"Kamu yakin? sama tuduhan Kamu itu?" Jason memilih mendengarkan hipotesaku dari pada menjaga kasir. Ia meyuruh salah seorang anak buahnya untuk melakukan tugasnya.
"Jadi kamu nggak percaya sama aku?"
"Bukannya nggak percaya, tapi semua itu harus ada bukti!" Pernyataan Jason benar
"Kamu ada bukti?" penekanannya tepat. Dan aku menggeleng.
"Nah, bukti aja nggak punya, udah berani buat kesimpulan" gerutunya padaku yang mendadak jadi detektif amatir. Tanpa dibayar tentunya. Hanya menuruti hasrat keingin tahuan semata.
"Inggat ya, kita nggak boleh asal tuduh orang. Jangan sampai kita menghakimi orang dengan kata, kira-kira, mungkin, sepertinya. Kita jangan seperti orang-orang pintar di TV. Menuduh orang lain hanya berdasarkan, katanya. Jangan sampai kasus Jus sianida atau kasus Penistaan Jabatan terjadi lagi!"
Aku membetulkan posisi dudukku. "Ya terus sekarang enaknya gimana?"
Jason berdiri kembali ke meja kasir. Ia memberi isyarat pada pekerjanya untuk kembali ke posisi. Kebetulan café ini sudah tidak se-crowded beberapa waktu lalu.
"Cari buktinya dulu!"jawabnya. seseorang datang membawa catatan apa saja yang sudah dipesanya. Ia menyerahkan beberapa lembar uang kepada Jason.
"Trimaksih, jangan lupa follow ig kami ya, ada banyak promo untuk bulan ini…." ujarnya pada pelanggan yang baru saja meninggalkan kasir.
"Kalau ada bukti, baru kita bisa buat kesimpulan" sahutnya kembali padaku. Ia kembai fokus ke masalah kami. Bukan-bukan, masalah yang kami cari sendiri.
"Nggak ada waktu lagi, abis ini, kayaknya dia nggak akan kontak aku lagi deh!"
"Kok bisa?" Jason mulai penasaran.
Akupun berdiri mendekati meja kasir "Iya, dia bilang, sore ini uangnya mau ditransfer. Mau dilunasin! Itu aja dia ngomongnya pake perantara orang lain!"
"Nggak bisa gitu donk!"
"Nggak bisa apanya?, wong dia yang punya uang! Ingat dia clientnya!"
"Terus kamu mau diam aja dan penasaran selamanya?"
Aku kembali ke kursi dan mengambil tas. Berdiri dan mendekatinya lagi sambil berpamitan "Ya, enggak lah, Kamu kira aku ini pengecut?"
"Dan?"
"Aku akan tanya langsung aja…"
Jason tertawa. "Ke Roh Artha?" sahutnya menyindir. Jason memang bukan orang yang percaya pada hal-hal mistis. Baginya semua harus sciencetific.
"Ke Defiance! Apapun resikonya!"
Pembicaraan kami selesai dan aku pergi dari hadapannya.
*******************************************************
Langit cerah, sesuai dengan ramalan cuaca hari ini. Yang tidak sesuai hanya isi cerita novel yang ku buat. Dengan kenyataan yang ku temukan. Ada banyak orang hanya peduli pada kepuasan clientnya. Mereka akan memberikan apa pun yang customer inginkan, asalkan mereka puas, membayar dan dapat bonus. Aku kok tidak bisa ya, seperti mereka. Terlebih, di halaman pembuka ku tuliskan, Based on the True Love Story of Vine Artha and Defiance Tiger. Berdasarkan kisah cinta sejati antara Vine Artha dan Defiance Tiger. Aku merasa seolah ada tanggung jawab pada tulisan halaman pembuka itu.
"Iya Hallo, Ya tinggal bilang aja ke Bosnya bapak Ya. Kalau mau endingnya, suruh ambil sendiri"
Aku mencoba bernegoisasi dengan jiwaku yang ikut bersemayam jauh dilubuk hatiku. "Kita stop sampai di sini aja ya, Nggak baik urusin urusan orang lain!" bujukku padanya.
"Nggak lah, kita itu punya beban moral yang dalam ya. Berdasarkan kisah nyata! Ingat kisahg nyata. Di cetaknya bukan satu atau dua. Itukan namanya penipuan. Pencucian kebenaran" gerutu batiku yang lain.
"Tapi Kan yang suruh bikin itukan kan yang punya hajat. Udah biar dia aja yang tanggung resikonya!"
Lainya kembali mendebat. "Ya nggak bisa lah! Di kitab manapun! Catat di kitab manampun. Bohong itu dosa! Tahu kebenaran dan tidak mengungkapkannya juga dosa!. Penipuan! Penistaan kenyataan!"
Yang satu tak mau kalah. "Kalau dia marah kita nggak jadi dibayar! Mau kamu!"
"Everythings need Money but Money is not everything!"
Dan seterusnya dan seterusnya. Jujur aku sedikit pusing. Memikirkan pergolakan dan musyawarah dengan setiap keinginagn dalam diriku. Yang satu bagaikan api. Pantang menyerah. Yang lain takut kelaparan.
"Jadi Mbak….saya bilang apa ni ke Bos saya?"
Seru orang lain dari hand phone yang ku pegang. Pergumulan jiwaku membuatku lupa sejenak jika aku sedang melakukan panggilan dengan orang lain di dunia nyata.
"Ya, Bilang aja, kalau mau temui saja gampang kan!"
"Tapi mbak alasanya apa?" ia masih berusaha mendapatkan alasan yang tepat. Mengingat ia juga butuh pekerjaan. Aku ingat, Defiance itu labil. Aku yang nggak salah apa-apa aja pernah dipecat sama dia. Apalagi kalau ada orang yang salah.
"Aduh!!! Saya yang telepon aja Ke Defiance!"
Aku segera mencari-cari kontak. Aku tahu, jika aku menelpon ke nomor handphone pasti ia tak akan menggangkatnya. Aku menelpon ke Litta. Setelah tersambung, aku memintanya memberikan pada Defiance. Ia tak akan bisa menolaknya kali ini.
"Eh denger ya, Kalau mau endingnya ambil sendiri. Kenapa?, mau protes?, ingat ya, aku nggak mau ceritaku ini di plagiat. Siapa tau ini di copi dulu sebelum sampai ke kamu! Dah pokoknya ambil sendiri. Itupun kalau kamu mau. Atau kamu cari aja penulis lain. Tapi ingat, dua puluh hari, nggak cukup buat nulis!"
Tut tut tut terputus karna pulsaku habis.
************************************************
"Kamu yakin Dia ngggak ada?" Dela memaksa Ziva nan cantik jelita untuk menjawab pertanyaannya. Ziva menggeleng, pertanyaan dia ulang lebih spesifik kali ini. Jawabannya masih sama.
Ziva, wanita yang pendiam nan anggun itu semakin takut melhat wajah Dela. Ia tak tahu bagaimana caranya membuat wanita itu yakin kepadanya. Cara Dela mengintimisasi orang lain benar-benar cukup mengerikan. Tanpa kekerasan, tapi semua orang setuju, caranya pasti berhasil. Dengan sedikit takut, Ziva dengan lemah gemulai ia bangkit berdiri, membuka ruangan.
"Ok, aku percaya" seru Dela setelah melihat dengan mata kepalanya sendiri. Kosong.
****************************************************
Discount, promo sampai dengan 50 %. Siapa yang tak tertarik. Semua orang akan mencari banyak alasan agar bisa mendapatkan sensasi ke salon dengan potongan harga sebanyak iklan yang di tuliskan pada papan-papan reklame.
"Tapi agak lama ya Ibu cantik, Gimana?"
"Oh, nggak papa,Bos saya juga lagi nggak ada di kantor, saya dapat antrian no berapa ya mas?".
Receptionis itu memberikan no antrian dengan lemah gemulai. "Kok, Mas sih, Panggil saya Kakak donk, Eke nggak biasa di panggil Mas, Bunda Cantik"
Customer di depanya langsung sadar. Ia meringis sedikit lalu meminta maaf. Setelah di berikan nomor antrian dan mendapat welcome drink, wanita tersebut segera mengambil meja di ruang tunggu. Bagaikan sebuah café. Nyaman dan ada Wifi gratis. Ia membuka tas dan mengambil hand phone miliknya. Sebelum ia menjawab panggilan masuk, waitres datang membawakan menu kudapan.
"Silahkan kami ada menu apple pie, dan berry cheese cream cake, semuanya sehat, baik untuk kesehatan"
Melihat harga pada daftar menu, wanita berbaju hijau segera mengkonfirmasi, apakah akan ada potongan harga juga atau tidak.
"Kalau pakai kartu kredit ada diskon 25 %".
Hemm ..... Menggiurkan. Bisa ditebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia melirik lagi layar ponsel yang berkedip-kedip.
"Ok deh, saya mau yang ini aja" serunya sambil menggeser layar ponsel. Waitress segera pergi dan mengambil semua daftar menu.
"Oh, Lagi di salon kenapa?" jawabnya pada penelpon."Iya, soalnya lagi nggak ada juga yang diurusin, Jadi ya Nyalon aja, ada diskon dan promo lo, apalagi kalau ada kartu kredit"
Ia mendengarkan respon penelpon. "Aman lah, Kalau nggak aman masa aku berani ke sini. Ni aku aja dapat nomor antrian 40. Masih 3 jam lagi. Mau balik dulu, males banget Tante, Toh yang di jagain juga lagi nggak ada kok"ia dia lagi
"Serius, dari kemarin nggak ada. Mati kali! Opsssss…..Sambungan ini aman kan?"