Chereads / Cinta yang tersembunyi / Chapter 9 - Bab 9: Cinta yang Tertunda

Chapter 9 - Bab 9: Cinta yang Tertunda

Seiring berjalannya waktu, hubungan kami semakin matang, meskipun kadang masih ada keraguan yang menghantui kami. Kami berdua tahu bahwa perasaan kami sudah tidak bisa dipungkiri lagi, tetapi dunia di sekitar kami tampaknya belum siap menerima kenyataan itu. Tentu saja, teman-teman kami mulai curiga, tetapi kami lebih memilih untuk menjaga semuanya tetap sederhana dan tidak terburu-buru.

Namun, ada satu hal yang terus mengganggu pikiranku: hubungan ini terasa seperti sesuatu yang tertunda, seolah-olah kami selalu berada di ambang sesuatu yang lebih besar, tapi tak pernah benar-benar mencapainya. Aku merasa, Rina juga merasakannya, tapi kami berdua terlalu takut untuk mengungkapkannya.

Suatu sore, aku memutuskan untuk mengundang Rina ke sebuah tempat yang berbeda, sebuah taman yang lebih sepi dan tenang. Tempat ini adalah salah satu tempat yang selalu kami datangi saat kami masih kecil. Di sana, kami duduk di bangku yang sama, di bawah pohon besar yang teduh. Aku memandang Rina, mencoba menemukan kata-kata yang tepat.

"Rin, lo pernah ngerasa nggak, kita selalu kayak terjebak di antara dua dunia? Kita nggak bisa sepenuhnya jadi pasangan, tapi kita juga nggak bisa cuma jadi teman biasa." Suaraku terdengar pelan, namun penuh dengan ketulusan.

Rina menatapku, wajahnya serius. "Iya, gue ngerasa gitu juga, Niko. Tapi, kadang gue ngerasa, apakah kita bisa benar-benar maju ke tahap selanjutnya? Apakah lo yakin kita nggak akan merusaknya?"

Aku menatapnya dalam-dalam, mencoba membaca pikirannya. "Gue yakin, Rin. Gue yakin kita bisa. Tapi, kita harus berani mengambil langkah itu. Gue nggak mau kita terus begini, nggak jelas. Kita harus memutuskan."

Rina terdiam sejenak, lalu mengangguk perlahan. "Oke, kalau gitu. Gue siap mencoba. Gue nggak mau nunggu lagi, Niko."

Aku tersenyum, merasakan beban yang hilang dari pundakku. Untuk pertama kalinya, aku merasa yakin dengan langkah yang kami ambil. Meskipun tidak ada jaminan tentang masa depan, kami sudah memutuskan untuk maju bersama. Apa pun yang terjadi, aku tahu, kami akan tetap berjuang bersama.

Kami duduk di sana, berbicara tentang masa depan yang masih penuh dengan ketidakpastian, tapi yang pasti, kami tidak lagi ingin terjebak dalam bayang-bayang masa lalu. Kami siap menatap hari esok, bersama-sama.

---

Keputusan yang Mengubah Segalanya

Setelah percakapan itu, kami merasa seolah-olah dunia sekitar kami berubah. Hubungan kami yang semula penuh dengan ketegangan dan keraguan kini terasa lebih jelas. Kami berdua sudah memutuskan untuk maju, untuk meninggalkan ketidakpastian dan ketakutan yang menghalangi kami sebelumnya. Namun, meskipun keputusan itu terasa benar, masih ada banyak hal yang harus kami atasi.

Rina dan aku mulai berbicara lebih terbuka, tidak hanya soal perasaan kami, tapi juga tentang harapan dan ketakutan kami terhadap masa depan. Kami tahu bahwa hubungan ini tidak akan selalu mudah, tetapi kami juga tidak ingin terjebak dalam rutinitas yang biasa. Kami ingin sesuatu yang lebih, dan kami siap untuk memperjuangkannya.

Suatu malam, aku mengajak Rina untuk pergi makan malam di restoran kecil yang baru buka di kota. Tempat ini memiliki suasana yang nyaman dan intim, jauh dari keramaian. Kami duduk berdua di meja pojok, menikmati makan malam kami, sementara percakapan mengalir begitu alami.

"Lo masih ngerasa ragu, Rin?" tanyaku, menatap wajahnya yang tampak tenang, meskipun aku tahu di dalam dirinya ada banyak pertanyaan.

Rina tersenyum, meskipun ada sedikit ketegangan di matanya. "Kadang-kadang gue ngerasa takut, Niko. Takut kalau kita salah ambil keputusan. Tapi, gue juga ngerasa kalau gue nggak mau hidup dengan penyesalan, nggak mau terus bertanya-tanya tentang apa yang bisa kita punya."

Aku mengangguk, mengerti apa yang dia rasakan. "Gue juga, Rin. Kita udah terlalu lama saling diam, nggak pernah mengungkapkan perasaan kita. Tapi sekarang, gue merasa ini hal yang benar buat kita. Kita harus coba, dan apapun yang terjadi, kita tetap harus berjuang."

Rina memegang tanganku, matanya penuh dengan rasa percaya. "Gue setuju. Gue nggak mau kehilangan kesempatan ini, Niko. Kita udah terlalu lama jadi teman, dan sekarang gue siap untuk lebih."

Aku merasa lega mendengar kata-katanya. Kami sudah memutuskan untuk benar-benar mencoba, meskipun tak ada jaminan bahwa semuanya akan berjalan mulus. Tapi ada satu hal yang kami berdua tahu dengan pasti: kami tidak ingin lagi hidup dalam bayang-bayang perasaan yang tidak terungkap.