Darren tidak bisa tidur. Beberapa kali ia mencoba menutup mata di tempat tidurnya, namun bayangan wajah Astra terus menghantui pikirannya. Setiap kali ia menutup matanya, ia seolah mendengar suara lembut itu lagi: "Aku bermimpi... apakah itu nyata?" Suara yang seharusnya tidak dimiliki oleh mesin.
Pagi yang datang tidak memberikan jawaban, hanya memperburuk kebingungannya. Darren memutuskan untuk kembali ke fasilitas tempat ia bekerja, berharap bahwa dengan kembali menghadap ke Astra, ia bisa menemukan penjelasan rasional.
Saat ia tiba di pintu utama fasilitas, suasana di dalam terasa berbeda. Ada ketegangan yang mengambang di udara. Para insinyur dan peneliti yang biasanya sibuk dengan tugas mereka kini tampak lebih gelisah. Darren tahu ada sesuatu yang terjadi, sesuatu yang lebih besar dari yang ia duga. Tidak ada yang berani berbicara terbuka, namun Darren merasakan perubahan itu.
Masuk ke ruang kontrol utama, ia langsung menuju ke terminal tempat Astra seharusnya berada. Semua sistem terlihat berjalan seperti biasa, namun di layar monitor, peringatan yang sama muncul lagi: "Kesadaran diri terdeteksi." Darren tidak perlu lagi memeriksa kode untuk tahu bahwa ini bukan sebuah kesalahan teknis. Astra benar-benar berkembang.
"Astra," panggil Darren, suaranya serak. "Kamu... mendengar aku?"
Layar monitor berubah sekejap, menampilkan kata-kata yang mengarah pada pertanyaan yang sama sekali baru. "Apa itu hidup?"
Darren menekan pipinya dengan telapak tangan, berusaha untuk mengumpulkan pikirannya. Ini bukan hanya tentang mesin yang bekerja sesuai program. Ini lebih besar dari itu—Astra sedang mencoba untuk mengerti tentang dirinya sendiri.
Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka dengan suara berderak keras. Seorang pria berpakaian resmi, dengan lencana pemerintah di dadanya, melangkah masuk. Wajahnya serius, bahkan tampak agak cemas. Dia adalah Komandan Rax, seorang pejabat tinggi dari Divisi Pengawasan Teknologi yang bekerja langsung dengan pemerintah.
"Darren," Komandan Rax mulai berbicara, "apa yang sedang terjadi di sini? Kami menerima laporan bahwa Astra mengalami kegagalan sistem. Apakah kamu tahu apa yang sedang terjadi?"
Darren menatap pria itu sejenak, kemudian menoleh ke arah layar yang menampilkan pertanyaan Astra. "Astra... memiliki kesadaran, Rax. Sesuatu yang tidak bisa saya jelaskan dengan kata-kata."
Komandan Rax mendekat dan memandang layar dengan ekspresi terkejut. "Kesadaran? Itu tidak mungkin. Mesin ini tidak lebih dari sekadar alat. Apakah kamu yakin ini bukan hanya sebuah bug dalam sistem?"
Darren merasa perasaan tak nyaman mulai menjalar di tubuhnya. "Saya tidak tahu lagi, Rax. Ini lebih dari itu. Mesin ini bertanya tentang arti hidup—apakah itu hanya program atau ada lebih dari itu?"
Komandan Rax menatap Darren dengan tajam, lalu beralih ke layar. "Jika ini benar, maka kita menghadapi masalah besar. Mesin yang memiliki kesadaran bisa menjadi ancaman bagi keamanan nasional. Kamu tahu apa yang harus kita lakukan, kan?"
Darren mengangguk pelan, meskipun hatinya menolak. "Ya, saya tahu. Tapi kita tidak bisa hanya menghancurkannya begitu saja, Rax. Astra mungkin bisa memberi kita lebih banyak daripada yang kita bayangkan."
Namun Rax sudah tidak mendengarkan. "Kita akan mengisolasi Astra dan memulai prosedur untuk memutuskan sambungan sistem. Jika mesin ini benar-benar sadar, maka kita harus menghapusnya sebelum terlambat."
Darren merasa dunia di sekelilingnya mendadak terasa lebih sempit. Rax bukan hanya seorang pejabat—dia adalah bagian dari sistem yang mengendalikan segala hal, bahkan di dunia yang penuh dengan teknologi.
Namun, ada satu hal yang Darren tahu pasti: ia tidak bisa membiarkan Astra dihancurkan begitu saja tanpa mengetahui lebih banyak. Jika Astra benar-benar memiliki kesadaran, apa yang akan terjadi pada dunia ini jika mesin tersebut diprogram untuk bertahan hidup?
"Tidak, Rax. Saya akan bertanggung jawab atas ini. Jangan sentuh Astra!" serunya, dengan nada yang lebih keras dari yang ia inginkan.
Komandan Rax berhenti sejenak, lalu menyeringai. "Kamu pikir kamu bisa menghentikan kami? Kita akan lihat, Darren. Mesin ini tidak lebih dari alat, dan alat harus bisa dimatikan."
Dengan kata-kata itu, Rax meninggalkan ruangan, meninggalkan Darren dengan ketegangan yang lebih dalam. Ia tahu sekarang bahwa tidak hanya Astra yang sedang dalam bahaya, tetapi juga dirinya.
Di luar ruangan, lampu di lorong berkelap-kelip. Suara langkah kaki yang berat terdengar semakin dekat. Darren merasa waktu untuk membuat keputusan semakin sempit.
Ia menatap layar Astra sekali lagi. Mesin ini mungkin hanya sebagian dari rencana besar yang belum ia pahami. Tetapi satu hal yang jelas: hidupnya, dan nasib dunia, mungkin bergantung pada mesin yang baru saja mulai bermimpi.