"Kok lari terus sih mbk,!!!" protesnya padaku. Aku membalikkan badanku.
"Kenapa sih?, saya ini bukan copet." Kalau loe bukan copet apa donk. Gendam? Gerutuku dalam hati.
Aku berusaha membuat tanganku terlepas. Perlahan. Jika gegabah, mungkin aku yang akan di pukulnya.
"Mbak, tunggu ya~ jangan lari!"
Pintanya padaku. Gila aja , Lari lah gue. Ada kesempatan lari ya!!! Lari!! Bodo amat. Amat aja nggak bodo!
"Aduh mbak ini, pasti mau lari lagi ya!!!!"
Ia merogoh sakunya
"Hallo, iya Buk ketemu . Pelan-pelan aja buk jalannya, di depan orang jual es potong ya?…Ya saya tunggu ya…"
Ia menggubungi bosnya, pasti ia penadah, traffick king. Human traffic king pikirku. Aduh apes amat sih aku. Aku pasti mau di jual ini. Teriak-teriak juga nggak mungkin. Ia menarik tanganku.
"Nggak mau di lepasin tanganku?"
"Nggak, nanti kabur lagi pasti!"
Sandra ta aku ni?. Ia celingukan memandang banyak orang berlalu lalang.
"Buk-buk sini buk!!!" Ia berteriak sambil melambaikan tangan. Seseorang datang mendekati kami sambil sedikit berlari.
"Oh, aduh…" nafasnya terengah-engah. Ia jongkok sebentar.
Ia membuaka tasnya. Mengambil dompet dan menmgeluarkan uang selembar 50 ribuan.
"Makasih yaMas, aduh maaf lo ngrepoti, ini buat beli pulsa."
"Nggak usah Buk, jangan…"
Wanita itu tampak memaksa. Pria tadi akhirnya menerima uang itu.
"Makasih ya …Buk, Mbk! jangan kabur lagi. Masa sama ibu sendiri kejar-kejaran" tukasnya.
"Ya sudah, mari Buk saya pergi dulu ya, makasih lo Buk, sampai diberi ongkos segala, Dijagain ya buk anaknya. Jangan boleh kabur lagi dari rumah…"
Waduh, apa-apan ini. Aku di bilang anaknya.
Pria berambut gondrong tadi segera pergi. Meninggalkan kami begitu saja. Tasku yang tadi dibawanya, kini jatuh ke tangan wanita yang mengajakanya kerjasama tadi. Aku ingin lari rasanya. Pergi jauh, lari, tak mau kompromi apapun.
***************************************************************
~Resto~
"Ayo pesan aja, nggak papa, ibu yang bayar." Ia melihat-lihat banyak menu makanan. Siapa sih dia, sok kenal banget sama aku. Ia bolak-balik melihat menu makanan yang ada di depannya. Gila harganya, bisa digunakan makan seharian untuk satu menu.
"Mbak, saya mau pesan yang ini, ini dan ini…" waitress di sebelahnya menulis semua yang ia minta.
"Kalau mbaknya mau apa?"
Aku tersadar dari pikiranku yang melayang-layang. Aku segera membuka-buka kembali menu yang ada di tanganku. Danging, ayam, daging ayam. Aku kan nggak bisa memakan yang seperti ini pikirku.
"Ini aja mbak" waitress bernama Lia menuliskan pesananku.
"Nggak mau makan?"
Aku menggeleng. Perutku kenyang. Dan siap memuntahkan makanan di dalamlambungku jika aku tak terima penjelasan apapun.
"Di tunggu ya,…" wanita ramah itu segera menghilang menuju dapur.
Aku masih tak mendapat jawaban apapun. Yang mentraktirku belum mau memberikan konfirmasi apapun. Kenapa ia menyuruh orang mengerjarku. Mengambil tasku, sampai berbohong, aku anakknya yang kabur dari rumah. Belum terjawab. Aku bahkan masih berada dalam pengaruh kekuasaannya. Jika aku tak mau ikut, ia akan lemparkan semua tasku ke danau dekat The Resto.
"Jadi begini lo, nama ibu, Lina Aura" ia menyalamiku.
"Kemarin, ibu ke kos kamu!, tunggu lama, 3 jam tapi kamunya nggak ada" dan sterusnya dan seterusnya. Ia mulai menceritakan siapa dirinya secara perlahan. Ia mengakui bahwa, ia yang meneleponku berkali-kali. Saat ia tak sengaja melihatku di MRT. Ia sadar itu adalah aku. Untuk memastikannya, ia menekan tombol call dari gadgetnya. Ia semakin yakin setelah aku mengangkatnya saat di keramaian. Ia mengikutiku, langkahku yang terlalu cepat membuatnya sulit menyusulku. Ia beberapa kali menghubungiku, namun sepertinya operator miliknya sedang error. Sehingga ia tak dapatkan hasil apapun. Karena, cukup frustasi dan lelah, ia meminta tolong mas- mas yang sedang menjaga parkiran.
"Ia jadi, ya ibuk bilang aja minta tolong kejarkan anak Ibuk yang bawa kabur uang ibuk. Gitu…Eh masnya mau bantu. Ya habis gimana lagi, Ibuk udah tuaya, kalau harus kejar-kejaran rasanya nafas ini nggak kuat. Masnya tadi setuju bantu, minta nomor ibu" jelasnya padaku.
" La terus, ngapain ibu datang ke saya?, saya punya hutang sama ibu?" tanyaku padanya.
Ia tak mau menjawab. Ia menunggu waitress yang dari tadi sibuk menata makanan di depanku.
"Trimaksih…"
Wanita didepanku malah mencicipi makanan yang di pesan lagi. Ia memintaku mencoba minuman yang aku pesan.
"Manis?" aku mengangguk. Ia mengambil tas yang dari tadi berada di sampingnya.
"Begini, tandatangani dulu ya?, mau kan?"
Novel yang dibawanya aku ambil dan aku tanda tangani. Ini adalah novelku. Sepertinya belum dibaca sama sekali. Kertas bagian dalamnya terlihat masih rapi dan halus.
"Nah, begitu, ......Ok trimaksih. Pulpennya bawa aja, itu dari Singapore"
Dasar tukang pamer. Ia segera menyimpan buku itu ke dalam tasnya kembali. Diletakkannya tepat di sebelah tas milikku yang di sandera dari tadi. Aku memperhatikan tingkah wanita ini dari tadi. Jika bukan Karena ia memiliki tas merahku, aku pasti sudah pergi meninggalkannya. Satu-satunya hal yang kembali padaku adalah sepatu yang tadi aku masukkan ke dalam tas tersebut.
Ia mulai menguta- atik, makanan yang tertata rapi di atas piringnya masing-masing. Sepertinya enak. Tapi aku lebih memilih kebebasanku dibandingkan dengan makanan seharga satu hari gaji.
"Sebenarnya begini, ibu ini kerja di suatu perusahaan. Ibu sekertaris lo, tugas ibu banyak banget. Surat menyurat, …"
"Ia ibu aku percaya, terus to do point aja gimana?..Mau ibu itu apa, ini sudah hampir malam lo buk…"
Wanita itu segera menghentikan garpu yang menuju mulutnya.
"Iya, maaf lo ya, Ibu ini, kan cuma pegawai, cuma di suruh sama BOS ibu…"
"Di suruh apa?" tanyaku tajam, mendetail dan menyudutkan. Aku tak mau lagi berbelit-belit dengan wanita ini. Aku sudah capek mendengar curahan hatinya dari tadi.
"Bos ibu itu, suruh ibu cari souvenir" tukasnya
"Su-VE-NIRRRR?"
"Iya,...…"
"Oh untuk pernikahan?" tanyaku.
Ibu Lin menyeruput es dengan sedotan yang ada didepannya.
"Untuk, peringatan kematian yang ke 10 !"
"Ayahnya?"
Lin kembali menggelengkan kepala
"Istrinya!