Chereads / Cinta yang tersembunyi / Chapter 8 - Bab 8: Langkah Besar

Chapter 8 - Bab 8: Langkah Besar

Beberapa bulan berlalu sejak percakapan malam itu. Rina dan aku semakin dekat, namun kami berdua merasa bahwa kami masih perlu waktu untuk sepenuhnya menyadari perasaan kami. Kami menjalani hari-hari dengan cara yang lebih ringan, tanpa beban, namun dengan kenyataan bahwa hubungan kami tidak bisa lagi kembali seperti dulu.

Pekerjaan, kehidupan sosial, dan rutinitas sehari-hari kadang-kadang membuat kami terpisah, tetapi setiap kali kami bertemu, ada perasaan yang mengalir di antara kami, lebih kuat daripada sebelumnya. Aku mulai menyadari bahwa perasaan yang terpendam selama bertahun-tahun ini bukanlah hal yang bisa kami abaikan begitu saja.

Suatu sore, ketika kami sedang berjalan di taman yang sama seperti dulu, Rina berhenti sejenak, memandang ke depan dengan pandangan kosong.

"Niko, lo pernah ngerasa nggak sih, kayak kita ini berjalan di jalur yang salah? Maksudnya, kita udah saling kenal banget, tapi kenapa rasanya kita selalu terlambat untuk menyadari apa yang kita punya?" Rina bertanya, suaranya terdengar ragu.

Aku berhenti dan menatapnya. "Gue paham maksud lo. Kita udah lama banget jadi teman, tapi kadang-kadang gue merasa kalau kita nggak pernah benar-benar memikirkan apa yang kita inginkan."

Rina menghela napas panjang. "Iya, gue juga ngerasa gitu. Kadang gue mikir, apakah kita cuma saling nyaman karena udah terbiasa, atau memang ada perasaan lebih yang harus kita akui."

Aku tersenyum. "Mungkin kita terlalu takut untuk mengakui perasaan kita, karena kita nggak ingin kehilangan yang ada sekarang. Tapi kadang, lo harus mengambil risiko, kan?"

Rina menatapku, dan untuk pertama kalinya sejak lama, aku melihat tatapan yang penuh keyakinan. "Jadi, apa yang kita tunggu? Kalau kita nunggu lebih lama, kita bisa kehilangan semuanya."

Aku mengangguk, merasakan getaran di dadaku. "Kita nggak bisa terus terjebak di antara kenyataan dan harapan. Gue siap, Rin. Gue siap buat mencoba."

Dengan langkah perlahan, kami berjalan berdampingan, menyadari bahwa kami akhirnya mengambil langkah besar yang selama ini kami hindari. Hubungan kami telah berubah, dan meskipun tak ada jaminan tentang masa depan, kami memutuskan untuk tidak lagi menunggu. Kami memilih untuk hidup di masa sekarang, dan mengambil risiko untuk cinta yang selama ini terpendam.

---

Ketegangan Baru

Setelah kami mengambil langkah besar itu, hubungan kami berubah. Tak lagi sekadar teman, tapi bukan juga pasangan yang sepenuhnya terikat. Ada sebuah ketegangan baru yang muncul di antara kami, yang kadang terasa lebih kuat daripada sebelumnya. Kami berdua masih berusaha menyesuaikan diri dengan perubahan ini, seolah-olah kami baru saja memasuki dunia yang sama sekali berbeda.

Hari-hari berlalu, dan meskipun kami mulai lebih sering menghabiskan waktu bersama, ada momen-momen ketika aku merasa ragu. Rina juga begitu, terlihat lebih sering menghindari pembicaraan tentang hubungan kami. Entah kenapa, kami berdua tidak bisa lepas dari rasa takut akan kegagalan, meskipun kami sudah sepakat untuk mencoba.

Suatu malam, setelah menghabiskan waktu di kafe yang biasa kami kunjungi, kami berjalan pulang bersama. Malam itu terasa agak dingin, dan angin bertiup lembut. Kami berjalan berdampingan, tapi tidak ada kata-kata yang terucap. Kami hanya menikmati keheningan, namun aku tahu, ada sesuatu yang mengganjal di hati Rina.

"Ada yang mengganggu lo, Rin?" tanyaku akhirnya, mencoba memecah kesunyian.

Rina berhenti sejenak, menatap ke depan dengan wajah serius. "Gue nggak tahu, Niko. Kadang gue merasa kita ini cuma terjebak dalam bayang-bayang masa lalu kita. Lo tahu kan, kita udah lama banget jadi teman. Gue takut, kita nggak bisa lepas dari itu."

Aku menarik napas panjang, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Gue ngerti maksud lo. Tapi kita nggak bisa terus hidup di masa lalu. Gue ingin mencoba, Rin. Coba untuk sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan kita."

Rina menundukkan kepala, seolah berpikir keras. "Gue juga pengen banget, Niko. Tapi, kadang gue nggak tahu apa yang harus gue rasakan. Gue takut kalau gue salah langkah, dan gue malah kehilangan lo."

Aku menggenggam tangan Rina, mencoba memberinya ketenangan. "Gue juga takut. Tapi kita nggak akan tahu kalau kita nggak coba. Lo nggak sendirian, Rin. Kita bisa jalan bareng, meskipun nggak ada jaminan."

Rina mengangkat wajahnya dan tersenyum, meskipun masih ada kekhawatiran di matanya. "Tapi... kalau kita gagal, lo nggak bakal nyalahin gue, kan?"

Aku tertawa pelan. "Nggak, Rin. Kita cuma manusia. Gagal itu wajar, yang penting kita berusaha."

Kami melanjutkan perjalanan, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, aku merasakan sebuah kedamaian. Mungkin memang ada ketegangan, tetapi kami juga sedang berusaha membuka hati satu sama lain, dan itu lebih penting dari apapun.