" Waduh, Bu Lina nya barusan pulang"
Marry Anne menyayangkan kedatanganku yang terlalu sore.
"Oh gitu"
Aku segera mencari ponsel yang kusimpan di dalam tas dan melakukan panggilan.
"Tadi, sih bilangnya anaknya rawel, jadi pulang langsung" tambah Marry Anne.
Aku sedikit menarik tubuhku.
"Hallo?, Bu Lina saya terlambat ya bu?"
Lina terdengar kaget menerima panggilan dariku. Ia kira aku tak akan datang karena hari ini ada interview. Apa lagi ini sudah lewat dari jam dua siang. Setelah menyampaikan beberapa hal, ia memintaku menutup teleponnya. Tak lama selang beberapa menit, terdengar suara telephon kabel berdering di meja resepsionist. Marry manjawab panggilan tersebut. Selang waktu dua menit ia meletakkan kembali gagang telepon tersebut dan bangkit dari tempat duduknya.
"Ayo, ambil langsung aja ya di meja Bu Lina. Kebetulan Bosnya juga udah nggak ada dari jam 12 siang tadi"
Akupun mengikutinya ke lantai atas. Ia membukakan pintu dan mempersilahkanku masuk. Ia meyalakan lampu. Ia celingukan melihat isi meja. Ada beberapa keras yang dilipat diatasnya.
"Nah, ini kayaknya"
Marry Anne menyerahkannya lembaran demi-demi lembaran kepadaku. Setelah merasa yakin, catatan-catatan itulah yang harus ku ambil, aku segera membacanya sambil bergegas meninggalkan kantor Aura. Selama perjalanan melenggang keluar, aku mencoba memahami tiap goresan yang ada pada kertasukuran folio itu. Genap sepuluh menit aku sampai pada suatu kesimpulan berharga.
"CACING DISCO!"
" Apa?, nggak dengar Ibu?" . suara berisik dari jalanan kota ini mengganggu pembicaraan kami.
"Nggak kebaca Buk, kayak cacing disco." Aku mengulangi kalimatku pada Lina yang berada di seberang telephone.
"He he he masa sih?, ya gimana ya, Nggak sempat aku salin sih tadi. Tapi ya memang gitu tulisannya"
Jalanan sore masih terlihat ramai. Ini adalah harijumat, tentu saja semakin sore akan semakin ramai.
"Dah, gini aja kamu baca sebisamu ya,….Oh ya giman tadi?"
Aku bingung dengan pertanyaan ibu cantik di seberang sana.
"Iya, hasil interviewnya?"
"Oh, itu…" tiba-tiba aku tersadar akan hasil wawancara kerja yang aku datangi lagi. Tak ku sangga Lina cukup peduli denganku. Di tengah harus mengurus pekerjaaan dan rumah tangganya, ia cukup memperhatikanku juga.
"Iya, di terima sih Buk, Senin mulai kerja, Tapi….."
*******************************************************************
~Teras Rumah Ny. Lina~
Hari minggu ini, aku mengunjungi kediaman Nyonya Ronnie. Sebuah perumahan yang mewah berada di sisi kota. Aku duduk menunggu Lina Aura yang lebih dikenal dengan sebutan Ny. Ronnie di kompleks tersebut. Bukannya aku kurang kerjaan atau apa, minggu-minggu datang bertamu membicarakan proyek cerita romance yang ku kerjakan, tapi memang harus diputuskan mulai dari hari ini.
"Jadi, harus begitu?, Nggak bisa nggak?" tekan Ny, Ronnie kepadaku.
Aku hanya menggangukkan kepala.
"Tunggu, Bos, harus tau ni!" Ia segera masuk kedalam untuk mengambil ponsel miliknya.
"Minum dulu deh, Nggak papa, cobain kuenya juga, ni aku coba hubungi Pak Yan"
Sebagai tamu aku hanya bisa menuruti perkataannya. Aku mencoba es yang disuguhkan di atas meja. Dari balik jendela, seorang anak kecil mencoba mengintip setiap gerak-gerikku. Mungkin dia anak dari Ibu Lina.
"Yan, Nggak bisa Yan, gimana ni?" Ibu Lina segera bangkit dari kursinya menghampiri jendela. Brak!. Terdengar suara jendela turun. Anak yang dari tadi bermain di dekat jendela segera lari.
Segera setelah anaknya pergi,Lina segera masuk ke dalam. Ia mengambil sesuatu di tangannya.
"Ini, ini copian terakhir naskah yang kita punya"
Aku mengambil flash yang di letakkan tepat di depanku.
"Tapi pasti kan ya?, terbit?"
Aku memasukkan flash ke dalam tasku. "Ya, mereka bilang begitu Buk"
Lina mengambil minuman didepannya.
"Memang kamu di gaji berapa sih?, Sampai nggak boleh menerima pekerjaan di luar kantor! Semua harus melalui perusahaan. Penulis lain ajakan boleh kerjasama dengan lebih dari sutu penerbitan"
Aku hanya tertawa kecil mendengar pertanyaan tersebut.