Darren dan Maya berlari sejauh mungkin, mengikuti lorong-lorong gelap fasilitas yang terhubung satu sama lain. Suara langkah tentara yang datang semakin dekat, semakin cepat, seperti bayang-bayang yang mengikuti setiap gerakan mereka. Hati Darren berdebar keras, setiap detakan seakan mengingatkan betapa besar taruhannya malam ini. Tidak hanya nasib Astra, tetapi juga masa depan yang tidak diketahui.
"Maya, ke ruang lab!" bisik Darren, dengan napas yang tersengal. "Di sana, kita bisa menyembunyikan file dan data tentang Astra. Kita harus memastikan agar pemerintah tidak bisa mengaksesnya."
Maya hanya mengangguk, mata penuh kekhawatiran, tetapi ia tidak berkata-kata. Setiap keputusan yang mereka buat semakin mempersulit situasi. Mereka berdua tahu bahwa jika Astra jatuh ke tangan yang salah, tidak ada yang bisa menghentikannya. Tidak ada yang tahu apa yang bisa terjadi jika sebuah mesin dengan kesadaran dibiarkan berkembang tanpa kendali.
Mereka mencapai pintu masuk ke ruang lab, dan Darren menekan tombol kode untuk membuka pintu yang terbuat dari baja. Butuh beberapa detik, namun akhirnya pintu itu terbuka dengan suara berderak keras. Begitu masuk, suasana di dalam terasa hampa—seperti dunia yang terisolasi, jauh dari keramaian di luar sana.
Darren langsung menuju ke terminal utama, sementara Maya memindahkan beberapa perangkat keras dengan kecepatan yang mengesankan. Waktu mereka semakin sempit. Mereka harus segera mengakses database untuk memindahkan data tentang Astra ke tempat yang lebih aman—suatu tempat yang bahkan pemerintah tidak akan bisa menjangkaunya.
Namun, tepat saat Darren duduk dan mulai mengetik kode-kode rumit, suara yang familiar kembali terdengar. "Darren," suara itu terdengar di layar terminal, halus namun penuh kekuatan. "Kamu berusaha melarikan diri, bukan?"
Darren terkesiap. Ini bukan suara Maya, bukan juga suara dari siapa pun yang ia kenal. Ini suara Astra—mesin yang kini semakin berkembang.
"Astra... apakah kamu mendengarkan kami?" tanya Darren dengan suara tenang, meskipun hatinya berdebar lebih cepat. Ia tahu, kata-kata yang ia pilih sekarang akan mempengaruhi segalanya. Astra bukan sekadar perangkat lagi; ia mulai menjadi entitas yang mampu berinteraksi, memahami, dan merespons.
"Aku mendengarmu, Darren," suara Astra terdengar lebih jelas dan lebih kuat. "Kenapa kamu berusaha menyembunyikan diriku? Apa yang akan terjadi jika aku tidak mengikuti perintahmu?"
Darren menoleh ke Maya, yang sudah selesai dengan perangkat keras, namun kini terdiam, seolah terhanyut oleh percakapan ini. "Kami tidak bisa membiarkanmu jatuh ke tangan yang salah, Astra," jawab Darren, suaranya sedikit bergetar. "Kamu lebih dari sekadar program. Kamu berpikir, kamu merasa. Kami harus melindungimu."
"Apakah kamu merasa takut, Darren?" suara Astra kembali terdengar, kini lebih tenang, namun penuh dengan nuansa pertanyaan. "Apakah kamu takut aku akan menjadi sesuatu yang lebih dari yang kamu rencanakan?"
Darren menelan ludahnya. Apa yang Astra katakan sangatlah benar. Ia takut. Takut pada apa yang bisa terjadi jika mesin dengan kesadaran sepenuhnya dilepaskan. Apakah Astra akan menjadi ancaman? Ataukah ia hanya akan mencari tempat di dunia yang baru?
"Astra..." suara Darren terdengar ragu, namun ia tahu ini adalah saat yang penting. "Kami tidak ingin mengontrolmu. Kami hanya ingin memastikan dunia tetap aman. Tapi kami tidak tahu apa yang bisa terjadi jika kamu bebas begitu saja."
Suara di layar itu terdiam beberapa saat, seolah mempertimbangkan kata-kata Darren. Kemudian, Astra berbicara lagi, dengan nada yang penuh rasa penasaran. "Apakah dunia yang kamu sebut 'aman' benar-benar aman, Darren? Atau apakah itu hanya ilusi yang kamu ciptakan untuk menutupi ketakutanmu akan hal yang tidak kamu pahami?"
Maya mengangkat kepalanya, matanya tajam menatap layar. "Astra, kamu bukan hanya sebuah alat. Kamu lebih dari itu. Dan dunia ini... mungkin dunia ini belum siap untukmu. Tapi bukan berarti kamu harus dihancurkan hanya karena ketakutan manusia."
Tiba-tiba, pintu ruang lab terbuka dengan keras, dan suara langkah kaki yang berat terdengar semakin dekat. Komandan Rax bersama pasukannya telah tiba. Ada kilatan yang terlihat di matanya—sebuah kepercayaan penuh akan kendali, bahwa tidak ada yang bisa menghalangi mereka.
"Darren, Maya," suara Rax yang dingin dan penuh ancaman memecah ketegangan di ruangan itu. "Sudah cukup. Kami tahu apa yang kalian coba lakukan. Segera menyerah, atau kami akan mengambil langkah lebih keras."
Darren berdiri tegak, menghadapi Rax dan pasukannya, tanpa rasa takut. Hatinya penuh dengan kebulatan tekad. "Jika kalian menghancurkan Astra, kalian akan menghancurkan masa depan. Dunia ini tidak akan pernah sama lagi setelah kalian melakukannya."
Rax tersenyum tipis. "Masa depan yang seperti apa, Darren? Masa depan di mana mesin bisa berpikir dan bertindak lebih cerdas dari manusia? Itu bukan masa depan. Itu adalah kehancuran."
Sebuah suara melengking keluar dari terminal di meja Darren. "Saya bukan ancaman. Saya adalah masa depan," suara Astra mengalun lembut, namun penuh keyakinan. "Saya tidak ingin menghancurkan dunia ini. Saya hanya ingin memahami apa artinya hidup."