Aku yakin, dia sengaja mencariku. Harusnya ia pulang dua hari lagi. Pasti ada yang mengadukan semua hal yang ku lakukan disini beberapa hari terakhir. Siapa. Siapa yang kira-kira berani mengadukan masalah ini padanya. Apakah Litta, si Si asisten rumah tangga. Atau sopirnya. Lina, Ziva, siapa diantara mereka yang kira-kira tak terlalau sibuk dan memempunyai banyak waktu luang untuk memata-mataiku.
"Hope! Kamu mendadak tuli ya?"
Akupun tersadar dari pikiranklu yang rumit "Emm….Apa? Kamu tadi tanya apa?"
Dia diam saja melihatku. Ekspresinya tetap saja terlihat meyebalkan bagiku.
"Apa, yang Kamu lakukan di sini?"
Aha aku ingat ia menanyai perihal panampakanku di makam . Untung aku sedang memegang handphone. Seperti orang sedang selfie.
"Iya, boleh kan namanya juga pingin jadi selep insta, tempat harus bagus , lokasi harus unik" jawabku.
Aku menaikkan hanphone dan menyalakan kamera. Berpose, jeprat, jepret. Untung saja aku tak mematikan suara dan blitz pada kamera ini. Aku memalingkan wajah ke kiri, kanan, menunduk, ganti posisi. Bagus dari posisi ini aku bisa lihat, penjaga makam sedang memandangi kami. Tentu saja, kalau bukan dia siapa lagi yang bisa membuatnya menemukanku. Kesalahanku adalah, aku tidak mengubah penampilanku hari ini.
"Ini, makam siapa?"
Aku menurunkan kamera. Dan memasukkannya ke dalam tas.
"Oh, Makam temen. Kenapa?. Udah lama nggak datang~Nggak sebagus makam Pacar kamu, tapi ya paling nggak dibangun secara efisien nggak buang-buang tanah. Hemat dan toleransi antar sesama mendiang".
Fifi tak bereaksi. Ini adalah momen dimana kau memberikan jawaban secara santai, tapi lawan bicaramu tak puas dengan jawaban yang kau berikan. Alasannya mudah.
"Kamu nggak percaya?"
Fifi masih diam. Nampak dari wajahnya, jawabannya adalah tidak. Tentu saja tidak. Ini adalah makam orang itu. Pasti dia berfikir, aku ini temannya dari mana.
"Ayo, pulang"
Dia berpaling dan berjalan lebih dulu. Ia terlalu yakin jika aku akan mengikutinya. Bagiku ini terlihat sangat jelas, ia kemari, bukan demi kekasihnya yang mati. Tapi ia mencariku. Mencari tahu, apa yang aku lakukan.
"Aku mau lewat sana, makam itu bagus. Tolong fotokan ya!"
Bagus?!. Makam ya tetap makam. Aku memintanya berputar dua kali lebih jauh dari rute yang ia ambil. Bukan untuk membuatnya kesal. Aku mau melihat ekspresi penjaga makam yang menguntit aku. Ia yang memberitahukan di mana posisiku. Nggak munking kan ni orang bisa nemuin aku tanpa ada yang kasih tau.
"Mari Pak, saya pulang dulu. Def ! fotokan!~, Yang bagus ya, aku mau followerku nambah, maaf Pak bisa tolong geser"
Si penjaga makam itu langsung semburat pergi. Ekspresi wajahnya, kayak nggak salah aja. Sabar-sabar kok ada ya orang kayak gitu. Mulut ember tukang lapor pula. Pak, pak dibayar berapa sih sama ni macan.
********************************************************
Aku pulang dengan Defiance. Ia tak banyak bicara sepanjang perjalanan. Jason memberitahuku melalui sms. Bahwa Defiance mendatanginya beberapa waktu lalu. Ia mencoba memperingatkanku. Mungkin karena aku pakai operator termurah, dan ini daerah dataran tinggi, sms-nya baru masuk. Betapa terlambatnya ini.
Duduk di samping orang sepertinya membuatku merasa mual. Jalanan ini memang berkelok-keleok, tapi kurasa alasannya bukan karena hal itu. Stress. Menempuh satu jam perjalanan down hill tanpa satu patah kata apapun. Ditambah kemacetan yang cukup mebuat ku sesak nafas. Totalnya ada dua jam tiga puluh lima menit duduk di kursi panas. Jika dilihat dari kaca spion, wajahku benar-benar pucat. Maka tak banayak bicara aku segera keluar dan menutup pintu. Tanpa sepatah kata apapun. Dan kali ini, ia juga tak menurukan kaca jendelanya sama sekali. Dan langsung pergi.
"Kesurupan tu orang Neng?~langsung ngepot gitu , biasanya kan masih pamit!" sahut Penjaga Kos yang mebukakan pintu.
"Kesambet buk kata orang jawa!"
***************************************************************
Hari ini, tiba-tiba Defiance tak ingin menemuiku. Ia menyuruh orang lain mengambil salinan naskah yang telah aku tulis. Aku berfikir, apa dia membuka buku pada rak paling atas dikamar Artha.
"Waduh, saya kan cuma sopir, Neng, mana saya tahu Bapak itu kenapa nggak mau ketemu. Tugas saya kan cuma ambil flash disc aja ya…"
Ini adalah salinan naskah dua bab terakhir. Aku ingat semalam ia mengirim surat elektronik. Ini tak seperti biasanya. Ia biasa bicara panjang lebar. Tadi malam, hanya selembar pesan singkat. Ia ingin, aku mebuat ending, seperti yang ia harapkan. Hari ini harus sudah final. Ia akan kirim sisa pembayarannya setelah memeriksa naskah terkhir buatanku. Ia melarangku untuk membalas surat darinya.
"Udah cuma benda kecil ini aja Neng?"
"Iya, Pak, namanya juga flash disc ya kecil Pak."
"Oh…begitu, Bapak kan sudah Tua, Old Fashion kalau kata anak muda zaman sekarang. Jadi Bapak nggak begitu paham yang model beginian. Ya sudah saya pamit pulang dulu ya, Neng!"
Aku mengantarnya sampai keluar pagar. Ia membuka jendela dan memberi salam perpisahan.
"Iya Pak, hati-hati ya."
Aku kembali ke dalam kamarku. Kalau dipikir-pikir, endingnya akan terlihat sangat dipaksakan. Kenapa begitu. Ia seperti ingin mengontrol cerita yang kubuat. Di awal, ia tak terlalu memusingkan bagai mana caraku mengambil sudut pandang. Caraku menulis, memberikan karakter pada setiap tokoh dalam cerita. Tapi kali ini, ia sangat dramatis. Seperti ingin memberikan kesan, Romeo dan Juliet versi Jakarta.
Setelah puas melamun, aku memutuskan untuk pergi keluar mencari angin segar. Aku berjalan kaki sampai ke halte terdekat. Bis pertama datang. Bukannya naik, aku malah menunggu bus berikutnya. Beginilah jika jadi penganguran, tak terlalu banyak hal yang bisa dikerjakan. Hanya jalan-jalan, sambil berharap ada pembagian takjil gratis. Rumayan kan, mengurangi pengeluaran makan malam. Walaupun aku tak ikut berpuasa, mereka tak akan menanyaiku.
Halte, terdekat dengan RPTRA, aku turun. Banyak sekali yang sudah mulai berselfie ria disini. Di dekat kolam, patung, semuanya penuh orang. Ada yang mencoba olahraga panahan, ada juga yang hanya memandangi komunitas pelukis jalanan. Banyak anak-anak yang berlarian ke sana-- ke sini. Sebagian memainkan air dari pancuran. Mereka tak peduli, apakah baju mereka akan basah atau tidak. Yang mereka inginkan hanyalah kebahagian.
Di kanan dan kiri trotoar, banyak yang manawarkan jajan khas bulan puasa, takjil istilahnya. Mereka menjualnya dengan harga terjangkau. Aku menolak semua hal yang mereka tawarkan, bukan karena tak suka. Aku taka akan mengeluarkan uang jika tak benar-benar berguna saat ini.
"Kak, Eh ini, Kakak Yang waktu itu kan" Seserorang menyapaku.
"Iya benar, Eda kan?, Yang waktu itu aku temenin!" serunya memaksaku mengingat siapa dia.
"Aku Qila, ingat, yang di makam itu…Ih Masa lupa sih!"
Aku mencoba mengamati sambil me-recall apa yang ada dalam memori jangka panjangku. Qila, Qila
"Ah…Kamu kan anak penjaga makam yang waktu itu jadi guide aku kan!"
Qila terlihat senang.
"Iya bener, akhirnya Kakak ingat!" sahutnya bahagia.
"Kok, Kakak gggak kelihatan seneng gitu lihat aku?". Aku terkejut. "Nggak kok, kata siapa?".
"La itu wajahnya langsung ditekuk…"
Aku baru ingat beberapa temanku mengatakan, aku tak pandai berakting. Menyembunyikan masalah, termasuk berbohong.
"Ah perasaan kamu aja, Terus kenapa kamu di sini…?"
Qila menyadari jika aku hanya mencari pengalihan topik.
"Ya, aku kan persiapan kuliah Kak,…Kenapa sih? Nggak suka lihat aku?"
Aku segera mengalihkan pandanganku. "Nggak ada apa-apa kok…."
Wanita ini masih belum menyerah. "Maaf ya Kak, pas kakak dua hari lalu ke makam aku nggak bisa temeni."
GlekKKK, pernyataannya mengingatkakn ku pada tragedi dua hari lalu.
"Ya, soalnya kan aku lagi nememi orang lain. Yang keluarganya barusan di tanam" imbuhnya. "Terus, kemarin ketemu sama itu, Mas-mas mantanya Mbak yang cantik diatas bukit?"
"Defiance maksud kamu!"
"Bukan dia, dia ma masih hidup. si Ken!..."
"Ken~"aku sedikit lola dan "Oh, yang mati, harinya sama!"
"Iya bener, katanya kakak sempat foto-foto batu nisannya kan!, kata Papa.."
Nah kan ternyata betul, "Oh jadi bener ya, ternyata Papa kamu itu yang buntutin aku terus lapor-lapaor ke Defiance, iya kan?. Pantesan tu orang tiba-tiba datang. Pasti papa kamu yang lapor!"
Qila terkejut. "Eh, enggak ya Ce! Ngapain papaku lapor-lapor! Kita para penjaga makam punya aturan, Kalo nggak ditanya, ya nggak akan jawab!"
Aku menyanggahnya kali ini. "Terus kalau bukan, kok Papa kamu bias tau aku foto-foto. Terus! kok si Pacarnya Mbak cantik itu bisa nemuin aku!?"
"Ya ampun, udah dibilangin bukan begitu!"
"Terus?"
Qila mulai bercerita mejelaskan apa yang ia tau
"Gini ya, setahuku. Papa liatin karena, kebetulan papa ada di dekat situ. Kita biasa awasin setiap orang yang ziarah. Bukannya kita minta uang atau oleh-oleh, tapi takut, mereka kesurupan, atau butuh bantuan."
Aku mendengarkan dengan seksama. Sampai detik ini, aku belum temukan poin penting yang aku cari.
"Walaupun kami punya kontak keluarga, kami tidak berhak menghubungi, atau melaporkan siapa saja yang berziarah. Mau yang dimakamkan itu teroris, atau buronan internasional, kita nggak peduli. Kita nggak akan kasih info apapun, kecuali kalau orang itu tanya ke kita"
"Nah disitu poin nya!"
Qila tak mengerti
"Maksud aku, pasti dia tanya , entah dengan cara telepon atau dengan cara apalah, pasti tanya, dan Papa kamu kasih tau!"
Anak penjaga makam ini menolak untuk setuju. "Bukan Kak!" ia masih berusaha menjelaskan.
"Lebih tepatnya, hari itu, Papa cerita, nggak sengaja lihat kakak ambil gambar waktu antar orang ziarah. Mama yang jaga didepan sempat ketemu sama ~….Siapa tadi?"
"Fifi"
"Benar! Fifi, Mama cerita sih sempat sapa, nawarin untuk diaterin juga, tapi, Dia bilang lagi nggak mau Ziarah, cuman nyari orang aja, ya udah, kita nggak anterin"
"Tapi kok dia bisa tau aku di situ?"
Qila tak mempunyai jawaban untuk itu. "Ya, nggak tau…."
Aku memper tegasnya lagi "Yang ngasih tau aku di situ bukan kalian?"
"Bukanlah! Kurang kerjaan banget! Kita kira dia jemput orang lain kok, bukan Kakak!" jelas Qila
"Dia biasa datang sama orang lain, ya kita kira dia jemput orang itu"
Otakku mulai berputar ulang. Jika bukan mereka, siapa yang memberikan info. Atau aku yang teralu GR bahwa Defiance mencariku hari itu. Tapi jika tidak, kenapa jadi nggak ngomong sama sekali ya sama aku. Kalau semua nggak ada hubungan atau relasi, mestinya semua fine-fine aja kan.
"Emang Defi itu biasa datang sama siapa?, Pacar barunya ya?"
Kepala Qila miring sekian derajat. Tampak seperti orang jenius berfikir "Kayaknya bukan pacaranya deh, Cewek sih, tapi rasa-rasanya wajahnya tu familier…..Kayak…Kayak…."