Chereads / Takdir Yang Ku Tulis / Chapter 14 - PASIEN

Chapter 14 - PASIEN

Setelah semalaman menangisi nasib burukku, aku tak bisa bangun pagi hari ini. Matahari mulai tinggi, jam 09.00. Suara orang-orang bicara terdengar sangat keras. Mengigat ini juga sudah bukan jam tidur lagi. Seharusnya jam segini baik pengangguran maupun pekerja sudah berada di posisi mereka masing-masing, untuk memulai pekerjaan mereka, atau setidaknya hadir dan mengisi finger print.

Setelah sekitar lima belas menit aku melamun di tempat tidurku, aku megambil kaca kecil di sebelah bantal empuk yang menyangga kepalaku. Astaga bengkak. Ke dua mataku seperti habis ditonjok orang saja. Bengkak seperti ikan bader. Aku harus segera bangun dan mencuci muka, mandi dan membereskan kamarku. Ya setidaknya, untuk mengisi waktu luang ku lah. Maklum, sekarang ini, aku lebih tepat disebut pengacara. Penganguran banyak acara. Mulai dari membersihkan diri sampai mengurusi gosip-gosip terhangat seputar ibu kota.

Sungguh udara terasa mulai panas siang ini. Ini sudah tiga puluh menit sejak mataku terbuka. Aku hanya bisa menghabiskan waktu luangku dengan cara yang membosankan. Saat kerja kita semua ingin berlibur, sedangkan saat tak ada pekerjaan, kita selalu mengeluh dan berharap mereka datang. Perutku mulai terasa lapar. Sebagai anak kos yang serba kekuraangan, biasanya kami harus menghemat uang sebisanya. Aku hanya makan pagi dan siang. Untuk malam hari sudah kuputusakan kubatalkan sejak aku keluar dari pekerjaan gilaku.

" Hai, Mau kemana Mbak?" suara ibu kos membuatku kaget pagi ini.

"Ini lo, dicari-in temennya…" katanya lagi sambil tertawa-tawa bicara dengan orang yang dianggapnya temanku.

Setelah aku tak terlalu merespon, ia bangkit dari tempat ia duduk dan mendekatiku.

"Dia, sudah tunggu dari tadi jam 7, cuman, dia nggak berani ganggu kamu, katanya takut kamu masih tidur". Aku hanya diam dan tak banyak menyahut.

"Sudah ya, Ibuk masih banyak urusan. Ibu tinggal dulu ya." Ia segera pergi dan meninggalkan lobi depan.

"Saya tinggal dulu ya" serunya pada sang tamu.

Setelah berpamitan ia ngelunyur pergi begitu saja. Tamu yang ia sebutkan tadi sama sekali tak bergerak dari tempat duduknya. Bukan orang yang penting, kataku pada diriku sendiri. Aku tak memberikan sambutan yang baik padanya. Tak terlalu penting juga bagiku untuk menanggapi kedatangannya. Ku putuskan untuk mengabaikannya.

"Tunggu,…".

Aku berhenti dan membalikkan badanku.

"Ikutlah denganku, aku janji,…kalau Kamu nggak suka Kamu tak perlu melihatku lagi…"

Ia mengajukan penawarannya padaku.

"Baiklah, begini, akan kujelaskan semunya bagaimana?"

Aku masih tak memberikan jawaban apapun padanya.

"Jika tak suka dengan penjelasannku nanti, Kau tak perlu mengembalikan apapun padaku,…?". Masih dengan respon yang sama.

Ia kelihatan bingung. Untuk orang sekelas dia pasti tidak pernah diabaikan oleh orang lain.

"Aku minta maaf, bagaimana?" tambahnya lagi. "Aku memang salah, maafkan aku ya, aku akan jelaskan. Kali ini saja, berikan aku kesempatan"

Sepuluh juta, Dp 3 Juta tambah menjadi 5, jika aku tak suka dengan penjelasannya, aku tak perlu mengganti apapun. Kurasa ini adalah penawaran yang cukup mengesankan. Mengingat aku sedang tak banyak uang saat ini. Aku tak pernah tahu apa isi otak Defiance. Aku ingat sekali, ia memecatku tanpa alasan. Lalu tanpa alasan pula ia datang untuk menjelaskan semuanya. Kurasa ini pasti demi novel souvenir di hari peringatan ke 10 kematian Vine Artha.

Jika ia tak mengatakan maaf, aku tak akan pernah mau mendengarkan penjelasan apapun padanya.

"Kita, mau kemana?" Ia tak menjawab. Dia terus saja menjalankan mobilnya.

Lampu merah, belok kanan, lurus, naik turun, dan seterusnya. Entah ini di mana terserah dialah , yang penting berangkat selamat, pulang juga selamat. Mengingat aku juga tak suka padanya, mobil ini menjadi sangat sepi, seperti mobil ambulance. Setelah sekitar empat puluh menit, berhenti. Tepat di sebuah jalanan yang tak terlalu ramai. Ia memarkirnya di sebuah kafe kecil. Dan keluar dari mobil. Aku hanya mengikutinya. Dia duduk di sebuah kursi yang di sediakan.

Orang ini ling lung atau sudah mati sih, pikirku. Bahkan waitress yang datang setelah melihat wajahnya langsung pergi tanpa bicara apapun. Ia menatap lurus ke arah sebuah tiang di pinggir jalan. Dengan tatapan kosong. Wah jangan-jangan orang ini mental disoreder nih.

Waitress kembali datang dan membawa minuman. Aneh seingatku, tadi Defiance tak memesan apapun. Setelah meletakkan minuman di Defiance, waitress tersebut segera pergi. Aku yang duduk di depan pria ini tambah terlihat seperti seorang psikiater yang sedang melakukan terapi padanya.

Menurut ku ini sia-sia, ia tak bergerak dari tempat duduknya dan terus melihat ke depan dengan tatapan kosong. Aku melirik jam di ponselku. Sudah satu jam. Bahkan orang yang berada di dekat bangku kami duduk sudah berganti orang.

Aku memutuskan untuk bangkit berdiri dan mendatangi barista.

"Selamat siang, mau pesan makanan?" Tanya orang itu dengan ramah.

Aku tersenyum dan melihat menu yang ada di dinding. Bukan menu khusus yang membuat beberapa orang tak bisa memakannya.

"Minuman anti stress ada nggak ya?" Barista itu tertawa. Ia menoleh ke belakang dan memeriksa menu-menu sekilas.

"Adanya anti haus mbak ?" jawabnya dengan sedikit bercanda.

Aku menggaruk leherku.

"Mau jus aja ta?, Ada jus leci lo" saran barista itu.

"Nggak ah, mahal 50 ribu Mas" Barista itu kembali tertawa.

"Lo kan dibayarin kan sama mas yang duduk di sana?"

Aku langsung menoleh ke arah barista itu menunjuk.

"Mas, dengerinya…, si Mas-Mas yang di sana itu pasiean saya mas"

"Pasien?" Barista itu kaget.

"Iya, kita lagi sesi konseling Mas. Pengobatan Jiwa"

Barista itu mengangguk-angguk. "Emang sakitnya apa?,"

"Nggak tau, masih kita cari" barista itu semakin penasaran

"Tapi dia sering lo datang ke sini, bahkan sebelum saya kerja di sini, dia udah sering datang kata bos saya. Terus, kalau dia datang biasanya, kita langsung kasih dia menu yang sama ia pesan, untuk pembayarannya, nanti ditangih di kantor kata bos saya"

Aku mengerti sekarang, itulah sebabnya waitress yang tadi langsung datang membawakan segelas minuman.

"Oh gitu, Ok deh yang paling mahal, Jus Leci. Masukkan ke tagihannya dia ya."

"Beres Mbak, Mau di anterin aja?"

"Nggak usah aku tunggu aja" barista itu mengguk. Tak lama minuman pun jadi "Kok baru sekarang sih, ngobatinya, nggak dari dulu aja?". Tanya barista sambil menyerahkan minuman padaku. Aku mencicipi minuman tersebut, siapa tahu kurang manis.

"Dia udah lama lo itu kayak begitu,…" tambnya meyakinakanku.

"Ya, baru sadar dia kalo sakit, Dah ya maksih"

"Iya mbak, sama-sama, nanti kalo butuh apa-apa tinggal bilang aja ya"

Aku kembali ke tempat dudukku. Semoga ada perkembangan. Ternyata tidak ada. Minuman masih utuh, dan masih melihat lurus kedepan. Yah, apa boleh buat, aku mengeluarkan tab, dan memanfaatkan wifi gratis. Melihat-lihat instagram, dan sisoal media lainya. Sungguh ini akan memakan waktu yang lama. Aku meliriknya sesekali.

"Sesi konseling di Café tanpa arah" status baruku di facebook. Setelah agak bosan, aku meletakkan tab, dan meminum jus yang kupesan.

"Nggak mau makan?" . Dia bertanya padaku untuk pertama kalinya setelah 3 jam bersama. Aku menoleh ke arahnya.

"Udah sadar Pak?" tanyaku balik.

Ia melihatku sebentar dan kembali melihat ke arah tiang di seberang jalan.

"Dasar orang gila!" pikirku.

"Saat itu, temannya menelpon. Sahabatnya…"

Aku terkaget mendengar pria pelamun ini mulai bercerita. Akupun hanya terus memainkan games yang ada di aplikasi tab ini.

"Katanya, minta dijemput".

"Siapa?" tanggapku seperti bicara pada angin lalu.

"Sahabatnya, Riana. Ia ingin menjemput Rianan dengan mobil sport baru, hadiah pernikahan kami."

"Oh, terus?" aku masih saja tak terlalu mempedulikan Tiger.

"Dia memaksaku memberikan kunci, lalu ia mulai meninggalkan tempat ini, ia memundurkan modil sport itu, tepat sampai pagar yang di sana! Lalu ia mulai melaju…"

Defiance menghentikan cerita serunya sesaat.

"Dari arah berlawanan ada mobil lain, dan brak!, kecelakaan itu terjadi!"

Jariku terhenti. Aku menegadah ke arahnya. Wajahnya masih datar dan tak menunjukkan emosi apapun. Aku pun sadar, sepertinya yang ia ceritakan adalah kejadian yang menimpa istrinya. Vine Artha.

"Saat aku berlari menghampirinya, semuanya sudah terlambat!"

Defiance, mulai berdiri.

"Dia memeinta maaf, dan pingsan, Kau lihat tiang yang di sana?" .

Aku mengganguk. "Ada bekas goresan di tiang itu, karena kekuatan 2 mobil yang saling menghantam! Tepat 1 hari sebelum pernikahan kami.