Defiance mengambil meja kosong dekat jendela. Ia berharap hujan di luar segera reda. Dari meja tempatnya duduk, ia bisa melihat jelas, dua orang mekanik sedang mengganti roda taxi yang ia naiki, sementara sang sopir, masih berusaha memperbaiki sesuatu. Karena teras hanya menengenai sebagian mobil, orang-orang yang membantunya mengganti roda terlihat cukup basah.
Defiance hanya bisa menggeleng-gelangkan kepalanya. Baginya hari itu sudah cukup buruk. Ia berharap semuanya akan segera membaik. Setidaknya, buatlah hujan deras berhenti, sehingga jika ada taxi lain yang lewat ia akan langsung pulang ke rumah, mengingat Hanphone yang ia pakai, low bat dan mendadak kering kuota.
Seorang pelanggan masuk. Ia mengambil keranjang, mengambil selusin map cokelat besar. Selusin amplop cokelat kecil. Ia memfoto copy beberapa benda dari tasnya, seperti ktp, sim , ijazah atau surat-surat penting lainnya. Alat-alat tulis pun juga tak lupa dari pandangannya. Tak lama ia segera ke kasir.
"Karena Kakak sudah membeli koran kemarin dengan setengah harga, saya beri bonus." Teriak kasir dengan keras.
Beberapa orang sempat menoleh karena kasir bicara cukup keras waktu itu. Defiance pun, melihat ke arah belakang.Rupanya sasaran sang kasir adalah dirinya yang tadi sempat meragukan apakah koran expired cukup ada peminatnya.
"Segelas teh panas. Tapi harus diminum di sini ya, nggak boleh di bawa pulang."
Tak lama sang kasir, menawarkan membawakan teh tersebut ke satu-satunya meja kosong di depan Defiance.
"Silahkan, kalo butuh payung, kami ada diskon 50 %, ok?"
Kasir tersebut segera pergi, dan memberi senyum manisnya pada Defiance saat berbalik. Defiance benar-benar tak beruntung hari ini. Ia sudah mebuat Henderi kesal, ke dua, kasir café sekaligus pemilik tempat tersebut juga menyindirnya habis-habisan. Ketiga, ia seperti merasa pernah melihat, wanita yang ada di depannya. Hanya saja ingatannya tak terlalu bagus. Ia terus mengingat-ingat karena penasara. Tapi satu namapun tak muncul di benaknya.
Sedangkan orang yang di depannya. Mendadak berwajah seperti ingin memakannya. Defiance, hanya santai, dan pura-pura tak mengetahui hal tersebut. Wanita itu tak sedikitpun mencoba teh yang diberikan secara, gratis. Ia melirik jam tangannya. Tak lama, ia memutuskan berdiri, membawa barang belanjaannya, dan teh yang terhidang di meja. Ia berjalan, melewati Defiance, dengan wajah seperti ingin menyiramkan teh tersebut ke wajahnya. Defiance hanya mengabaikannya, sambil mencuri-curi pandang dari cermin besar dihadapannya.
"Aku ambil aja deh payungnya," kata wanita tersebut.
Karena wanita tersebut cukup kenal pemiliknya, Jason meminjamkan payung secara gratis. Teh yang di bawa, di berikan tutup. Wanita itu berjalan keluar dan menyerahkan teh pada sopir yang terlihat basah. Wanita itu terus berjalan sampai akhirnya menghilang di persimpangan.
Defiance kambali melirik jam tangannya. 20.00, sudah cukup lama ia menunggu. Ia memperhatikan, sopir dan para mekanik itu. Sudah menyala, lampunya sudah menyala. Indikasi bahwa taxi selesai di perbaiki siap meluncur kemanapun. Ia segera bangkit dan mengambil handphone yang ia cas di ujung lorong dekat meja kasir.
"Maaf boleh saya tanya sesuatu?"
Jason , sang pemilik café bangkit dari kursinya.
"Koran edisi kemarin, untuk apa ya?"
"Lowongan pekerjaan, wanita tadi membeli banyak amplop untuk mengirim surat lamaran pekerjaan. Kan, kalau berita pasti sudah basi, tapi lowongan pekerjaan setidaknya bisa di pakai 1 minggu. Kemarin, dia juga beli korang bekas, rumayan, setengah harga. Beberapa orang mencari Koran bekas juga untuk tugas sekolah" terang Jason pada Defiance.
"Setahuku, wanita tadi sih, udah kerja Mas, tapi nggak tau, tiba-tiba aja dia jadi butuh pekerjaan lagi. Kasihan aku Tanya, nggak jawab."
"Mas, kenal sama tadi" Tanya Defiance.
"Kenal banget sih, enggak, tapi dia kan sering ke sini, terus dia juga penulis novel indie. Jadi ya tau lah pasti. Sering ngobrol juga kadang."
"Ohh"
"Denger-denger sih, dia di pecat sama bosnya. Kasihan baru kerja sebulan udah di pecat. Bos macam apa itu!"
Defiance, hampir tersedak kopi yang diminumnya.
"Emang kerja di mana?," Tanya Defiance, sambil meraih tisu di meja kasir. Di luar, sopir taxi terlihat berjalan ke arah café.
"Nggak tau. Escada nggak pernah cerita. Eh aku ada novel punya dia mau beli nggak?, Aku kebetulan beli lebih dari satu buat di display "
Defiance, langsung membayar novel tersebut , dengan uang seratus ribuan. Ia menolak kembalian dan meraih novel baru miliknya. Tanpa tunggu lama, is segera keluar dari Cafebook shop sambil mengucapkan terimaksih.
******************************************************
Aku tak pernah tau kalau nasibku akan seburuk ini. Aku harus pontang-panting menghabiskan uangku kembali demi sesuatu yang disebut pekerjaan. Aku mengirimkan semua file-file yang di perlukan dari satu ke tempat ke tempat lainnya. Aku mengirimkan e-mail dari satu perusahaan ke perusaahhan lain. Uang tak bertambah. Malah kebutuhan membengkak.
Ini adalah satu minggu sejak aku berhenti dari pekerjaan. Lebih tepatnya diberhentikan. Aku tak pernah tau apa alasannya. Saat aku minta penjelasan, Tan malah memohon agar tak menuntut apapun atas perkara ini. Ia memohon dengan sangat agar aku ikhlas, memaafkan dan menerima semuanya dengan senang hati. Karena aku dianggap tak melangar SOP apapun, mereka memberikan sisa kontrak selama setahun sebagai kompensasi. Memang jumlahnya tak sedikit tapi bagiku, ini akan segera habis jika aku tak segera mendapatkan pekerjaan.
Tante Tan memintaku agar melupakan semua hal yang terjadi. Membukankan pintu maaf serta melupakan si Macan yang memintaku diberhentikan. Akukan bukan Tuhan yang Maha Pengampun. Aku hanya manusia biasa. Aku tak bisa memaafkan orang lain dengan alasan yang tak bisa ku terima.
"Tuhan akan mengampuni orang yang juga mengampuni orang lain yang bersalah kepadanya"
Tapi alasannya harus jelas. Kenapa!. Alasannya apa?Mengapa aku harus diberhentikan tidak hormat. Sudahlah, aku mengomel selama apapun, aku tetap saja tak akan mendapatkan keadailan.
"Hai, sudah pulang?" . Bu Rani yang sedang membersihkan halaman menghampiriku.
"Kenapa buk?".
"Ada yang cari" tuturnya, sambil meletakkan sapu lidi dan menghampiriku.
"Tadi sih, udah pulang tapi. Cari kamu. Sempat tunggu sih tadi, tapi kan Mbak lama nggak balik-balik." Serunya bercerita.
Ibu Rani, adalah orang yang terus mengawasi kos-kosan tempatku tinggal. Ia biasanya, menerima paket ataupun tamu terlebih dahulu, sebelum kami. Ia menjelaskan wanita paruh baya, yang mencariku. Dari ciri-cirinya, aku tak dapat gambaran apapun. Di tambah lagi, wanita itu bilang, belum pernah menemuiku juga.
"Katanya sih, minta nomor kamu. Tapi ibu nggak kasih. Tunggu kamu dulu. Nggak papa kan?"
"Ia ya buk, nggak papa" jawabku.
"Mungkin dia balik besuk?!"
Aku segera masuk ke dalam kamarku. Menyalakan lampu. Kakiku menginjanjak selembar kertas. 0812345612 .
"Lin Aura"
Mungkin wanita yang tadi menemuiku, ingin aku menghubunginya. Namanya tak aku temukan dalam ingatanku. Aku tak paham apa maksud dan tujuannya mencariku. Aku tak ada gambaran sama sekali. Kertas putih itu hanya aku selibkan pada buku-buku yang ada di mejaku.
~HRD ROOM~
"Oh, pastikan ada alasannya nih, masa kerja baru satu bulan di setop?"
Aku membisu, bingung harus menjawab apa. Ku rasa hanya orang yang bermasalah dengan dunia kriminalitaslah yang pantut di perlakukan seperti itu.
"Gimana mau kasih tau ke kita apa alasannya?"
Aku masih diam dan memutar otakku. Tik tok tik tok, suara jarum jam terdengar cukup keras di sini. Keheningan tak bisa membantuku sama sekali.
"Ok deh, mungkin lain kali ya kasih tau ke kita, trimaksih, untuk hari ini cukup"
Aku segera ditolak dari perusahaan tadi. Yah, ini adalah wawancara ke 4 dalam minggu ini. Dan masih sama tak membuahkan hasil apapn. Aku ingat, saat wawancara kemarinpun, ada beberapa hal yang mereka tanyakan.
"Hmmm, masa sih kamu penulis indie. Kok saya nggak pernah dengar judul novel kamu ya?"
Tak beda jauh dengan wawancara hari ini. Hanya beda sedikit masalah pertanyaanya. Aku berjalan keluar dipanasnya terik matahari. Jam 16. 00. Sudah sore, harusnya sudah mulai redup. Kurasa pemanasan global membuat kota ini semakin panas.
Aku membuka-buka hanphone di tanganku. Tak ada panggilanmasuk selama aku menonaktivkannya tadi. Sms pun juga tak ada. Pesan-pesan lain juga sepi. Mungkin belum rejeki. Aku ingat kata-kata, mbak-mbak yang kos di dekat kamarku. Mereka tukang gossip sejati.
"Kata mamaku, harusnya kita itu tawakal. Wiritan, berdoa. Bukan seneng-seneng dong. Gimana mau dapat kerjaan, kalau kerjaanya cuma keluyuran."
Kata-kata itu cukup terngiang-ngiang di telingaku. Apa aku kurang berdoa ya?. Jika memang kurang, harusnya aku berdoa dari pagi sampai pagi lagi gitu?. Apa aku kurang amal ibadah ya. Tapi jika diingat-ingat lagi, perpuluhan, persembahan, sudah ku berikan. Apa aku kurang berbakti pada orang tua, tidak juga, tapi ya entahlah, mungkin ini sudah takdirku.
Setelah menempelkan kartu, aku segera menunggu di depan rel. Tak lama, sekitar 5 menit MRT datang dan aku langsung masuk ke dalamnya. Di dalam sini sinyalnya tak terlalu bagus. Hanya ada dua, pendek-pendek pula.
"Permisi, boleh duduk disebelahnya?" tanya seorang anak kecil padaku.
Ia tak menunggu jawabanku dan langsung duduk begitu saja. Aku melirik ke handphoneku yang bergetar. Ada panggilan masuk. Tapi karena sinyal tak begitu bagus, saat ku angkat, hanya suara kemresek saja yang ku dengar.
Turun dari MRT, aku melihat lagi nomor yang tadi menghubungiku. Mungkin ini panggilan interview. Aku mencoba mnghubunginya kembali.
"Pulsa anda tidak mencukupi"
Aku baru sadar, sudah habis pulsa di dalam handphone yang aku miliki. Di kanan dan kiri jalan ku lewati, tak kulihat ada conter pulsa. Ya mungkin ini bukan rejeki. Itulah rumusan yang biasanya kami orang-orang yang hampir putus asa gunakan sebagai pelipur lara. Lebih tepatnya lari dari kenyataan.
Jam 17.00, sudah satu jam aku menempuh perjalanan ini. Di jalanan pulang , ada pementasan tari tradisioanal. Ramai sekali. Aku penasaran dan mendekati mereka. Oh, seni Reog Ponorogo ternyata. Suara musiknya ramai sekali.
Dreeet Dreeet drett, hanphone di tanganku kemabli bergetar, ini masih nomor yang sama
"Iya?....HALO…HALO---HALLLO"
Aku berlari ke pinggir kerumunan demi suara yang nyaring. Tak ada bedanya, suaranya tak terdengar jelas sama sekali.
"H…..ZZZZ…kita ...….ZZZ…." dan mati lagi.
Aku heran, apa Hanphoneku yang bermasalah ya. Ini yang kedua kalinya. Tapi ku lihat sinyalnya penuh kok. Bukan rejeki. Nggak lah! kanyaknya aku lagi sial aja.
Kecewa dengan apa yang sudah terjadi, aku segera meningglakan kerumunan itu. Wajahku sepertinya terlihat sangat kusut. Gila, aku nih benar-benar sial banget sih. Keluh kesahku. Hatiku benar-benar bertambah kacau. Seperti balon hijau yang akan meledak. Tinggal tunggu jamnya saja.
Drettt DretttttDretttt
Bergetar lagi.
"Iya, Hallo?" gila kali ini, tanpa suara. Aku ini dikerjain apa gimana sih. Tanyaku pada diriku sendiri. Tadi tidak jelas, kini, hanya keheningan yang bisa ku dengar. Luar biasa. Aku tak bisa lagi menahankekesalanku. Aku segera melempar handphone ku ke dalam tas. Tak banyak bicara lagi, aku segera berjalan. Seseorang berteri-teriak keras. Mungkin mereka bersorak karena pertunjukan tadi.
"Nah!!!!!!!!" seseorang menepuk bahuku dari belakang.
Apa-apan ini, aku segera menoleh,
"Mbak!!!!"
Astaga rambutnya panjang
"Copet!!!!"
Teriakku sekenanya dan segera lari. Suara keras dari gamelan tak bisa kukalahkan dengan suraku. Aku segera lagi secepat mungkin. Aku tak bisa lari dengan cepat. Huhh, pasti karena aku tak pernah ikut kelas olahraga dengan baik.
"Mbak!!! Mbak tunggu!~"
Aku berhenti. Melepas sepatu weges 10 cm dari ke dua kakiku. Aku masukkan ke dalam tas. Lari! Lari! Lari! pokoknya lari!. Pikirku. Aku menabrak beberapa orang. Tasku jatuh, aku ambil. Lari lagi! Lari!Lari! semakin lama aku berlari, nafasku semakin habis. Dia masih mengejar. Aku ini, tak bisa lari lagi, aku tak kuat. Ia semakin mendekat. Lari!! Nggak ! Jalan ! Aku ndak kuat lagi lari. Aku hanya berusaha menghindar sebisaku. Keep focus Run!!!
"Mbak!!!" Ia menangkap tanganku.