Malam itu, langit tampak tenang, tapi suasana hati Sellena sangat berbanding terbalik dengan langit malam itu. Ia berdiri di balkon sempit apartemennya,dan membiarkan angin malam mengusap lembut wajah dan rambutnya. Di atas sana, purnama memancarkan sinarnya yang lembut dan cantik, seakan mencoba menenangkan kegundahan yang terus berkecamuk dalam hatinya.
Sudah dua tahun berlalu, sejak tragedi itu terjadi. Namun setiap kali bulan purnama hadir, ingatannya kembali ke malam itu, malam yang dimana seharusnya membahagiakan, namun berubah menjadi awal dari kehancuran hidupnya.
Angin dingin berhembus, seolah membawa bisikan. Sellena merasa bulu kuduknya berdiri. "Pulanglah…" katanya lirih, mengulang suara samar yang seakan terbawa angin. Bisikan itu sangat jelas sekali, meskipun tak ada siapa pun di sekitarnya.
Ia menggelengkan kepala, mencoba mengusir pikiran aneh. Namun, ketika ia berbalik masuk ke dalam apartemen, sebuah benda kecil jatuh dari meja di ruang tamunya. Sebuah foto berbingkai, dengan wajah yang ia kenal begitu baik: Nolan, tunangannya yang meninggal dua tahun lalu.
Tatapan mata dalam foto itu seakan berbicara padanya. Sellena merasakan sesuatu yang sulit ia jelaskan rasa rindu bercampur gelisah yang mengundang pertanyaan besar. Mengapa malam ini terasa begitu berbeda? Dan apa arti dari bisikan itu?
Ia memandangi bulan purnama di luar sana untuk terakhir kali di malam itu, tanpa tahu bahwa ini baru awal dari petualangan panjang yang akan membawa hidupnya berubah selamanya.