Chereads / Takdir Yang Ku Tulis / Chapter 15 - HARI ITU

Chapter 15 - HARI ITU

Cerita Defiance membuatku tersadar, betapa mengerikannya tragedi itu. Setahuku mobil sport, bukan mobil yang akan berjalan lambat. Tapi, itu juga bukan mobil tanpa pengaman yang canggih. Jika pengendaranya sampai meninggal di tempat bukankah berarti tabrakan yang terkadi sangat keras.

"Terus, lawannya?". Defiance mengambil, kunci mobil dan kembali masuk ke dalam. Aku mengejarnya.

Brak, pintu sudah tertutup. Aku duduk kembali di sebelah sang driver. Defiance masih diam dan tak menjawab apapun. Mobil ini mulai berjalan mundur. Ia membelokkan mobilnya dan kemabali ke jalan raya. Ia menghentikannya. Mungkin ia ingin menunjukan padaku, cara Artaha berkendara saat itu.

"Kau lihat!, tepat dari arah sana mobil itu datang. Kurasa mungkin lebih dari 100 km/jam. Semuanya terjadi begittu cepat!". Defiance kembali berhenti memberi jeda.

"Aku menghampirinya, ia hanya bilang MAAFKAN AKU" aku masih memperhatikan setiap detail cerita Defiance. Dan ia mulai mematikan mobilnya.

"Walaupun ambulance datang lebih cepat, dokter membuatku yakin, ia tetap tak akan selamat"

Aku memandangi jalan raya di seberangku. Jalannya tak terlalau ramai. Apa ada factor X ya?. Pikirku. Semacam mahluk halus yang meminta tumbal atau apa begitu. Maklum di budaya kami, biasanya hal-hal tragis seperti ini akan mudah di kait-kaitkan dengan mantra, atau semacamnya.

"Terus Yang Nabrak, Tanggung jawabnya gimana?".

Defiance tak terlalu suka mendengar pertanyaanku. Aku mengulangnya, dan berharap ada jawaban baik untuk di dengarkan.

"Dia juga tewas!"

Tewas? Kata-kata itu akan semakin dramatis jika ku masukkan ke dalam novel yang aku tulis.

"Kau tau?, aku sudah mencoba memperingatkannya. Tapi, wanita kan lebih mementingkan perasaan dari pada nalar bukan?. Kebodohanku adalah membelikannya mobil sport itu sebagai hadiah pernikahan kami."

Aku terus saja membiarkan orang di sebelah ku bicara tanpa menyelanya. Ini harus dicerana baik-baik , agar novelku menjadi bagus dan bisa diterima oleh orang lain juga. Jarang-jarang kan ada inspiras novel seperti ini. Mengingat tak ada pekerjaan, mau tidak mau aku harus terus menuliskan lanjutan ceritanya.

"….itulah alasan kenapa aku memecatmu hari itu!".

Kalimat terakhirnya, membuatku terbelalak.

"Apa tadi?" Aku ingin dia mengulanginya lagi

Dia melihat kearahku sebelum menjawabnya. "Aku memecatmu karena aku tak mau kau bernasib sama dengan Artha. Kamu mengendarai motormu sendiri kan?. Jarak dari kantor bukan hanya 5 atau 10 menit. Dengan jalanan yang semerawut, Kemungkinan buruk terjadi lebih besar"

-PAKKKKK!-

Aku tak sadar menampar pipinya dan keluar dari mobil

***********************************************

"Apa?" Dela menelponku. "Kamu pukul?"

Suaranya benar-benar cetar."Kamu itu udah gak waras ya?. Tau berapa hukuman untuk memukul orang?".

Aku memindahkan ponselku ke telingaku lainnya. Telingaku melai panas setelah lebih dari sepuluh menit menempel pada layar.

"Berapa?"

"Bisa dipenjara tau! 6 bulan minimal. Mau kamu? Ingat lo, itu termasuk dalam kategori penganiyayaan.!"

Aku mulai berfikir. "Ya trus gimana donk, udah terlanjur kok!" Waktukan tak akan bisa diputar. Dan tak ada yang bisa merubah apapun.

Ada jeda beberapa detik sebelum Dela memberikan respon.

"Emang kenapa kamu pukul?" ia menanyakan detilnya kali ini. Walaupun aku sudah mengatakannya, tapi meungkin ia ingin aku menjelaskan rincian sebenarnya.

"Ya, ya, gitu lah! Aku sebel banget gitu. Masa dia pecat aku karena dia pikir aku bisa mengalami nasib sama kayak calon istrinya. La istrinya naik mobil sport. Aku cuma motor!. Aduh dia itu lagian ngapain mikir sampai segitu-gitunya. Bapak gue bukan, emak juga bukan.!"

"Ya tapikan nggak usah sampai dipukul juga kelles! Ni orangnya jam segini belum muncul lo dikantor! Jangan-jangan masuk rumah sakit ni!" Ucapan Dela membuatku sedikit melakukan kilas balik.

"Ah nggak mungkin, orang nggak kenapa-kenapa kok kemarin! Nggak usah lebay deh, Kayak tim sukses para Cawagub aja"

'"Eh, beneran, orang kaya itukan sukanya me-lebay-lebay-kan sesuatu. Baru apa dikit panggil pengacra, somasi! Kamu nggak takut?".

Ha ha ha Nasib orang miskin, selalu jadi kambing hitam orang kaya yang sok tau arti negara hukum.

"Ya salah sendiri, Lagian dia aja mecat aku nggak pake mikir, masa aku pukul dia harus mikir dulu?!. Dia nggak taukan gara-gara itu aku jadi nggak dapat kerjaan sampai sekarang! Dia pikir gampang apa cari kerja?"

Tok tok tok, seseorang mengetuk pintu kamarku. "Mbak-mbak!!! Aduh ini orangnya ada apa nggak sih" serunya dari luar!

"Udah ya, ni ada yang ketuk-ketuk pintu. Nggak tau siapa!" .Tak menunggu jawaban dari Dela aku menutupnya. Kulempar ke tempat tidur dan menuju ke handle pintu.

"Nah ini dia!" Ternyata pengetuk pintu adalah pmilik kos.

"Ada apa ya uk?" tanyaku.

"Maaf ya Mbak, itu mobilnya bapak mau keluar, tapi nggak bisa. Mobilnya mas kamar nomor 10 juga mau keluar tapi nggak bisa juga"

Terus apa hubungnnya denganku, keluar-keluar ajakan ya.

"Ibu, minta tolong ya, mobilnya temennya suruh minggir dulu…"

Aku dia tak bereaksi.

"Ia, aduh, masa ibu yang ngomong sih, kan nggak enak. Ya ?"

Aku masih diam.

" Aduh, kok cuma diam sih…! Sini-sini" Ibu kos menarik tanganku dan membuka pagar!.

Emmm astaga!

"Nah, itu dari tadi ibu ketok-ketok pintunya , tapi ya nggak di respon…."

Aku semakin malas menuruti keinginan ibu kos. 1221, aduh anggka itu, kenapa sih kok ya markir mobilnya di depan gerbang. Jalan milik sendiri apa.

-Tok tok tok-

Dia tak merespon. Dasar tukang tidur. Aku coba lagi

-Tok tok tok-

Ini yang kedua. Masih tak meresapon. Bahkan setelah yang ke tigapun masih tak ada responnya. Aku meninggalkan mobil ini

"Eh..loh loh, mau kemana?"

Aku tak menjawab. Tak lama kembali dengan sebuah alat komuikasi.

"Oh ambil Hp?" seru ibu kos yang ada di belakangku.

Menurutku, mungkin jika aku menelpon pemiliknya, bukankah akan lebih mudah dari pada hanya mengetu-ketuk pintu. Satu kali, dua kali, yang ketiga sepertinya berhasil. Pintu kaca mobil di turunkan.

"Nah, Pak! , mobilnya bisa minta tolong dipindah?. Ibuknya mau keluar"

Ia terlihat bingung. "Mobilnya, mundur dulu bisa?"

Ia menganguk dan memundurkan mobilnya.

"Nah, akhirnya, Udah Pak,bisa keluar" teriak ibu kos pada suaminya yang ada di dalam mobil.

"Makasih ya Mbak, dah…"

Mobil merekapun berlalau di ikuti mobil penghuni kamar nomor sepuluh.

Kurasa semuanya sudah beres. Aku segera menutup pintu pagar.

"Eh, lo ya jangan ditutup donk, itu gimana?" Tanya penjaga kos ku. Ia menunjuk karah Defiance.

"Oh iya, aku lupa…."

Defiance terlihat tambah jelek hari ini. Ia malah berdiri mematung disamping mobilnya. Dia mau apa ya.

"Nggak takut kamu dituntut?" kata-kata Dela kembali ketelingaku. Jangan bilang ya, dia datang untuk membawaku ke kantor polisi.Toh pipinya juga nggak merah kok sudahan.

"Kenapa?"

"Ha?"

Dia malah bilang Ha."Cari siapa?". Tanyaku lagi.

"Oh , Aku?"

"Siapa lagi kalau bukan kamu". Aku hanya tersenyum dan tak mengeluarkan kata-kata itu.

"Kemarin kan kamu pergi , jadi aku kira kamu kesasar, ya, aku cari. Tapi nggak ketemu." Dia berhenti dan mulai tak yakin dengan apa yang ia ucapankan.

"Sejak jam barapa ada di depan pagar?".

Ia malah terlihat bingung. Aduh susah ngomong sama orang setengah ngangguan jiwa.

"Sejak tadi jam 10"

Ha?! jam sepuluh. Sekarang jam 9. Artinya jam 10 malam. Bodoh! ngapain, juga nunggu di depan pagar. Aduh bikin susah aja.

"Emmm, semalam nggak pulang?, tidur di mobil?"

Dia hanya menggangguk. Seperti anak anjing puddle.

"Ya, saya kira, kalau saya tunggu di luar saya bisa ketemu kamu. Saya kan nggak mungkin ninggalin kamu gitu aja, wong berangkat tadi pagi kan sama saya"

"Aku kira, siapapun pasti akan melalui pintu ini jika masuk, termasuk kamu"

"Terus, kan gue udah pulang dari jam 07.00, Bapak tau saya pulang?"

"Oh,…jadi,~ kok bisa pulang naik apa?"

Aku tersyum merasa aneh dengan pertanyaannya. Aku lupa orang seperti dia kan otaknya pendek pasti ya. Setengah depressi. Harap dimaklumi.

"Naik, transjakarta!"

Di terlihat berfikir. Sebelum ia bicara banyak, aku meng-cut nya dulu

"Bapak pulang ya, kan semalam nggak tidur, Ok?".

"Emm, maaf ya…"

"Untuk apa ya?".

Dia menjawab singkat. "Yang kemarin!"

"Saya yang harusnya minta maaf, kan saya yang pukul Bapak, Dah ya , saya udah pulang, selamat udahan , Bapak pulang ya....."

Aku membujuknya pulang. Dia masih terlihat bingung.

"Terus, Novelnya gimana?".

. "Maksud ku, Emm,kalau nggak mau lanjutin nggak apa-apa kok, nanti uangnya tetep saya transfer…."

Dia menanyakan hal itu lagi. Cinta memang buta ya Sis. Matipun, pingin dihidupkan kembali lewat sebuah cerita. Jika ku tolak, rumayan sih, aku tetep akan dapat uangnya.

"Ia, Pak, saya akan tulis, besuk, saya akan kasih bab berikutnya, ya,…Bapak pulang dulu ya, gimana?"

Wajahnya berubah drastis

"Sungguh?, Nggak bohong kan?"

Yang suka bohong Elu kelles kataku dalam hati.

"Ya nggak lah Pak, Besuk saya Hubungi Bu Lina ya?"

Defiance mengucapkan banyak terimakasih. Dan segera masuk ke mobil. Sebelum ia pergi, ia mengingatkanku, bahwa Lina, sementara tak bisa dihubungi. Anaknya harus dirawat di rumah sakit.

"Aku telpon aja ya besuk, Boleh?"

"Bukanya nggak boleh Pak, Tapi, Handphone ini, nanti malam di ambil sama yang punya"