Sejak kecil, aku dan Rina sudah tak terpisahkan. Kami tumbuh bersama, belajar bersama, dan bahkan berbagi mimpi yang sama. Tapi, seiring berjalannya waktu, aku mulai merasakan sesuatu yang lebih. Sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan. Entah kapan tepatnya itu dimulai, yang aku tahu adalah aku sudah tak bisa lagi melihat Rina hanya sebagai teman.
Rina... dia selalu jadi orang yang aku cari pertama kali saat ada masalah, saat senang, atau bahkan saat tak ada alasan untuk merasa bahagia. Ada sesuatu tentang dia yang membuat dunia terasa lebih baik, bahkan ketika semuanya tampak kacau. Namun, aku tahu, perasaan itu tak bisa diungkapkan begitu saja. Rina adalah sahabatku, dan aku tak ingin merusak hubungan itu hanya karena perasaan yang rumit dan membingungkan.
Aku ingat betul, hari itu, saat aku duduk di taman kampus, memandangi Rina yang sedang tertawa bersama teman-temannya. Aku hanya duduk di sana, mengamati, berusaha untuk tidak menunjukkan betapa aku merasa kesepian meskipun dikelilingi banyak orang. Aku dan Rina memang dekat, tapi kadang, rasanya aku seperti terasingkan. Seperti ada jarak yang tak bisa dihapuskan hanya dengan kata-kata.
"Kenapa kamu cuma diam aja?" Rina tiba-tiba duduk di sampingku, menyentuh bahuku dengan lembut.
Aku terkejut, tapi cepat-cepat tersenyum. "Nggak apa-apa, lagi mikir aja."
"Pasti mikirin aku, kan?" Rina menggoda, matanya menyipit dengan ekspresi nakal.
Aku tertawa kecil, meski hatiku tak sepenuhnya merasa ringan. "Ya, pasti. Kamu kan sahabatku."
Rina menatapku dengan tatapan yang seolah menunggu sesuatu. Tapi aku tak bisa berkata apa-apa. Aku takut, kalau aku bilang yang sebenarnya, semuanya akan berubah. Dan aku tak siap untuk itu.
Hari itu, perasaan yang sudah lama terpendam semakin terasa. Aku tak tahu lagi bagaimana cara menahannya. Namun, aku hanya bisa duduk diam, mengingatkan diriku untuk tetap menjaga jarak, meski hatiku ingin berteriak.
---
Ketegangan yang Tumbuh
Waktu berlalu, dan kedekatan kami tak pernah berubah. Tapi semakin lama, aku mulai merasa bahwa Rina juga merasakannya. Ada momen-momen kecil, seperti saat kami berbicara hingga larut malam atau berbagi pandangan singkat yang lebih dalam dari sekadar kebiasaan. Aku sering menangkap tatapan Rina yang seolah menunggu aku mengatakan sesuatu, sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan. Tapi aku hanya bisa diam.
"Lu mikir apa, sih?" Rina tiba-tiba bertanya saat kami sedang duduk bersama di bangku taman, seperti biasa.
Aku terdiam sebentar, berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Nggak ada, kok. Lagi pengen diem aja."
Rina tersenyum tipis, "Kalo lu diem gini, aku malah jadi penasaran."
Aku bisa merasakan ada ketegangan di antara kami, sesuatu yang mengganjal. Tapi kami berdua saling diam, seperti tak ingin mengungkapkan apa yang sebenarnya kami rasakan.
Beberapa minggu setelah itu, Rina mulai berubah. Dia menjadi lebih sibuk dengan urusan pribadi, sering pergi ke tempat-tempat baru, dan aku merasa seperti semakin jauh darinya. Tentu saja, aku tahu ada sesuatu yang lebih besar yang sedang dia rencanakan, tapi aku tak bisa mengajukan pertanyaan. Takut jika aku terlalu mencampuri, aku akan kehilangan dia.
Namun, ketegangan itu semakin tak bisa diabaikan. Rina sering memandangku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Aku tahu dia juga merasakan sesuatu. Tapi, seperti aku, dia juga lebih memilih untuk tidak mengatakannya. Kami berdua, terjebak dalam perasaan yang tak terucapkan, menunggu momen yang tepat—atau mungkin, kami hanya menunggu untuk saling menyerah.