Sellena berdiri mematung, tubuhnya terasa berat. "Nolan... itu kau?" tanyanya dengan suara bergetar, antara takut dan juga rindu.
Pria itu tidak menjawab. Sebaliknya, ia hanya menatapnya dengan sorot mata yang sulit ditebak, namun senyum kecil terukir di wajahnya. Langkahnya mendekat, perlahan namun pasti.
Sellena mengerjapkan mata beberapa kali, takut semua ini hanyalah ilusi semata. Ketika akhirnya pria itu berdiri di hadapannya, jarak mereka sangat begitu dekat sehingga ia bisa merasakan aroma yang begitu familier. Tapi ada sesuatu yang berbeda, sosok ini terasa dingin, seperti angin malam yang menggigit kulit mungil Sellena.
"Kenapa kau ada di sini?" tanya Sellena akhirnya, berusaha menguasai rasa gemetar di suaranya.
"Aku kembali karena kau memanggilku," jawab pria itu. Suaranya sangat lembut, nyaris seperti bisikan. "Tapi waktuku sangat terbatas."
Sellena tertegun. "Aku... tidak mengerti. Apa ini artinya?"
Pria itu menatapnya sangat dalam, seolah mencari sesuatu di balik matanya. "Kau sudah lama terjebak di masa lalu, Sellena. Tapi ada sesuatu yang harus kuselesaikan, sesuatu yang belum kukatakan sebelum aku pergi. Jika kau tidak membantuku, kau tak akan pernah bisa benar-benar bebas."
Kata-katanya seperti anak panah yang menghujam hati Sellena. Ia mencoba menahan air mata, tapi gagal. "Aku tidak peduli jika aku terjebak. Kehilanganmu adalah hal terburuk dalam hidupku, Nolan. Kalau aku harus tinggal di masa lalu untuk tetap bersamamu, aku bersedia Nolan."
Pria itu tersenyum tipis, namun ada kesedihan yang tergambar di wajah tampan nya. "Kehilangan itu tak bisa kau hindari. Tapi yang masih tersisa adalah pilihan untuk berdamai atau tenggelam. Aku di sini bukan untuk tinggal, Sellena. Aku hanya ingin kau menemukan apa yang sebenarnya yang terjadi pada malam itu."
Kata-katanya membuat Sellena terguncang. "Malam itu?" kenangnya, malam yang penuh darah dan tangisan, malam di mana Nolan pergi untuk selamanya dalam sebuah kecelakaan mobil.
"Semua jawabannya ada di tempat yang dulu menjadi rahasia kita berdua," lanjut pria itu, menunjuk ke arah selatan, ke sebuah bukit kecil yang mereka sebut Puncak Cahaya.
"Tapi, bagaimana mungkin? Bukankah itu... hanya tempat biasa?" tanyanya dengan bingung.
Tetapi sosok itu, tidak menjawab sama sekali. Tubuhnya malah perlahan memudar, seperti kabut yang ditiup angin. Sebelum benar-benar menghilang, ia berbisik satu kalimat terakhir.
"Percayalah padaku, Sellena. Carilah kebenaran, maka kau akan bebas."
Sellena berusaha meraih tangannya, tapi udara dingin kosong yang ia rasakan. Nolan sudah menghilang, meninggalkannya sendiri di tengah taman yang sunyi.
-------
Setelah kembali ke apartemennya, Sellena tak bisa tidur. Pesan terakhir dari Nolan terus menggema di pikirannya. Dengan penuh tekad, ia membuka kotak kayu tua yang penuh dengan kenangan mereka mulai dari foto, catatan, dan selembar peta kecil. Di sudut peta itu, tertulis kata Puncak Cahaya.
Sellena tahu, apa pun yang akan ia temui di sana, jawabannya mungkin tidak akan mudah ia terima. Tetapi malam itu, di bawah bulan purnama yang kembali terang, ia bertekad untuk menemukan kebenaran, bahkan jika itu harus menghancurkan dirinya lagi, Sellena rela.