"Aku yakin, kamu itu udah tambah gila sejak, tidak memiliki sumber dana yang jalas untuk hidup ya?"
Aku meberi kode pada Jason untuk diam.
"Eh, tugasmu itu cuma anterin sampai disini. Dah jangan bawel!"
Jason menghentikan mobil di bawah pohon rindang tepat di sisi kanan jalan.
"Kalau salah orang gimana?"
"Ya udah!" aku melepaskan sabuk pengaman. "Lebih baik salah, dari pada nggak di coba kan?"
Aku keluar dari mobil. Jason masih berusaha menghentikanku. Ia menurunkan kaca jendela mobilnya
"Terus kalau bener juga mau apa?" tanyanya lagi.
"Aduh kamu itu ribet bingit ya orangnya. Yang suruh aku ngalanjuti investigasi ala detektiv Conan ini siapa?"
Jason tak bisa mengelak bahwa dialah orangnya.
"Terus yang penasaran, sampai minta tolong temen-temen kamu siapa?"
"Gue juga sih…"
"Nah! Kan ! Terus yang semangat banget buat mencari bukti untuk menguatkan analisi kamu siapa?"
Sebelum Jason mengelak aku terus mencercanya dengan pertanyaan yang menyudutkan dia sebagai sumber permasalahannya.
"Siapa juga yang suruh kamu ikutan ke sini?. Inget ya, aku nggak minta kamu anterin kok, kamu kan yang ngeyel mau ikut!"
Kali ini Jason mencoba membela dirinya
"Lah, kok jadi aku semua yang salah. Yang suruh aku buka bukunya siapa?, Kamu kan?"
"Iya, tapi yang ngotot, baca tulisnnya kan kamu! Yang Paling penasaran juga kamu. Yang bilang kalau ini menarik untuk dipecahkan juga kamu! Semuanya Kamu kamu kamu pokoknya"
Kali ini ia sudah tak bisa lagi mengelak. Sebagai teman yang baik, Jason akan berusaha mengalah kali ini. Aku sangat yakin.
"Ya deh, gue yang salah. Dah aku tunggu di sini aja. Kamu yang masuk. Ntar kalau ada apa-apa aku masuk juga! Ingat ya, jangan maksa orang bicara, kamu bukan polisi. Ingat juga ada pasal-pasal yang bisa membuat kita…"
"…SSST. Enough. I know what I do"
********************************************************
~Jalan Semeru no 119~
Zaman sudah berubah, sifat orangpun akan berubah juga. Kepribadian , pola pikir dan cara mereka bertindak juga pasti akan berubah. Hanya kebaikan hati yang tak akan pernah pudar selamanya.
Setidaknya hal itulah yang bisa ibu Artha nyonya Wardani Scratz Suwigno ingat dari almarhumah anaknya. Dia adalah wanita tua yang berumur sekita limapuluh tahun. Dari keadaan rumah mereka, sepertinya ia bukan orang kaya. Di salah satu sudut rumah, ada foto mendiang Artha. Ia adalah sosok ibu yang baik. Ia tak mengusirku. Bahkan ia terus bercerita tentang anak sulungnya yang pergi sebelum ia dipanggil Tuhan. Air matanya terus menetes dengan deras.
Di samping Wardani, adalah adik Artha, sekitar 24 tahun. Dari sinar matanya. Aku bisa tahu. Ai Duna adalah seorang yang akan mengatakan apapun yang ia suka dan tidak suka. Tak peduli apakah aku ini penting atau tidak, tapi baginya, aku adalah pengganggu. Ia beberapa kali mencoba mengusirku. Namun sang ibulah yang berusaha membuatnya tenang.
"Jika boleh ibu minta ke Tuhan, Ibu minta, mereka sebaiknya jangan pernah di pertemukan" Kata Wardani mengakhiri pembicaraan kami.
Aku tak ingin membuatnya tambah sedih. Aku segera berpamitan dan meminta maaf atas kejadian tersebut. Ai mengantarku keluar dari pagar rumahnya. Sementara sang ibu tak mampu beranjak dari tempat duduknya.
"Kalau kamu lakukan hal lebih dari ini !" pesan Ai padaku. "Aku akan bikin kamu menmyesal se-umur hidupmu!"
Jason cukup terkejut aku bisa mendapatkan informasi sampai sejauh ini. Mengingat, dari beberapa resume yang ia kumpulkan, keluarga Artha adalah orang yang cukup tertutup. Bahkan saat hari H meninggalnya sang buah hati, tak satupun dari pihak mereka memberikan konfirmasi.
********************************************************
Pagi ini, Seorang pria tua menyapu halaman rumahnya dengan santai dan bahagia. Seperti hari-hari sebelumnya, ia bernyanyi-nyanyi sambil mengayun-ayun kan sapu yang ia bawa. Matahari belum tampak tinggi rupanya. Tentu saja ini masih sekitar pukul 05.30.
"Selamat pagi" sapa seorang pengantar kiriman paket on line.
"Oh, iya selamat pagi, cari siapa ya?" Tanya pria itu dengan logat sedikit kaku namun ramah.
Pengantar paket itu mengeluarkan sebuah amplop. Setelah kakek tua menandatanganinya, ia pergi dan berpamitan. Semetara si Kakek, segera melanjutkan pekerjaannya, datang seorang wanita yang terlihat sedikit lebih muda keluar menuju halaman. Setelah saling sapa, wanita itu mengambil paket yang tergeletak di teras rumah.
****************************************************
~Di Sebuah Komplek Rumah Masa Depan~
"Aduh, nggak jelas gambarnya, foto lagi ya" gerutu seseorang dari balik telepon.
Hope segera mengakiri video call dan kembali menjepret beberapa bagian tulisan dari batu nisan.
"Nah, gimana kelihatan nggak?"
Wanita lawan bicara Hope berfikir beberapa saat, ia tampak mencetak apa yang temannya itu kirimkan. Setelah semua tercetak dengan jelas, ia meninjukkan gambar tersebut.
"Nah, ini baru kelihatan…dengarkan baik-baik ya.."
Hope menyela pembicaraan mereka. "Jangan lisan donk, kamu tulis aja gimana?"
Si lawan bicara segera menurunkan kertas yang berisi cetakan gambar. "Ya, nanti aku tulis juga, tapi kamu dengerin dulu. Siapa tau kamu ada yang kelewatankan"
"Kelewatan apa?"
"Ambil gambarnya…"
"Ok, Dengerin ya" sang penerjemah memulai menscaning isi tulisn yang ia lihat
"Di sini terbaring anak kami terkasih, Matsura Ken , dalam usia 26 Tahun. Meninggalkan ayah, Hitsura Ken dan Ibu, Yana Kuncoro."
Lembar pertama selesai di baca ia beralaih ke lembar ke dua.
"Aku pergi, membawa musim semi. Memastikan matahari, tak dapat 4 musim dalam hidupnya. Biarlah langit musim dingin yang memakannya."
Foto berikutnya pun diambil.
"Lalu, …?"
"Lalu apa yang kamu lakukan disini?"
Hope menoleh kebelakang. "Loh, Defiance…Kamu Ngapain kok Udah pulang?"