Chereads / Cinta yang tersembunyi / Chapter 2 - Bab 2: Kepergian yang Mengubah Segalanya

Chapter 2 - Bab 2: Kepergian yang Mengubah Segalanya

Hari yang kuhindari akhirnya datang. Rina menerima tawaran kerja di luar kota, sebuah kesempatan besar yang tak bisa ditolak. Saat dia memberitahuku, aku merasa seolah dunia berhenti berputar. Aku berusaha untuk terlihat bahagia, memberi semangat, tapi hatiku hancur. Aku tak tahu apa yang harus kuperbuat.

"Gue harus pergi, kan?" tanya Rina, matanya yang biasanya ceria kini terlihat lebih serius.

Aku hanya bisa mengangguk, meski dada ini terasa sesak. "Iya, kamu harus pergi. Gue dukung kok."

"Tapi gue bakal kangen, loh," katanya, memandangku dengan tatapan yang aku kenali. Tatapan itu... ada sesuatu di dalamnya yang tak bisa dijelaskan.

"Gue juga bakal kangen, Rina," jawabku dengan suara yang hampir tak terdengar.

Dia tersenyum, tetapi kali ini senyum itu berbeda. Ada sesuatu yang terpendam di dalamnya. Sesuatu yang seharusnya sudah kami ungkapkan sejak lama.

Saat Rina pergi, aku merasa ada yang hilang dalam hidupku. Kepergiannya bukan hanya tentang jarak fisik, tapi tentang kehilangan kesempatan yang mungkin sudah lama ada, namun kami berdua tidak pernah menyadari. Dan di saat itu, aku tahu, perasaan yang aku sembunyikan selama ini—perasaan yang sudah lama tumbuh dalam diam—akhirnya meledak. Namun, apakah sudah terlambat untuk mengungkapkan semua itu?

---

Dengan bahasa santai dan alur yang berkembang secara perlahan, cerita ini dapat berlanjut hingga perasaan yang terpendam akhirnya terungkap, dan kedua karakter ini mulai menghadapi kenyataan yang mungkin akan mengubah hubungan mereka selamanya.

---

Menghadapi Kenyataan

Beberapa minggu setelah kepergian Rina, aku merasa ada yang hilang. Hari-hari terasa lebih sepi tanpa tawa dan obrolan kami yang biasa. Aku mencoba mengalihkan perhatian dengan kesibukan kuliah dan pekerjaan, tapi selalu ada kekosongan yang tak bisa diisi. Aku bahkan mulai merasa cemas, seperti ada yang hilang dari hidupku yang tak bisa kutemukan. Itu adalah Rina—teman sekaligus seseorang yang selalu ada di setiap langkahku.

Hari-hari berlalu begitu saja, hingga suatu malam aku menerima pesan dari Rina.

Rina: "Gue kangen ngobrol sama lo. Kapan-kapan teleponan?"

Hati ini berdebar-debar saat membaca pesan itu. Aku berusaha untuk tetap tenang, meskipun sebenarnya aku sangat ingin berbicara dengannya. Mungkin ini saat yang tepat untuk mengungkapkan semua yang tertahan selama ini.

Aku: "Iya, kapan-kapan kita teleponan. Gue juga kangen."

Ternyata, kepergian Rina tidak menghentikan semuanya. Meskipun jarak memisahkan kami, ternyata rasa itu masih ada, bersemayam dalam diam. Tak lama kemudian, kami sepakat untuk berbicara lewat telepon malam itu. Suasana di sekitarku terasa hening, hanya ada detak jantungku yang berdebar kencang.

"Hey, apa kabar?" Suara Rina di ujung telepon terdengar lebih lembut dari biasanya. Ada sesuatu yang berbeda, entah karena jarak atau karena kami berdua sudah mulai menyadari perasaan yang tak pernah diungkapkan.

"Aku baik-baik aja. Kabar lo?" jawabku, berusaha terdengar biasa.

"Gue… mulai terbiasa di sini. Tapi nggak bisa bohong, kangen sama lo." Suara Rina terdengar tulus, dan itu membuat dadaku terasa penuh.

Aku menelan ludah, mencoba menahan gejolak yang muncul. "Gue juga kangen, Rin. Rasanya aneh aja tanpa lo di sini."

Kami terdiam sejenak, entah siapa yang lebih sulit mengungkapkan kata-kata selanjutnya. Tetapi aku tahu, saat itu, kami berdua merasakan hal yang sama. Ketegangan yang sudah lama ada, yang hanya kami simpan dalam hati, seolah kembali muncul.

"Rina…" Aku memutuskan untuk memulai, meskipun rasanya berat. "Gue nggak tahu apa yang terjadi antara kita, tapi gue merasa… gue lebih dari sekadar sahabat buat lo."

Diam. Aku bisa mendengar napas Rina yang terdengar sedikit lebih cepat.

"Aku juga merasa gitu," jawabnya pelan, hampir berbisik. "Tapi gue nggak tahu harus gimana, karena kita sudah saling mengenal terlalu lama. Gue takut kalau kita mengubah semuanya, justru akan merusak apa yang udah ada."

Aku terdiam, meresapi kata-katanya. Rasanya aku ingin berteriak, tapi aku tahu ini bukan waktunya. "Aku juga takut, Rin. Tapi, kadang kita harus berani untuk mengubah keadaan, kan?"

"Aku takut kalau ternyata kita malah gak cocok setelah semuanya berubah…" Suara Rina terdengar bimbang.

"Kadang kita gak akan pernah tahu sampai kita coba, Rin." Suaraku mengandung keteguhan yang tiba-tiba muncul. "Gue nggak ingin kehilangan lo, apapun yang terjadi."

Ada keheningan panjang di antara kami. Aku menunggu, harap-harap cemas. Akhirnya, Rina berbicara lagi dengan suara yang lebih tenang.

"Gue juga gak ingin kehilangan lo." Kali ini, ada perasaan yang lebih dalam dalam kata-katanya.

Aku merasa ada harapan yang muncul di sana, meski aku belum bisa memastikan apakah ini akan menjadi awal dari sesuatu yang baru, atau justru akan mengubah segalanya menjadi lebih rumit.