Kubuka mataku. Aku telah berada di tempat yang sangat akrab denganku, kamarku. Pernik hitam berkelip di tembok dekat ranjangku, hiasan yang dihadiahkan Hyuk sewaktu kita masih belajar di godeunghakgyo – SMA – saat ulang tahunku. Pernik hitam itu masih kupajang dengan elok walaupun sudah usang. Mengingat hal-hal manis yang Hyuk lakukan untukku, aku semakin sakit. Bukan sakit karena perlakuan Hyuk saat di restoran, melainkan sakit karena telah membuat Hyuk menderita.
"Kau sudah bangun?" Ayah masuk ke kamarku tanpa kusadari.
"Iya ayah."
"Mengapa kau terus melihat pernik hitam itu? Apakah dari Hyuk?"
"…" aku mengangguk.
"Hani telah menceritakannya pada ayah. Kau tak apa?"
"Aku tak apa ayah. " Aku tersenyum.
"Tapi kau pingsan. Ini pertama kalinya ayah melihatmu sampai seperti ini. Ini pertama kalinya kau pingsan."
"apakah aku pingsan? Kukira aku hanya tak sengaja tertidur."
"Apa yang kau katakan?"
"mungkin aku hanya Jet leg ayah. Aku baru pulang dari Jerman dan tidak langsung istirahat, jadi aku seperti ini."
"Terserah padamu saja. Melihatmu seperti ini, ayah jadi ingat Ibumu." Ayahku mengacak rambutku, lalu meninggalkan kamarku.
Ayahku sering mengatakan bahwa ia selalu mengingat mendiang ibuku apabila melihat sosok mungilku yang menyembunyikan kesedihan dalam diriku. Ayahku berkata bahwa ibuku sering menyimpan kesedihannya sendiri tanpa mengatakan apapun, sebelum ia menikah dengan ayahku. Namun, setelah menikah, ibuku mengatakan semuanya pada ayahku, mulai dari hal yang sepele hingga hal yang sangat penting. Sayangnya, aku tak pernah melihat dan mengetahui seperti apakah sosok ibuku yang sangat dicintai ayah. Ibuku meninggal saat usiaku satu tahun tiga bulan dalam kecelakaan pesawat tahun 1994 sehingga aku tak memiliki kenangan yang bisa kuingat bersama ibuku.
Aku mencoba bangkit dari ranjangku, dengan lemah kulangkahkan kakiku ke balkon kamarku. Kutatap langit malam yang tak berbintang. Masih terngiang di telingaku perkataan Hyuk, 'Semoga Tuhan dapat meluluhkan hatiku dan bisa memaafkanmu nanti'. Mengingat perkataan itu, hanya lelucon-lelucon lama yang datang ke pikiranku menutupi rasa sedih di hatiku. Aku tertawa kecil memikirkan lelucon itu. 'Baguslah lelucon-lelucon lama itu segera mampir di pikiranku, kalau tidak mungkin aku sudah mengeluarkan air mata'. Hal-hal lucu yang semula lelucon lama semakin meluas dipikiranku 'Apa aku harus berkenalan dengan nobita? Tidak…tidak langsung saja Doraemon. Akan kupinjam kapsul waktu darinya. Itu berlebihan, bagaimana kalau cairan peluluh hati? Pasti Doraemon punya banyak.'. Menyedihkan? Memang.
Semakin lama, lelucon dan hal-hal lucu yang singgah satu persatu mulai pergi. Kenangan-kenangan lama datang menggantikannya. Aku berusaha untuk mengenyahkannya dari pikiranku, tapi ku tak bisa. Kenangan itu memaksaku untuk mengingatnya.
~
Aku berlari kecil melawan hambusan angin yang meniup rambutku. Sepatu putih bercorak pernik perak menghiasi kaki kecilku. Aku sama sekali tidak memperlambat lagkahku ketika sampai pada belokan gang kecil di samping rumah bercat abu-abu, hingga aku menabrak anak lelaki yang tengah berhenti memperbaiki tali sepatunya. Ia terjatuh dengan wajah yang terlebih dulu menabrak tanah. Ia menoleh ke arahku dengan luka di dahinya. Ia tidak menangis atau mengeluh sakit dengan lukanya itu, ia hanya berdiri dan membersihkan bajunya dari tanah yang menempel. Aku menatapnya dalam diam.
"Kau tak apa?" ia mengajukan pertanyaan yang seharusnya kutanyakan padanya.
"Chusunghamnida – aku minta maaf. Kwaenchanayo? Ahh pi, pi – apakah kau baik-baik saja? Ahh darah, darah. Dahimu berdarah. Maafkan aku" aku mendekat padanya dan melihat luka di dahinya.
"Aku bertanya. Apa kau baik-baik saja?"
"Harusnya aku yang bertanya seperti itu." Aku menarik tangannya dengan tangan mungilku agar ia ikut denganku.
"kau mau membawaku kemana?"
"rumahku." Ia berhenti dan melepaskan tanganku.
"Aku tak mau."
"Kau harus mengobati dahimu. Aku tak tahu cara mengobatinya, jadi aku akan membawamu kerumahku agar ayahku dapat mengobatimu."
"Aku bilang aku tak mau."
"Bagaimana dengan dahimu? Aku yang membuat dahimu berdarah, aku harus bertanggung jawab."
"Kalau begitu kerumahku saja."
Aku mengikuti anak lelaki itu. Ia berjalan cepat di depanku, sesekali aku hampir kehilangannya ketika belokan-belokan jalan. Aku tak mengetahui daerah ini, aku mengkhawatirkan bagaimana aku bisa menemukan rumahku setelah menempuh jalan yang penuh dengan persimpangan. Setelah belok kanan di perempatan terakhir, ia berhenti di depan sebuah rumah besar dengan pagar hitam. Ia membuka pagar dan mempersilahkan aku masuk ke rumahnya. Dari dalam rumah terdengar seorang wanita memanggil namanya, Ya mungkin itu namanya.
"Hyuk-ah. Cepat masuk."
"eomma. Aku membawa temanku." Ia menggandeng tanganku untuk masuk kerumahnya. Aku melihat sesosok wanita cantik menghampiri kami dengan senyum hangat diwajahnya. Namun, senyumnya pupus ketika melihat luka di dahi anak lelaki itu.
"Apa yang kau lakukan dengan dahimu Hyuk-ah?" Ia menarik kursi kecil di dekatnya dan duduk diatasnya. Ia melihat luka di dahi anak lelaki itu, dengan lembut ia tiup luka itu. "eomma akan mengambil obat untukmu, tunggu disini." Ia kembali duduk dengan kotak obat ditangannya. Ia mulai mengobati luka di dahi anak lelaki itu.
"Ahjumma – bibi. Maafkan aku, aku yang membuat dahinya berdarah." Aku menundukkan kepalaku.
"Kwaencanha. Hyuk hanya berdarah sedikit, ia sering mendapat luka seperti itu. Apalagi setelah ia ikut Klub sepak bola." Ia menutup kotak obat.
"Eomma-ku bilang tak apa. Kau tak perlu khawatir." Ia menepuk pundakku.
"Siapa namamu cantik? Ahjumma belum pernah melihatmu disekitar sini. Ahjumma juga belum pernah melihatmu di taman bermain." Ia mencubit pipiku.
"Keyla imnida. Aku baru pindah dua hari yang lalu, jadi aku belum pernah pergi ke taman bermain. Ayahku bilang taman bermainnya sedikit jauh dari rumah, aku tidak boleh pergi kesana tanpa ayahku. Dan sekarang aku pergi mengikutinya jauh dari rumah." Aku menunjuk anak lelaki itu.
"Hyuk-ah kau bilang dia temanmu? Tapi dia baru dua hari pindah kemari"
"Mulai sekarang dia temanku eomma." Ia menjulurkan tangannya padaku. "Han Sang Hyuk imnida"
"Keyla imnida" aku membalas uluran tangannya.
"Sekarang kita berteman." Ia tersenyum simpul. "eomma. Aku akan mengantarnya kerumah, mungkin ia tak akan bisa pulang sendiri. Bolehkah eomma?"
"Iya. Kau harus mengantar teman barumu, nak. Hati-hati dan jangan mengikuti orang yang tidak kau kenal. Mengerti?"
"Baiklah eomma, aku mengerti. Kanda." Ia menggandeng tanganku.
Aku berjalan bersamanya menyusuri jalan yang penuh persimpangan. Sepanjang jalan ia terus menjelaskan arah dari rumahnya ke tempat tadi aku menabraknya. 'Perempatan pertama, belok kiri. Lalu sebelah sana kita belok kanan.'. Aku mulai mengingat-ingat arahnya agar aku dapat bermain kerumahnya sepulang sekolah nanti, walaupun aku belum tahu letak sekolah baruku.
"Dimana kau sekolah?" aku bertanya padanya.
"SD Gyeongdo"
"SD Gyeongdo? Ayahku bilang aku akan dipindahkan kesana. Kita bisa pergi sekolah bersama besok. Apakah jauh?"
"tidak. Sangat dekat"
Kami sampai di tempat awal kami bertemu. Aku tahu persis letak rumahku yang sangat dekat dari tempat itu. Kali ini aku yang menjelaskan arah kerumahku padanya. Ia mengikutiku dan mengingat-ingat arahnya. Degan hitungan detik kami sampai di rumahku, aku membuka pagar rumahku dan mengajaknya masuk. Ayahku yang sedang mencuci mobil tersenyum ke arah kami.
"Ayah, aku membawa teman baruku. Namanya Hyuk. Ia sekolah di SD Gyeongdo."
"Anyeongaseyo Ajusshi." Ia membungkuk sopan kepada ayahku.
"Temanmu? Dia sangat lucu Key. Apakah kau bersekolah di SD Gyeongdo?"
"Hmm…" ia mengangguk sopan.
"Kalau begitu kau punya teman baru untuk pergi ke sekolah bersama." Ayahku menepuk pundak kecil Hyuk dengan lembut.
Hari-hari berikutnya aku dan Hyuk selalu pergi ke sekolah bersama, tiada satu hari pun kami lewati tanpa bertemu satu sama lain. Hyuk selalu menungguku di belokan kecil di samping rumah bercat abu-abu, lalu kami akan pergi kesekolah bersama dari tempat itu. Kami tak pernah terpisahkan dan saling menjaga satu sama lain. Sampai tak pernah terpikirkan olehku akan tiba hari dimana kami saling menyakiti.
~
Klek. Suara pintu kamarku yang terbuka membuyarkan lamunanku tetang kenangan masa lalu. Hani eonni dengan bungkusan makanan di tangannya masuk ke kamarku. Ia menaruh bungkusannya di atas meja kecil di samping ranjangku. Satu persatu ia buka bungkusannya. Jjampong, sup mi kerang, dan dua kaleng cola terlihat setelah bungkusannya terbuka.
"Keyla-yah. Ayo kita makan. Kau belum sempat makan di restoran 'kan? Apa kau tidak lapar?" ia menyodorkan sumpit kayu kepadaku.
"Baiklah. Aku tak bisa menolak makanan enak rupanya."
Kali ini aku tak mau menolak memakan makanan yang ada di depan mataku. Walaupun aku sedih, tapi makan adalah hal yang terpenting untuk melanjutkan hidupku. Tanpa ragu aku melahap jjampong yang di belikan Hani eonni. Kami terus berbincang mengenai hal-hal yang kami lakukan selama tak berjumpa satu sama lain. Hani eonni terus bercerita tentang Hee Chul oppa tanpa henti.
"eonni. Aku merasa, kau sangat cocok dengan Hee Chul oppa. mengapa kau tak mencoba menjalin hubungan yang…"
"Tidak bisa key" Hani eonni menyela perkataanku. "Aku sudah nyaman dengan bagaimana kita sekarang. Aku takut nanti tidak akan bisa seperti ini. Amuri saenggakhaedo, aku tidak mau mamiliki jarak dengannya karena hubungan yang…"
"Tapi…"
Kami saling menatap dan tertawa bersama.
"Mengapa kau menyelaku dikata yang sama saat aku menyela perkataanmu?"
"Begitukah?"
"Iya. Aku akan menginap malam ini, sudah lama sekali kita tidak bertemu."
"Baiklah, kali ini ku izinkan kau menginap, tapi jangan mengigau tentang Hee Chul oppa saat kau tidur, okay?"
"Kau mau sedikit pukulan?"
Malam itu kami menghabiskan waktu bersama dan melepas kerinduan setelah lama tak berjumpa.