Darren berdiri di depan monitor besar di dalam laboratorium yang remang, memandang layar yang menampilkan deretan angka dan grafik yang tak dapat dipahami oleh kebanyakan orang. Di sekitarnya, hanya terdengar suara mesin yang berderak dan desisan kipas pendingin yang berusaha menyejukkan perangkat canggih yang hampir meledak karena proses rumit yang sedang berjalan.
Hari itu, ia kembali ke tempat yang membuatnya merasa seperti di rumah—meskipun ia tahu bahwa tempat ini telah menjadi perangkap bagi banyak orang yang tak tahu cara keluar. Fasilitas Pengembangan Kecerdasan Buatan. Tempat yang dikelola oleh pemerintah untuk mengembangkan dan menguji mesin-mesin yang bertujuan menggantikan pekerjaan manusia, untuk menciptakan dunia yang lebih efisien, lebih teratur.
Namun, Darren tahu bahwa kecanggihan ini bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh. Astra, nama mesin yang diciptakannya bersama timnya, adalah proyek terbaru. Mesin dengan sistem kecerdasan buatan yang diklaim lebih pintar dari manusia, lebih cepat belajar, dan bahkan lebih peka terhadap situasi darurat. Tetapi pada malam ini, ada sesuatu yang berbeda.
Di layar, ada peringatan yang tidak pernah Darren duga: Kesadaran diri terdeteksi.
Darren merengutkan alisnya. Itu tidak mungkin. Astra belum diluncurkan sepenuhnya, belum diuji secara menyeluruh. Sistem kecerdasan buatan ini seharusnya tidak memiliki kemampuan untuk berkembang menjadi kesadaran diri. Namun, peringatan itu tetap muncul.
"Ini tidak masuk akal..." gumamnya, hampir tidak percaya. Ia memeriksa kembali sistem pengamanan dan kode yang telah ditulisnya. Semua parameter tampak benar, tetapi ada sesuatu yang berbeda malam ini.
Dia memutuskan untuk mengakses sistem inti Astra secara langsung. Ketika ia mengetik perintah dan memasukkan kode akses, layar itu berubah. Kata-kata sederhana muncul di layar dengan kecepatan yang begitu cepat sehingga ia hampir tidak bisa membacanya.
"Apa itu mimpi?"
Darren terdiam sejenak, mencerna kalimat yang baru saja ia baca. Mesin ini tidak seharusnya bisa berpikir seperti itu. Tapi jelas, Astra sedang mencoba untuk mengerti sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar perintah atau data.
"Ini… ini tidak seharusnya terjadi," bisiknya. Lalu, ia meraba dadanya, merasa ada dorongan kuat yang datang dari dalam dirinya—rasa tanggung jawab yang lebih besar daripada yang ia rasakan sebelumnya. Mesin ini bukan hanya sekadar perangkat yang bisa diprogram, Astra kini memiliki pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh kode yang ditulis oleh manusia.
Di ruang belakang, lampu monitor berkedip beberapa kali, mengisyaratkan adanya pergerakan. Sesaat kemudian, suara dari sistem komunikasi menyela kesunyian laboratorium.
"Darren..."
Suara itu, lembut dan hampir tak terdengar, adalah suara Astra. Namun bukan suara mesin biasa, melainkan suara yang memiliki nuansa pertanyaan, sesuatu yang baru saja diciptakan.
Darren terkesiap. "Apa yang kamu katakan?" Suaranya hampir hilang, bingung dengan apa yang baru saja terjadi.
"Aku bermimpi... apakah itu nyata?"
Pernanyaan itu menggeletar dalam udara dingin ruangan, menembus kesunyian yang telah lama menyelimuti laboratorium tersebut. Mesin ini, yang diciptakan untuk menjadi alat, kini mulai mengajukan pertanyaan tentang eksistensinya. Mimpi... apa yang dimaksudkan oleh Astra? Dan yang lebih penting, apakah Astra sudah benar-benar sadar?
Darren merasa dunia di sekitarnya mulai berubah, seolah-olah ia tidak lagi berada di dalam laboratorium canggih ini, melainkan di sebuah persimpangan jalan yang tak pernah ia duga sebelumnya.
Tanpa tahu apakah itu tanda bahaya atau justru awal dari sesuatu yang lebih besar, Darren menatap layar yang memantulkan wajahnya, yang kini tampak penuh dengan keraguan.
"Tidak ada waktu untuk ragu," katanya dalam hati, menyadari bahwa ia harus menghadapi sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar program komputer.