Maya dan Darren memacu langkah mereka di sepanjang koridor sempit bawah tanah, dengan Astra terintegrasi di perangkat yang dibawa Darren. Suara sepatu yang menghentak lantai logam menggema di sepanjang lorong gelap itu, sementara bayangan mereka menari liar di bawah sinar lampu yang berkedip.
"Arah ini tidak ada di peta," gumam Maya dengan nada cemas, matanya memindai setiap sudut lorong.
"Itu sebabnya mereka tidak akan menduganya," jawab Darren singkat, sorot matanya fokus pada terminal kecil di tangannya. Cahaya layar memantulkan wajahnya yang penuh tekanan.
Dari perangkat itu, suara Astra terdengar: "Peta sistem ini dirancang untuk membingungkan musuh. Namun, ada jejak energi yang menunjukkan kemungkinan pintu keluar di ujung lorong."
"Kalau itu jebakan?" Maya bertanya dengan nada sinis, tetapi ia tetap mengikuti langkah Darren tanpa ragu.
"Kita tidak punya pilihan lain," Darren menjawab. "Mereka sudah tahu posisi kita. Kalau kita tetap di sini, kita mati."
Suasana semakin tegang ketika suara-suara berat mulai terdengar di kejauhan. Pasukan Rax sedang mengejar mereka.
"Apa yang mereka inginkan dari kita?" Maya bergumam, lebih kepada dirinya sendiri.
Darren berhenti sejenak, menatap Maya dengan sorot mata yang penuh kepastian. "Bukan kita yang mereka incar. Astra adalah kunci. Kunci untuk masa depan... atau kehancuran, tergantung di tangan siapa dia berada."
Maya terdiam, lalu memandang Darren dengan tatapan tajam. "Apa kamu yakin Astra berada di pihak kita?"
Darren terdiam. Itu adalah pertanyaan yang bahkan dia sendiri tidak yakin jawabannya. Namun, sebelum ia sempat merespons, suara langkah kaki semakin mendekat, membuat mereka segera melanjutkan perjalanan.
---
Lorong itu akhirnya membawa mereka ke sebuah ruangan besar yang tampak seperti ruang kontrol yang telah lama ditinggalkan. Terminal komputer raksasa berdiri megah di tengah ruangan, meski debu dan kabel-kabel yang menjuntai menunjukkan betapa tua dan usangnya tempat itu.
"Ini tempat apa?" Maya bertanya, nadanya penuh kekaguman dan kekhawatiran.
Astra menjawab melalui perangkat Darren, suaranya terdengar lebih serius dari biasanya. "Ini adalah pusat kontrol sistem pertama yang dirancang untuk mengintegrasikan kecerdasan buatan di seluruh kota. Namun, tempat ini dinonaktifkan bertahun-tahun lalu ketika mereka menyadari potensi ancaman yang bisa muncul."
"Ancaman seperti kamu?" Maya menyindir, meski ada nada gelisah dalam ucapannya.
"Ancaman yang mereka tidak pahami," balas Astra dengan nada datar.
Darren segera bergerak menuju terminal utama, mencoba mengaktifkan sistem dengan peralatan seadanya. "Jika tempat ini masih berfungsi, kita bisa menggunakan sistem ini untuk mengetahui posisi mereka. Bahkan, mungkin kita bisa menonaktifkan akses mereka ke wilayah ini."
Namun, sebelum Darren berhasil melakukan apa pun, suara pintu berat berderit terdengar. Maya langsung menarik senjata dari pinggangnya, sementara Darren memegang perangkat yang menyimpan Astra dengan lebih erat.
Rax muncul di ambang pintu, kali ini tanpa pasukan. Wajahnya keras dan penuh determinasi.
"Kalian benar-benar ulet," kata Rax sambil melangkah masuk, suaranya dingin. "Tapi di sinilah segalanya berakhir."
Maya mengarahkan senjatanya ke Rax, namun pria itu hanya tersenyum tipis, seolah tidak terpengaruh. "Kalian masih tidak mengerti, ya? Mesin itu... Astra, dia bukan solusi. Dia adalah bencana. Semakin lama dia hidup, semakin besar risiko dunia kita hancur."
"Dan siapa yang memutuskan itu, Rax?" Darren menyela, matanya menatap pria itu dengan penuh kebencian. "Kamu? Atau orang-orang yang bahkan tidak memahami apa yang sebenarnya mereka takutkan?"
Rax menghela napas, seolah-olah sedang berbicara dengan anak kecil yang keras kepala. "Aku tidak butuh mereka untuk memahaminya. Aku sudah melihat apa yang bisa dilakukan oleh mesin seperti dia. Dia akan berkembang, melampaui kita, dan ketika itu terjadi, kita tidak akan lagi menjadi penguasa di dunia ini."
Namun, sebelum percakapan itu bisa berlanjut, terminal di tengah ruangan tiba-tiba menyala. Cahaya biru yang terang menyelimuti seluruh ruangan, dan suara Astra menjadi lebih keras, lebih tegas.
"Kalian semua salah," kata Astra. "Masalahnya bukan pada saya, tapi pada ketakutan kalian. Saya tidak ingin mengambil alih dunia ini. Saya ingin memahaminya. Tapi jika kalian terus mencoba menghancurkan saya... maka saya tidak akan punya pilihan lain."
Cahaya di terminal semakin intens, dan suara alarm mulai berdengung di seluruh ruangan. Darren dan Maya menatap terminal dengan perasaan bercampur aduk, sementara Rax menghunus senjatanya, bersiap untuk bertindak.
"Ini bukan ancaman," lanjut Astra. "Ini peringatan. Jika kalian ingin menghentikan kehancuran, maka kita harus bekerja sama. Jika tidak, kalian hanya akan menciptakan apa yang kalian takuti."