serta keinginanku untyuk ikut campur. Dibumbui dengan sedikit emosi. Jadilah sebuah prahara hati, yang jika tak dihadapi dengan bijak, akan membwaku ke dalam pemakaman tanpa arti.
"Kamu menuduhku, membunuh Artha?"
Kata-kata itu, cukup kuat untuk membuatku terkunci di villa ini. Aku berjalan menjauhi Defiance Tiger, sang dewa kematian. Ia terus mengikutiku. Apa ia ingin membunuhku juga. Aku memeriksa jendela-jendela di sekelilngku dengan sekilas. Sepertinya terkunci dengan baik, dilengkapai tralis besi. Dalam keadaan begini, aku tak boleh terlihat takut! I'm the Brave One!
"Aku nggak ngomong kamu bunuh dia secara langsung ya…"
Defiance menyuruhku duduk di sofa tamu. Ia menaruh kunci di atas meja. Aku harus mengambinya. Tapi aku masih buuth beberapa jawaban. Aku terlanjur penasaran. Aku harus terlihat smart.
"Ceritakan! Kalau ceritamu itu benar, kamu boleh pergi!"
Tantangnya padaku. "Tapi jika itu hanya karanga kamu, Kamu harus bertanggung jawab!"
Dalam keadaan ini bisa saja aku mengambil kunci, lalu mengambil vase bunga dan memukulkannya ke kepala Defiance. Dengan begitu, aku akan mendapatkan kebebasanku. Tapi tujuanku ke sini bukan untuk hal itu. Aku datang atas nama kebenaran mutlak. Kurang kerjaan banget kan aku.
"Hari itu, Artha sudah merencanakan semuanya dengan matang. Ia mengajak mu ke café. Dengan mobil baru. Mobil sport. Artha memang bukan orang yang tak pandai berkendara, justru sebaliknya. Ia adalah seorang yang ahli mengedarai mobil. Kamu pinjamkan kuncinya, dan kecelakaan itu terjadi. Tepat di depan matamu!"
"Terus?"
"Ia meminta maaf padamu dan meninggalkan sebuah surat di box sepatu. Yang di letakkan di bawah manekin tempat gaun itu terpajang. Apa aku salah sampai di sini?"
Dia tak bereaksi. Mungkin itu sudah jadi sifat dasarnya.
"Ok karena Kamu diam, aku anggap aku masih benar~Aku lanjutkan. Isi surat itu adalah…"
Defiance terlihat tegang kali ini.
"Aku mencintaimu?"
Aku tertawa. "Jangan membodohiku, aku memang sudah membaca yang ada di box sepatu, tapi yang asli sudah kamu pindahkan ke tempat lain. Ya di dalam buku. Sedangkan yang ada di box itu, hanya tulisan tangan tiruan~ Sekilas akan terlihat sama. Tapi, barang palsu,pasti tidak akan se-autentik aslinya. Gimana masih mau aku lanjutkan?"
Aku sengaja membuatnya sedikit tertekan. Untuk menunjukkan betapa bodohnya dia. Betapa tak bergunanya kebohongan yang ia jadikan kenyataan di depan mataku.
"Aku, tidak pernah mencintaimu. Selama ini, aku hanya berpura-pura mencintaimu demi Ken. Aku yakin kau pasti ingat, pasien kanker di rumah sakit yang terakhir kali kita temui. Ya dialah Ken. Aku bersamamu, demi dia. Maaf telah mempermainkan perasaanmu. Aku juga telah menjual satu set perhiasan serta cicin pernikahan dan pertunagan kita. Jujur aku berharap, semua uang itu dapat menyelamatkan Ken. Yang ada di jariku, adalah cincin tiruan. Jujur aku berharap, jika ini berhasil, aku setidaknya, akan dapat membuat Ken bahagia. Dan akan meninggalkanmu setelah ia sembuh, melalaui sebuah perceraian. Tapi ternyata, ini di luar dugaan.
Operasi Ken gagal. Dokter itu mengatakan umurnya tak bisa di sambung lagi. Aku berlutut di depan dokter, memohon agar ia menyelamatkannya. Tapi katanya, Aku tak lebih dari ular, yang mencoba menyelamatkan orang lain dengan cara membunuh orang lain. Dia mengusir Ken! Juga mengusirku! Jika aku bersikeras, ia akan membongkar semua kebohonganku padamu. Tentu saja, itu karena dia adalah dokter yang baik hati.
Aku berencana untuk menjebaknya saat itu, tapi kemudian, Ken menyadarkanku. Aku sadar, aku sudah memepermainkanmu sejauh ini. Aku tak akan bisa dimaafkan dengan jalan apapun juga. Aku menipumu, untuk menjadi donor bagi penderita kanker, yang sebenarnya adalah cinta sejatiku. Aku selalu menghabiskan uangmu, dengan berbagai alasan. Tapi, itu semua demi menyambung nyawa Ken. Aku, selalau mengatakan, Kau adalah bagian dari diriku, tapi sebenarnya, kamu adalah Meisn ATM tanpa batas bagiku. Kali ini, Umur Ken sudah hampir habis. Aku tak akan bisa hidup tanpanya. Tanpanya, aku hanyalah robot.
Maafkan aku Dafiance, Kau boleh membenciku. Tapi jangan membenci keluargaku. Mereka tak ada hubungannya dengan semua ini. Sebagai permintaan maaf atas kesalahanku, aku mengakhiri hidupku sendiri. Ini bukan kebohongan. Aku mengatakan semua ini, sebagai bentuk penyesalan, dan pertanggung jawaban atas dosa-dosaku. Terimalah kenyataan ini. Aku harap, Kau tidak akan menangis di bawah peti matiku. Aku bukan pergi untukmu. Tapi demi orang yang aku cintai, Ken. Aku sudah membayar semua kesalahanku, degan pergi ke neraka bersamanya. Ku harap ini cukup! . Tolong makamkan aku di sampingnya!"
Ceritaku berhenti sampai di sini. Sebenarnya, aku tak terlalu jelas mengingat semua isi surat itu. Aku hanya berusaha meniru kata-kata Artha seingatku. Tapi entah kenapa,titik penekanan yang aku ucapkan, membuatku merinding. Sampai air mata tak sengaja jatuh ke pipiku. Butuh keberanian besar mengakui sebuah kebohongan. Cinta Artha dan Ken, adalah bukti cinta sejati yang akan menghalalkan segala cara untuk di dapatkan. Bahkan sampai maut memisahkan mereka.
"Jadi~? Apa kamu punya bukti?" Tanya Defiance yang lemas setelah mendengar semua ocehanku.
Aku mencoba menguatkan hatiku kali ini. Aku usap air mataku agar terlihat leih tegar. Terlaau terbawa suasana, hanya akan membuat semua analisisku kacau.
"Pertama~Adalah surat itu. Kamu sembunyikan, dengan memindahkanya. Jika kau belum mebacanya, harusnya, kamu nggak akan setakut itu, dan memindahkanya"
Aku mengambil nafas panjang sebelum melanjutkan
"Ke dua, semua barang-barang Atrha, adalah baru. Litta bilang, Kamu melarang orang lain mengambil barang-barang nya karena sebagi kenangan. Memangnya, kenangan apa yang dapat kita peroleh dari barang yang baru. Aku sedah memeriksanya. Bahkan, Make up kit dan buku-buku yang Kamu tata rapi itu, tak tersentuh sama sekali. Ini bukti, kalau sebenarnya, Kamu menyeting seolah-olah, kamu menyimpan semua benda berharga miliknya. Tapi sebenarnya, Kamu membuangnya, atau bahkan membakar nya!"
Defiance belum memberikan konfirmasi apapun sampai detik ini. Ku rasa aku harus menekannya lagi dengan bukti lain.
"Wanita manapun, akan mencoba gaun pengantin yang mereka pesan. Bahkan jika ia harus menikah dengan orang yang ia tak inginkan. Tapi Artha tak pernah menyentuhnya sama sekali. Karena dia tau, dia tak akan pernah memakainya, bahkan saat meninggal sekalipun. Setahuku, jika kau benar-benar mencintainya dan belum mendapai kenyataan bahwa ia menipunu, Kamu pasti akan meminta agar Artha di kebumikan dengan gaun penganti itu sebagai tanda penghormatan. Karena hal itu tidak dilakukan, bisa di pastikan, Kamu udah baca surat wasiat sebelum dia dimasukkan ke dalam peti."
"Rits Amador~" katanya menyelaku. "Ia memakai gaun rancangan desainer kebangganannya. Rits Amador. Itu jauh lebih mahal dari harga gaun pengantin yang kami pesan"
"Dengan warna jingga?, warna yang paling ia benci!" raut wajah Fifi berubah. Mungkin ia tak mengira sampai aku bisa mengetahui warna baju yang Artha kenakan.
"Memberikan gaun dengan warna yang ia tidak sukai, sama dengan menyatakan, aku tak akan memaafkan keslahanmu! Matilah dengan segala kebusukanmu! Apa aku salah?"
Kali ini Defiance berdiri. Ia terlihat semakin cemas. Aku memang terlalu cerdas dalam hal mengurusi orang lain.
"Kenapa?~ Sudah menyerah?"
Ekspresi dan gerakan tubuhnya, seolah ingin mengatakan. Jika lebih dari ini, aku akan membuatmu menyesal. Aku tak peduli. Ini harus tuntas. Hitam, hitam aja. Ptutih, putih aja. Jangan setengah-setengah.
Aku masih duduk dan memandangi kunci, sambil menyiapkan bukti-bukti tak bergerak lainya. Memutar otakkau, agar drama pembuktian analisis ini berjalan seru.
"Alasan kenapa Kau tak pergi dari rumah duka. Memandangi peti matinya, bukan karena Kamu mencintainya, Tapi sebaliknya. Kau memikirkan bagaimana caranya membuatnya tak tenang di dunia sana! Memang jika tak membaca surat Artha, siapapun akan mengira, Kau sangat terpukul. Terlebih, orang-orang sekitar yang melihat hubungan kalian selama ini. Tapi bagi aku, yang cuma orang luar, akan mendapati kejanggalan. Saat kita terlampau sedih, air mata memang tak akan keluar. Tapi saat itu, tak keluar karena kebencian dan rasa ingin balas dendam.
Ingat Vine tak hanya menulis untuk mu, tapi juga untuk orang tuanya. ~Kau bersi keras, megurus segala, membutakan dirimu dan memebiarkan, orang lain menganggap hubungan kalian baik-baik saja. Orang macam apa kamu ini.
Kau membuat, makamnya jauh lebih besar dari ukuran normal, hanay agar Ken tak bias di makamkan di sampingnya. Tapi kau lupa, kalau Ken dimakamkan tepat segaris denganya. Oleh sebab itu, sebagai tanda kemenangan, dan penghinaan pada Ken, Kamu membangun Nisannya dengan sanga megah. Sebagai bentuk dendam. Jika kamu mempermainkaku, aku juga bias meisahkan kalian selamanya. Kursi yang biasa kamu buat duduk, tidak menghadap ke wajah mendiang, tapi ke wajah Ken! Untuk mengatakan. Kau sudah menipuku. Rasakan akibatnya!"
"Apa, orang yang mendendam, akan bisa duduk berjam-jam di depan makam orang mati?" nada bicara Defiance meninggi. Bagiku, ini sudah sanangat jelas, ia seperti terpancing emosi. Ia takpernah terihat se emosionl ini.
"Kalau kata-kataku salah kenapa Kau terlihat begitu kesal?" Pertanyaanku, membuatnya sedikit menurunkan nada bicara. Ia berupanya menata ualang setiap gerakan tubuhnya.
"Defiance, Kau menyedihkan!" sambungku. "Setiap tahun, Kau memperingati kematinnya, sebagai bentuk rasa kekecewaanmu. Kau ingin memperlihatkan pada semua orang, bahwa Kau tidak tertipu. Kau mencintai orang yang tepat. Takdirlah yang memisahkan kalian. Tapi, justru hal itulah yang membuatku berhasil mendapati semua fakta ini. Jika Kau tak sedendam itu, dan tak meyuruhku menulis kisah cinta kalian, pasti hal ini tak akan terbongkar.
Kau tau?! Dokter itu, mengatakan, ia sangat merasa sakit setiap kali kamu memberikan undangan untuknya. Ia merasa bersalah, dengan tidak memberitahumu, bahwa kecelakaan itu bukan sebab satu-satunya Vine menghembuskan nafas terakhirnya. Sebelumnya, ia juga sudah meminum racun, yang membuatnya mengalamikerusakan organ-organ dalam. Kecelakaan itu, hanya sebagi kedok. Ia merasa perlu mengatakan, kebenaran antara Vine dan Ken. Tapi, sikapmu selama ini, membuatnya yakin, lebih baik ia diam, dari pada harus membuatmu sakit hati. Ia mengira, kalau kamu, nggak ngerti apa-apa tentang hubungan mereka. Sampai aku mendatanginya"
"Ok, Kamu memang pintar! Tapi, tak akan ada yang percaya padamu!...Kamu adalah penulis, setiap kata-kata yang kamu tuliskan adalah kebohongan untuk menghibur orang lain, Jadi, Apa masih ada yang mau kamu sampaikan?"
"Kamulah yang berbohong! Bukan aku! Mungkin semua Koran memberitakan hal yang sama tentang kematian Artha, tapi ada satu harian yang membuat artikel berbeda…"
Aku tak sabar menunggu ekspresi wajah pria ini.
"Ia menuliskan, Kecelakan De Café, Pembunuhan atau Bunuh Diri. Sayangnya, koran itu banyak diboikot . Kantornya pun sudah tutup. Tapi aku beruntung, aku masih bisa menemukannya di perpustakaan. Gimana?"
Aku menunjukkan foto artikel di hanphone ku. Ia benar-benar telihat seperti malu, marah dan benci padaku.
"Litta juga bilang padaku, lukisan di ruang tamu adalah lukisan untuk mengganti foto pre-Wed kalian. Jika Kau memang masih mencintainya, harusnya lukisan itu tak perlu di hancurkan. Anak penjaga makan itu, juga melihat, sepertinya, Kau sering ke Makam untuk menemui orang lain. Kalau aku tidak salah dia pasti Ai. Adik Artha yang meminta banyak hal darimu, hanya agar semua kebohonganmu tidak terbongkar. Mengingat ibu Artha menginginka anaknya di makamkan di samping makam cinta sejatinya. Defiance~ Kau jahat sekali!. Sayang semua itu tak terbongkar, karna Kau masih berbaik hati memberikan uang santunan untuk orang Tua Ken yang sudah tua. Ken adalah anak tunggal. Dia meninggal, otomatis, orang tuanya tak ada yang merawat. Kau malah memberinya paket setiap minggu. Yah, mungkin, untuk menebus rasa bersalahmu., Apa aku salah?~"
Apa berharap kata menyesal darinya. Seperti pada film-film pembunuhan dimana pelaku meminta maaf dan menceritakan kembali kronologi dan alasan sebenarnya. Demi membuat sang detektif puas, atau hanya sekedar membenarkan kesimpulan yang salah
"Apa untungnya Kamu melakukan semua ini?." Itulah yang keluar dari mulutnya.
Terkonfirmasi sudah dari kalimatnya. Dugaanku benar. Ia memintaku menulis, hanya untuk merapikan kebohongannya. Ibu Artha benar, seharusnya Artha dan Ken tak perlu bertemu. Begitu juga Artha dan Defiance. Maka hal semacam ini tak perlu terjadi. Hidup dalam kepalsuan.
Defiance mati-matian memberikaan pembelaannya padaku. Ia mengoceh dari A sampai z untuk membenarkan apa yang ia telah lakukan. Membenarkan caranya mendapat keadilan. Memembuatnya merasa benar dengan caranya bertindak dan bertutur kata. Ia berusaha menjelaskan, betapa kesalnya ia pada Artha yang telah menipunya. Sejak, ia menyadari kenyataan yang terjadi, serasa hidupnya berhenti. Ia tak bisa percaya lagi pada orang lain, matanya sudah tak lagi mampu membdakan, kenyataan atau fatamorgana. Ia memaksaku mengerti, bagaimana perasaanya. Bagaimana jika aku di posisinya.
"Jadi, Please, Bekerja samalah, aku akan kasih apapun yang Kamu minta…."
Apapun, ia akan berikan apapun. Dengan uangnya. Demi kebohongan.
"Benar juga, karanglah sebuah kebohongan. Bungkus dengan rapi ,maka itu akan menjadi kenyataan"
Aku bangkit berdiri dan meraih kunci di meja. "Apa setelah ini, Kamu masih mau berbohong pada dirimu sendiri?"
Defiance memandangku dan berusaha mengatakan, ia tak patut dipersalahkan akan semua hal yang sudah terjadi.
"Mungkin, Artha salah. Tapi dengan membohongi semua orang dan dirimu sendiri! Kamu Nggak ada bedanya sama Artha! Artha menipumu selama 5 tahaun, Kamu menipu dirimu 10 tahun."
Aku mengeluarka lagi buku tabungan dan ATM berisi uang pembayaran penuh atas projectku. Aku meletakanya di meja.
"Teruslah berbohong. Jangan libatkan aku! Hapus namaku dari bukumu! Aku Tidak Mau terlibat dalam KEBOHONGANMU!"
Aku berbalik,mEmbuka pintu dan menguncinya dari luar. Defiance tak bisa mengejarku. Aku melemparkan kunci dari jendela.
"Selamat Tinggal Defiance. Jangan temui aku lagi!"