Titik-titik air hujan mulai membasahi jendela pesawat yang dengan hitungan detik akan segera landing. Aku mengencangkan sabuk pengaman, menegakkan kursi, dan melipat meja – tray table. Semua lampu kabin mulai diredupkan yang merupakan pertanda pesawat segera landing. Aku merasa mujur kali ini karena pesawat yang kutumpangi landing dengan mulus di landasan.
Aku menuruni satu demi satu anak tangga pesawat sembari meregangkan badanku yang tidak bisa banyak bergerak selama kurang lebih sepuluh jam perjalanan dari Jerman. Kulirik plang biru muda besar bertuliskan Gimpo Gukje Gonghang – Bandara Internasional Gimpo, dengan tulisan putih timbul nan estetik. Bandar Udara Gimpo yang terletak di 112 Haneul gil, Gangseo gu, Seoul ini masih tampak sama seperti terakhir kali aku meninggalkan Seoul untuk sekolah dan bekerja di Berlin lima tahun tahun yang lalu, hanya iklan 7 – eleven yang terpasang dengan elok di pilar besar dekat pintu exit yang membuat perbedaan. Sebelum mengambil koperku, aku memutuskan pergi ke lantai tiga untuk membeli segelas Hot Chocolate di Caffe Tiamo.
"Hot Chocolate hanjanjuseyo! – beri aku segelas coklat panas" aku melirik-lirik menu minuman lain yang tersedia di tempat itu – siapa tahu aku berniat membeli jenis minuman lain, selain hot chocolate.
"Jamkkanmanyo – Tunggu sebentar" seorang pelayan Caffe segera memenuhi pesananku. Aku hanya perlu menunggu kurang dari satu menit agar pesananku siap. Aku membayar sekitar lima ribu won untuk segelas coklat panas yang ku pesan. "Kamsahamnida – Terimakasih" aku melenggang pergi meninggalkan Caffe dengan segelas coklat panas ditanganku.
Sembari menunggu pintu lift terbuka, aku mencoba menghubungi ayahku agar dapat menjemputku. Jarang sekali untukku membuat ayahku repot. Akan tetapi, kali ini aku melakukannya – melihat hujan yang semula gerimis mulai menderas. Ayahku akhirnya setuju untuk menjemputku di bandara dalam lima belas menit.
Ting. Pintu lift mulai terbuka, tak kusangka aku akan melihat orang yang sangat ingin kutemui ketika aku sampai di Korea berada di dalam lift. Senyum lebar di wajahnya datang menyambutku dengan hangat. Tanpa ragu kupeluk orang itu dengan erat dan tetesan air mata mulai membasahi pipiku.
"Hani Eonni, neo jinjja bogosipda – Kak Hani, aku sangat merindukanmu" kulepaskan pelukanku untuk menghapus air mata yang telah terlanjur mendobrak keluar. Rasa penyesalanku mulai muncul setelah melihat tetesan air mata jatuh dari pipi Hani eonni. Rasa penyesalan karena aku pergi tanpa pamit, hilang tanpa memberi kabar, memutuskan semua sambungan yang kupunya selama lima tahun penuh di Jerman, dan kembali pulang ke Korea tanpa mengabari. "mianhae, eonni – maaf kak. Maaf untuk semuanya"
"kwaenchanha – Tak apa. Aku tahu mengapa kau melakukannya, aku sangat mengerti Keyla-yah. Aku dan Hee Chul oppa sangat mengerti. Tapi, uri Hyuk… aniya – tidak." ia menghapus air matanya dan kembali tersenyum. Lift yang kunaiki telah terisi penuh dan pintu lift segera menutup. Aku dan Hani eonni berdiri di pojok lift sembari menghabiskan secangkir coklat panas yang kubeli secara bergantian.
"Eonni. Eottohke arasseo? – kak. bagaimana kau tahu?. Aku tidak mengabarimu, Hee Chul oppa, Hyuk pun tidak kuberi tahu kalau aku pulang ke Korea hari ini. ah matda – ah benar, ne appa – ayahku, yang memberi tahumu, eonni?"
"Iya. Ayahmu memberi tahuku kau datang hari ini, mungkin ayahmu tidak tega melihatku selalu menunggu kabar darimu Keyla-yah. Aku juga mengajak Hee Chul oppa untuk menemuimu, ia menunggu kita di bawah." Tepat setelah Hani eonni selesai berbicara, pintu lift terbuka. Kami dengan segera keluar lift untuk menghampiri Hee Chul oppa. Begitu ia melihatku, Hee Chul oppa menuai senyuman kepadaku dan memelukku erat.
"Yah Choi Keyla, Jangan melakukan hal ini lagi. Aku akan benar-benar marah padamu jika kau melakukannya lagi." Ia memelukku lagi lebih erat dari sebelumnya.
"arasseoyo oppa – aku mengerti, kak." Aku melepaskan pelukan Hee Chul oppa. "Hyuk tidak datang Bersama kalian?" aku menanyakan hal yang sudah kutahu jawabannya, Hyuk tidak akan datang menemuiku. Hani eonni dan Hee Chul oppa hanya terdiam dan saling bertatapan tanpa menjawab pertanyaanku. Tapi aku mengerti, sangat mengerti tanpa harus diberi tahu, tanpa harus dibuat mengerti. Alasan aku pergi dan memutuskan semua sambungan memang tidak bijak sama sekali.
~
Aku menangis dihadapan Hyuk, sahabat kecil yang sangat kusayangi. Tampak kekhawatiran dan kemarahan di matanya. Sedari dulu ia tak pernah bisa melihatku menangis, bahkan ketika aku menangis karena seseorang saat kami masih di bangku sekolah, ia berkelahi dengan orang tersebut dan membuat kepalanya terbentur tembok hingga orang tersebut tak sadarkan diri. Kali ini, mungkin ia akan melakukan hal yang sama kepada orang yang membuatku menangis kalau aku tak segera menahannya.
"Mengapa dia bisa menyakiti orang sepertimu? orang yang selalu ada untuknya, memberikan perhatian padanya, mengapa si kunyuk itu malah berselingkuh dengan orang lain? Kalau kau tidak melarangku, mungkin si Tae Joon itu tidak akan bisa menggunakan tangannya lagi sekarang." Perkatannya yang mencoba menghiburku tidak lekas membuatku berhenti menangis.
"Yah Han Sang Hyuk. Where did you get such a terrible word like that?" aku tak sadar nada suaraku terdengar sinis.
"neo hwanangoeya? – kamu marah?. Kenapa kamu terlihat marah padaku? Padahal Tae Joon yang menyakitimu. Aku jelas-jelas melihatnya sendiri dengan mata kepalaku dia sedang berciuman dengan seorang gadis." Ia mendekat padaku. "uljima – jangan menangis." Ia hendak memelukku tapi aku segera mengelak.
"Aku benci melihatmu begitu perhatian padaku." Aku menghapus airmataku.
"Wae? – kenapa?"
"geunyang – hanya saja" Aku menatap kosong ke kehangatan petang sungai Han. Tak lama Handphone-ku berdering, tertera nama Choi Tae Joon dengan emoticon hati melakukan panggilan.
"Choi Tae Joon?" Aku hanya mengangguk tanpa kata. "Hajima – Jangan. Jangan mengangkatnya, kau akan sakit ketika mendengar suaranya Keyla-yah. Jebal – tolong." Kali ini aku tidak mengindahkan perkataan Hyuk dan menerima panggilan Tae Joon oppa. Hyuk hanya menatapku dengan penuh kehawatiran dimatanya. Ia terus memantauku ketika menerima telepon, dan segera mengajukan ribuan pertanyaan saat kututup teleponnya.
"Aku akan pergi menemuinya malam ini, aku harus mengakhiri hubunganku dengan Tae Joon oppa kali ini. Agar dia bisa berkencan dengan pacar barunya dengan tenang."
"noe michoss ni? – kamu gila?. Pikirkanlah bagaimana perasaanmu, aku akan ikut denganmu"
"andwe – tidak. Aku akan pergi sendiri. Aku sedang tidak ingin berlama-lama melihatmu, karena itu membuatku sedih."
"wae? – kenapa?. Kenapa aku membuatmu sedih? Justru aku ingin menghiburmu."
"Jangan bertanya lagi, atau aku akan menangis." Aku tak bisa menatap langsung wajah Hyuk.
Aku tak mengetahui mengapa dadaku terasa sesak, seakan tak ada udara yang ingin memasuki paru-paruku. Aku masih tidak mengerti penyebabnya. Hatiku sakit, air mataku jelas ingin keluar.
"Keyla-yah, jangan pergi menemuinya, aku mohon."
"Aku tetap akan menemuinya." Kutepuk pundak Hyuk "Kanda – aku pergi". Aku pergi tanpa Hyuk tahu tujuanku. Ia hanya membiarkanku meninggalkannya dengan kekhawatiran yang bersisa. "Aku akan menemuimu besok siang di sini, arasseo keyla-yah?" Ia melambaykan tangannya padaku. Namun, kurasa hari ini akan menjadi kali terakhir pertemuan aku dengan Hyuk sebelum aku melarikan diri dari rasa sakit yang menyiksa ini.
~
Ayahku yang datang dengan tuksedo kecoklatannya menyelamatkan situasi kami yang dihampiri kesunyian, kesunyian karena pertanyaan bodohku. Ayahku berjalan menghampiri kami dengan seuntai senyum rindu diwajahnya, suaranya yang keluar memanggil namaku membuat tetesan air mata berkunjung ke pipiku.
"Ayah…" aku menerjang ayah dengan kecepatan cahaya. kupeluk erat ayahku, ia membalasnya dengan pelukan lembut seorang ayah. "Ayah, Keyla sangat merindukan ayah."
"Ayah tahu, ayah sangat tahu." ayah melepaskan pelukannya. "Anak ayah yang satu ini, padahal baru tiga bulan 'kan kau tak bertemu ayah?"
"Tetap saja ayah, Keyla Kengen ayah."
"Kau tidak rindu kakak-kakakmu itu?" ayah menunjuk Hani eonni dan Hee Chul oppa menggunakan dagunya. "Mereka tidak pernah mendapat kabar sedikit pun darimu. Sesekali mereka menemui ayah untuk menanyakan kabarmu. Anak ayah ini tega sekali. Sudah berapa lama kau tinggalkan mereka Keyla? Sembilan tahun? Atau sepuluh tahun?"
"Tidak selama itu ayah. Hanya lima tahun"
"Hanya?. Wah… Seharusnya mereka sangat marah padamu Keyla. kau harus kuat jika itu terjadi, kau yang memulainya." Ayahku bersikap tegas padaku kali ini.
"Aku tak janji"
"Keyla harus minta maaf segera. Mengerti?"
"Iya ayah. Tapi, aku 'kan bukan hanya melarikan diri saja ayah, aku sekolah dan bekerja juga di Jerman. Aku tidak bersenang-senang."
"Ayah tahu. Mana bisa kau bersenang-senang selagi sahabat-sahabatmu menghawatirkanmu setengah mati."
"…"
"Dimana Kopermu?" Ayah mengalihkan topik pembicaraan segera. Mungkin ayah melihat rasa bersalah diwajahku, ia tak ingin aku sedih.
"Aku belum mengambilnya, Yah." Aku menangkap mata Hani eonni yang sedari tadi terus menyenggol tangan Hee Chul oppa.
"Gunawan Ajusshi pangawoyo – Om Gunawan, senang bertemu denganmu." Hani eonni membungkuk memberi salam. "Hajiman – tapi… tak bisakah berbicara menggunakan bahasa Korea saja? Aku tidak mengerti yang kalian bicarakan sedikit pun. Sepertinya menyangkut kami dan agak sedikit serius?" Pentanyaan Hani eonni membuat ayahku tertawa kecil.
"Arasseo Hani-yah – baiklah Hani. Kalian hanya datang berdua? Hyukieneun anka? – Hyuk tidak datang?" Ayah menatap Hani eonni dan Hee Chul oppa lekat-lekat.
"Ani appa – tidak ayah. Hyuk tidak akan datang." Aku memberikan jawaban cepat pada ayah. Hani eonni dan Hee Chul oppa menatapku dengan tatapan mendung. "Aku ambil koper dulu, hanya dua menit." Aku langsung berbalik badan dan meninggalkan mereka. Dapat terlihat dari sudut mataku, Ayah, Hani eonni, dan Hee Chul oppa melanjutkan perbincangan. Gawat! Aku melewatkan momen tersebut. Namun, mau bagaimana lagi, aku tak mungkin berbalik badan dan berkata 'tidak jadi ambil koper, aku mau dengarkan hal ini dulu'. Sungguh mengesalkan.
Aku menarik koperku dengan lesu. Rasanya enggan kembali ketempat Ayah, Hani eonni, dan Hee Chul oppa yang sedang berbincang. Aku ingin mengendap-endap keluar dari bandara, dan pulang menaiki taksi melihat hujan telah berhenti. Aku tak sanggup kembali dengan rasa bersalah yang semakin meruak keluar. Tapi, aku tidak melakukan hal itu, tidak bisa.
"Keyla-yah, kau bilang kau hanya butuh waktu dua menit untuk mengambil kopermu. Ini sudah lebih dari lima menit." Hee Chul oppa menunjuk jam tangannya sembari menyeringai jahil.
"Kopernya terlalu berat untuk diangkat." Jawabku malas.
"Tapi kau tidak mengangkat kopernya, kau menariknya."
"Terserah padamu."
"Keyla, ayah akan pulang membawa kopermu. Kamu bisa pulang dengan mereka. Mungkin kalian butuh waktu untuk bicara." Ayahku mengambil koperku dan pergi maninggalkan kami.
"Apa yang ayahmu katakan Keyla-yah?"
Hani eonni.
"Dia akan pulang duluan, agar kita dapat bicara."
"Kalau begitu, tunggu apalagi? Ayo kita pergi ke restoran tempat biasa kita berkumpul" Hee Chul oppa menarik tanganku dan Hani eonni dengan semangat.