"Aku sudah mencoba memberitahu Defiance, Hope itu bukan Tata, kamu nggak bisa samain orang cuma karena kamu anggap mirip, nasib mereka dan jalan hidup mereka kan berbeda nama aja udah beda!. Tapi dia terus bilang apa?.~ Ia malah mengancamku, jika aku tak mau bicara pada Hope, dia yang akan bicara" Tutur Rusmina Tan pada Henderi.
"Aku heran, mirip dengan Tata dari mana?, dari umur ya jauh, dari cara berpakaian beda, dia bilang mirip caranya befikir, Aku tanya pernah ngobrol sama dia?, Eh~nggak di jawab, malah tambah marah, aduh nggak sanggup aku dengerin dia lagi… " sambung Mina.
Henderi hanya geleng-geleng kepala. Mina menuliskan alamat tempat tinggal Hope pada secarik kertas.
"Henderi, alamatnya susah di cari, naik, taxi on line saja"
Henderi mengucapkan terimakasih atas saran, Mina padanya. Mereka adalah dua orang perintis di tempat tersebut. Mereka saling menyebut nama, bukan hanya karena seumuran, tapi memang sahabat yang baik.
"Waduh Pak, itu harus jalan kayaknya." Komentar sopir taxi on line. Mereka mengikuti GPS, namun stuck di depan sebuah gang.
"Mau jalan pak?, kita mentok sampai sini. Takutnya ada mobil lain dari arah berlawanan pasti macet"
Henderi memutuskan berjalan. Jika tak salah hanya tinggal satu dua rumah dari gapura tersebut. Kawasannya tidak kumuh, hanya sedikit sempit. Sehingga hanya muat untuk satu mobil. Jika ada mobil dari arah berlawanan pasti ke duanya akan diam tak bergerak. Salah satu harus mengalah.
"Oh, depan Pak, ada tuan rumahnya kok, masuk aja, di lobi biasanya ada mbak-mbak yang jaga kos"
Mendengarnya, Henderi mencoba masuk. Wisma Kencana, Terima Kos, Kamar Mandi Dalam.
"Kayaknya lagi gak di rumah deh Pak, Bapak saudaranya?"
Henderi menjelaskan bahwa ia hanya ada keperluan dengan Hope. Bukan saudaranya. Keperluan pekerjaan saja. Setelah menjelaskan panjang lebar, penjaga tersebut memberikan saran jitu.
"Mau coba lihat ke Café On line? Deket Pak, beberapa blok dari sini, tinggal lurus belok kiri."
**************************************************************
~Café On Line~
"Aku tak pernah mengira, orang sebaik Anda, sampai mau mencari saya. Tapi, sepertinya saya harus pergi"
Tuan Hendri tak bisa lagi bicara. Ia menjelaskan panjang lebar. Ia tak akan meminta sepeserpun kembali uang yang sudah diberikan padaku sebagai uangkapan maafnya. Ia juga minta tolong padaku untuk setidaknya, kembali bekerja sampai ada pengganti. Mengenai Defiance, ia hanya ingin aku melupakanya.
Tapi aku tidak bisa.
"Bukan masalah sakit hati Pak~Saya merasa tidak pantas. Saya yakin akan banyak penulis hebat yang bisa anda cetak melalui tangan dingin Bapak. Tapi mungkin itu bukan saya. Soal Tuan Tiger~ saya rasa, saya tak perlu marah atau memiliki dendam apapun juga" sambungku meyakinkan.
Henderi masih tak mau menyerah. Ia mengorek banyak informasi dariku. Tapi dari sekian banyak hal yang iacoba lontarkan, aku tak mendengar alasan mengapa aku sampai di pecat secara sepihak. Jijikkah?, atau aku tidak secantik Ziva, atau terlalu dekil untuk bekerja di kantor. Jika di anggap tak sopan, harusnya dia cukup menegorku, bukan memberhentikan kontrakku.
Ku rasa ini akan makan waktu cukup lama. Selain Tuan Henderi banyak mengeluh, ia juga terus mendesakku. Aku memang lihat kolom berita kemarin ,rasanya terlalu di paksakan,atau seperti cerita daur ulang. Aku juga paham, sebagi orang yang bertanggung jawab, ia harus menyampaikan banyak sekali maaf padaku. Sedangkan sebagai Bos besar, Defiance, malah mengacuhkanku. Aku yakin,seandainya aku ngotot kembalipun, macan Asia itulah yang akan menjadi batu sandungan.
"Maaf kan saya ya Pak, sampai harus jauh-jauh ke tempat begini…."
Henderi tersenyum, dia berjalan pergi perlahan. Raut kecewa tak bisa di sembunyikan. Akupun sebenarnya tak tega. Tapi apa boleh buat. Semua ini adalah garis dari Tuhan. Aku juga menderita, bagaimana tidak?, aku kehilangan pekerjaan. Beban moralpun bertambah. Masalah hidupku pun tak jadi pergi, malah lebih banyak, lebih fresh. Baru keluar dari oven. Sudahlah, akan ku kirim kembali surat-surat lamaranku yang sempat tertunda. Berharap akan ada panggilan dalam satu dua hari.
*****************************************************
Henderi tak tampak bahagia sedikitpun. Ia melirik jam tangan mahal di lengannya. 18.30. Ia memutuskan untuk meninggalkan mobil di kantor dan tak mengambilnya, langsung pulang ke rumah. Cukup jauh, 50 menit dari tempat terakhir yang ia kunjungi hari ini. Beruntung, jalanan tak lagi semacet biasanya. Sejak peresmian MRT dan moda tranportasi baru lain,jalanan taklagi separah tahun-tahun sebelumnya.
"Ambil saja kembaliannya"
Di depan rumah, seorang wanita cantik sudah menanti kedatangannya.
"Dia di sini",bisiknya perlahan.
Muka Henderi bertambah masam. Setelah masuk kerumah, dan melepas sepatunya, Henderi segera mencari dia yang dimaksud.
"Defiance T, Kau di sini rupanya" . Sapaan ini membuat Def meletakkan majalah yang di bacanya. Henderi mendekati Tiger, ia melonggarkan dasi yang dikenakan dan melipat lengan kemeja cokelat muda yang ia pakai.
"Sudah ketemu?" Tanya Defiancedengan nada rendahsambil beranjak dari bangku panjang tempatnya berada.
"Ya , sudah!" Henderi menggaruk kepalanya. Semetara Defiance Tiger, hanya membeku bisu seperti orang bodoh.
"Pasti, ia tak mau kembali" suara Def memecahkan kecanggungan mereka. Ia memasukkan tangan ke kantong. Kunci, ada kunci di tangannya.
"Ini, kunci mobilnya, Tante Mina bilang, Om, pulang naik taxi on line. Tapi rasanya, tante bohong. Pasti om mencari wanita itu."
Defiance meletakkan kunci di meja perpustakaan. Ia tak tahu harus berkata apa lagi. Minta maaf?, gengsinya terlalu tinggi. Meminta Hope kembali, jelas tidak mungkin. Dari lorong, Feni datang membawa teh panas.
"Defiance, makan dulu ya?, Tante udah masak lo. Cobain ya.?"
Suami Feni, mengambil alih pembicaraan.
"Sudahlah, ia sedang tak mau makan sekarang."
Feni menyadari ketegangan antara suaminya dengan Defiance, sahabat, patner, tempat curhat atau apalah itu namanya. Yang jelashubungan ke duanya sangat baik. Sudah seperti saudara. Yang membedakan ke duanya, yang satu dingin, keras kepala. Sedangkan yang lain terlalu tua untuk di bantah.
"Saya pulang saja Tante" jawab Defiance. Ia segera pamit. Mengambil tasnya. Henderi menemaninya sampai di pintu.
"Mau ku antar?"Tanya Henderi berbasa-basi.
Ia sangat hafal, jika sudah merasa bersalah, pasti Defiance menolak apapun bantuan yang diberikan sebagai penyesalan. Ia memang tak pernah berkata maaf dari mulutnya. Caranya meminta maaf tidak dengan ucapannya, melainkan dengan tindakan. Jika kalian tak mengenal Defiance, berbagai macam pikiran buruk, akan langsung menyelinap, meracuni pikiran kita. Tanpa harus menunggu klarifikasi, pasti kitaakan dengan mudahmemasukkan namanya ke dalam daftar hitam. Perlu jadi temanbaiknya, agar bisa tau apayang ada di dalam pikirannya.
Setelah taxi datang. Defiance segera melanjutkan perjalanan ke rumah. Ini akan memakan waktu cukup lama. Bukan karena macet. Rumahnya memang berada jauh di pinggir kota Jakarta. Menjauhi kebisingan. Ditambah hujan deras yang mulai mengguyur, bisa di pastikan,driver tak akan berjalan melampaui 80 km/jam.
Di tengah perjalanan, taxi berhenti.
"Pak, macet!" seru sopir yang langsung keluar menerjang hujan memeriksa apa yang terjadi.
Brak
"Bannya pecah Pak. Mesinnya juga tiba-tiba mati." Tambah sang driver setelah memeriksanya sekilas. Ia tampak basah kuyup.
"Bisa di perbaiki?"
"Bisa, tapi butuh waktu sekitar 30 - sampai 50 menit, saya akan panggil orang pak, sudah jalan sih"
Defiance, melirik ke samping kanan dan kiri. Di sisi kiri ada sebuah toko terintegrasi dengan café. Café Book Shop. Sebuah café yang menjual buku, dan menyediakan makanan serta bacaan gratis.
"OK, saya tunggu aja". Defiance segera keluar dan masuk ke toko buku itu. Rambutnya sedikit basah karena hujan.
"Selamat datang" sapa seseorang dari kasir. Café Book Shop cukup ramai saat itu. Banyak orang yang duduk menunggu hujan reda. Sepertinya mereka tak banyak membawa payung.
"Ada Kopi?"
Sang barista langsung menunjukkan buku menu. Defiance memilih satu di antara gambar-gambar yang tersaji. Ia menunggu beberapa saat. Ia memperhatikan,orang-orang yang membayar buku di sisi kasir lainya. Setelah kasir buku sepi, kasir memberikan senyum sambil menawarkan Koran dengan setengah harga. Defiance menolaknya.
"15 Ribu" . Defiance segera mengeluarkan uang pas. Ia mengambil kopi pesananya.
"Memang ada peminat Koran kemarin dengan setengah harga?" tanyanya