Dela membawa setumpuk ketas besar ke ruang penulis disebelah ruangannya. Hari ini ia tak terlalu banyak protes. Mungkin ia sudah bosan membaca banyak hal pagi ini.
"Nggak kepagian Non?, kok sudah dibagi, masih jam 11 lo….." Tanya Qarta pada Dela. Dela tak menjawab. Ia hanya meletakkan kertas-kertas itu di meja besar. Iapun segera membagi-bagikan kertas itu kepada penulisnya masing-masing.
"Ok, semuanya sudah bagus, ACC, tapi, dari kemarin, kolom inspiratifnya, nggak jelas ceritanya". Dela menghentikan sejenak percakapannya melihat meja Hope.
"Hope mana?" . Semuanya tak menjawab, malah pergi ke meja masing-masing.
"Ini, cerpennya nggak nyambung. Alur cerita dari awal gak konsisten. Kisahnya juga kayaknya plagiat ini. Cuma beda nama aja. Terus tokoh inspiratifnya, apa nggak ada tokoh yang lain ya?, yang menginspirasi gitu. Masa harus model majalah dewasa yang meraih kesuksesan di film-film….Hope mana sih?"
Lishe mengangkat tangan "Nanti aku perbaiki cerpennya" sahutnya dengan sedikit manis-manis.
Dela terlihat bingung. "Kok mbak Lishe yang buat, mbak kan Desainer…"
Mereka saling berpandangan satu sama lain. Qarta mengambil inisiatif, untuk mengambil kertas berukuran 90 kali 90 dari tangan Dela.
"Aku perbaiki ya semuanya, maaf ya, nanti aku cari lagi tokoh yang bisa di wawancarai mendadak". Seru Qarta. Ia segera mengambilnya dan kembali ke meja kerjanya.
"Tunggu, Ini kenapa sih, semuanya?! Jangan-jangan dari kemarin yang buat kalian juga, untuk majalan mingguan Indonesia Style nya jangan-jangan kalian juga yang buat?". Semua mengangguk sambil cengar-cengir tidak jelas.
"Hope?", kali ini Dela bertanya serius. Ia mendekati meja hope yang sudah bersih.
"Udah di pecat…." Bisik Lishe pada Dela. Dela terperanjat
"Sejak kapan?",
"Dua hari yang lalu...…." Qarta menjelaskan.
Tak pikir panjang, tampak Dela mengambil kembali kertas-kertas yang sempat ia bagikan pada mereka. Ia berjalan cepat. Wajahnya tak lagi seramah tadi. Qarta mencoba menghentikan langkahnya tapi sia-sia. Dela tak akan berhenti pada apapapun yang hendak menghalangi niatnya. Ia tak pernah peduli takut atau mengenal kata menyerah.
************************************************************
~Ruangan Henderi~
"Harusnya saya dong yang tanya ke Bapak, siapa yang bisa perbaiki ini?" Seru Dela pada atasannya.
Dela tak mau duduk, ia berdiri di samping pria yang sering di panggil dengan panggilan Tuan Henderi. Tuan Henderi tampak bingung. Ia meletakkan kertas kolom yang sudah dicoret-coret dengan spidol merah ke mejanya.
"Yang buat Dela, suruh yang buat revisi dan ganti."
Dela menegakkan tubuhnya yang dari tadi sedikit bungkuk mengamati kolom penuh warna. Ia memutuskan untuk duduk di depan Pria yang ramah dan baik hati di Indonesia Printing. Ia melipat tangannya dan mengamati wajah Bosnya.
"Sudah pak, 3 kali revisi, dari kemarin. Yang kemarin terbit juga sebenarnya nggak layak baca, tapi sudah keburu Dead line kan. Harus naik cetak."
Tuan Handeri tampak sedikit berpikir kali ini. Ia tak mau ambil kesimpulan terlalu cepat.
"Coba ya, saya bicara pada nona Hope. Dia juga belum serahkan laporan yang saya minta…."
Dela berdiri dari kursi. Dan berjalan. Ia tak sengaja menyenggol tempat sampah yang ada di samping meja. Ia segera minta maaf dan membersihkan sampah-sampah kertas yang tampak bersih dilihat dari sudut pandang manapun.
Tuan Handeri mengamati Dela yang membungkuk. Ia penasaran sejak kapan ada sampah di tempat sampahnya. Bukankan ia dua hari tak ada di tempat.
"Kertas apa ya, coba lihat" Serunya.
Dela segera mengambil sampah-sampah itu. Dan di letakkan di atas meja. Sembari menunggu Tuan Hendri yang mengamati kertas-kertas yang sudah tepecah belah, Dela mencoba membuka kembali percakapan mereka.
"Hope kan sudah Bapak pecat, Saya panggilakan penulis yang nulis saja ya, bagaimana?"
Tangan Tuan Henderi langsung berhenti menyusun kembali potongan-potongan kertas. Ia temukan tanda tangan atas nama Escada Hope.
"Escada Hope? Saya yang pecat?" Tanya Tuan Henderi tak percaya, ia melemparkan potongan kertas terakhir berisi tanda tangan Hope ke mejanya.
"Kapan?, Saya baru masuk Nona Dela?" tukas Bosnya yang tampak tak terima dengan tuduhan Dela.
Dela tak menjawab, ia mengutak-atik puzzle di depannya.
"Laporan Pengajuan Naskah Novel oleh, Escada Hope" Dela membacanya agak keras seolah ada niat tersembunyi yang ingin diraihnya.
Tuan Henderi langsung melihat ke puzzle yang sudahtersusun rapi.
"Nona Dela, saya bertanya?" .
"Saya menjawab Pak, jika bukan Bapak, siapa lagi?" sahut Dela.
"Defiance T….Apa dia datang ke ruanganku?"
Dela tak menjawab dan langsung mengambil kembali kolom berisi benang kusut yang di bawanya . Ia memberikan senyum misteriusnya pada Tuan Henderi.
"Saya akan memilih satu dari kiriman pembaca saja, trimakasih" kata Dela mengakiri sesi perbincangan siang itu.
***********************************************************
Tuan Hendri tanpa banyak bicara mendatangi kantor sahabatnya yang berada tepat satu lantai di atas ruangnnya. Di luar, terlihat Ziva dengan sikap santunnya, mencegah Henderi masuk.
"Tuan, di dalam masih ada........" sebelum Ziva melanjutkan ungkapannya Hendri menskak nya terlebih dahulu.
"Kau terlihat cantik dengan dress hijau itu, aku ada urusan jangan cegah aku masuk!"
Mendengar ucapan Henderi, Ziva hanya bisa mengikutinya dari belakang. Saat Henderi membuka pintu, ia terlihat sedikit panik. Di ruangan itu, Defiance tampak sedang menandatangani beberapa berkas di atas mejanya di temani oleh Diana, kepala bagian keuangan. Pria keras kepala itu, hanya melirik Henderi tanpa banyak komentar. Ia sedikitpun tak terlihat terusik atas kedatangan orang lain. Henderi tampak seperti ingin memakan manusia kali ini.
Satu-satunya yang menahannya adalah Diana. Jika tak ada Diana, mungkin Defiance sudah menjadi makanan utama dalam makan siang Henderi.Sedangkan Ziva, adalah hidangan pembukannya.
"Baiklah, Kau boleh kembali" Perintah Defiance pada Diana. Segera setelah Diana Keluar, Henderi melemparkan kertas-kertas sobekan yang ia bawa ke mejanya. Ditambah beberapa berkas. Ziva coba menghentikan Henderi. Defiance melarangnya dan menyuruhnya tak ikut campur. Zivapun kembali kemejanya di luar dari ruangan.
"Aku tak mengerti apa yang ada di pikiranmu!" Defiance tak menjawab dan hanya merapikan kertas-kertas yang berserakan di mejanya. Menumpuknya jadi satu dan tak melihat isinya sama sekali.
"Ya?, baru pulang, langsung buat gara-gara, Apa yang ada di dalam otakmu!" tariaknya lagi.
"Aku tak paham maksud anda Tuan Henderi…." Tegasnya Defiance pada Henderi. Sahabat sekaligus patner, mungkin juga murid asuhannya.
"Jelaskan alasannya?" desak Henderi
Defiance menanggapi dengan santai. "Ini tentang Nona Hope?" tanyanya setelah sekilas melihat nama tersebut pada resume.
"Aku tak memecatnya, aku hanya menganggap tugasnya sudah selesai. Tan~ dari devisi HRD juga membayarkan sisa kontraknya semuanya. Dia pasti senang dengan uang itu sekarang."
Henderi tampak tak puas.
"Kau gila, membayar orang dengan Cuma-Cuma, 3,7 juta kali 11 bulan?" Bentak Henderi yang lebih tua 15 tahun dari usia Defiance.
"Sudah tambah gak karuan kamu ini ya. Perusahan rugi. Siapa yang harus tulis kolom nya sekarang?, Apa Kau memikirkannya?, Kita kehilangan lebih dari 37 juta hanya untuk egomu saja!. Katakan alasannya sekarang!"
Henderi meledak-ledak sedangkan orang yang duduk di depannya hanya tersenyum sinis saja. Ia menghela nafas. Mengambil satu dari banyak kertas profil Escada.
"Lihat, dia harus menempuh 10 km untuk ke kantor, dengan motor miliknya. Bodoh bukan?" Tanya balik Defiance.
"Ha?, apa?, Bodohnya dimana?" Henderi tak paham dengan penjelasan Defiance.
"Aku mencoba menyelamatkan nyawanya"
Henderi berfikir keras. Wajahnyan mengindikasikan ia tak dapat titik terang dari pengakuan Defiance.
"Aku, mencoba menyalamatkan nyawanya, dari kecelakaan maut yang bisa merenggut nyawanya sewaktu-waktu"