Chereads / Cinta yang tersembunyi / Chapter 6 - Bab 6: Keputusan yang Tak Terelakkan

Chapter 6 - Bab 6: Keputusan yang Tak Terelakkan

Waktu berlalu dan Rina akhirnya kembali ke kota setelah beberapa bulan bekerja di luar. Kami tidak lagi sesering dulu, tapi kami tetap berkomunikasi, mencoba menjaga hubungan ini tetap hidup meskipun jarak memisahkan kami. Namun, pertemuan pertama kami setelah lama berpisah membawa suasana yang berbeda.

Kami bertemu di sebuah taman yang kami biasa kunjungi saat masih kecil. Rasanya seperti kembali ke masa lalu, meskipun semuanya terasa lebih berat. Rina datang dengan senyuman tipis, dan aku bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda darinya.

"Lo udah balik," kataku dengan suara pelan.

"Iya," jawab Rina sambil duduk di bangku taman, melirikku. "Gue cuma pengen bilang, ada banyak hal yang gue pikirin selama ini."

Aku duduk di sampingnya, menunggu kata-kata selanjutnya. Ada ketegangan di udara, dan aku bisa merasakan kalau ini adalah percakapan yang akan mengubah segalanya.

"Aku… nggak bisa terus-terusan hidup dalam ketidakpastian, Niko," kata Rina pelan. "Lo tahu, kan, betapa beratnya buat gue, menjalani semuanya sendirian. Semua yang kita lewatin, semua perasaan yang kita pendam, nggak bisa gue abaikan begitu aja."

Aku menatapnya dengan hati yang berdebar. "Rin, lo nggak sendiri. Gue ada di sini, gue selalu ada buat lo."

Dia menundukkan kepala, seakan berusaha mengumpulkan kekuatan untuk melanjutkan. "Aku tahu itu, Niko. Tapi... gue nggak tahu apakah kita bisa terus begini. Semua ini sudah terlalu rumit. Gue nggak mau, kita terus-terusan terjebak dalam perasaan yang nggak pernah kita ungkapkan."

Aku merasa seolah dunia berhenti sejenak. Apa yang baru saja dia katakan terasa sangat berat, tetapi aku tahu bahwa inilah kenyataan yang harus kami hadapi. Perasaan kami sudah sangat dalam, tetapi kadang-kadang, ada saatnya kita harus memilih antara cinta dan kebahagiaan diri sendiri.

"Lo mau kita berpisah?" tanyaku, suara ku bergetar meskipun aku berusaha keras untuk tetap tenang.

Rina terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya mengangkat wajahnya dan menatapku dengan mata yang penuh perjuangan. "Aku nggak tahu. Aku cuma tahu, kita butuh waktu untuk merenung. Untuk mencari tahu apa yang sebenarnya kita inginkan, tanpa terikat dengan apapun."

Aku merasakan perasaan yang campur aduk. Aku ingin dia tetap bersamaku, tetapi aku juga tahu bahwa terkadang memberi ruang adalah hal yang terbaik. "Gue paham. Kalau itu yang lo butuhkan, gue akan memberikannya. Tapi, gue harap ini bukan akhir buat kita."

Rina mengangguk pelan, kemudian memelukku erat. "Gue nggak tahu apa yang akan terjadi, Niko. Tapi gue harap, kita bisa menemukan jalan yang benar untuk keduanya."

Aku memeluknya balik, merasakan berat di hatiku. Tidak ada yang bisa dijanjikan, tidak ada yang bisa dipastikan. Tapi satu hal yang aku tahu pasti, aku tidak ingin kehilangan Rina begitu saja. Kami berdua hanya butuh waktu untuk menemukan jawabannya.

Dan saat itu, di tengah kebisuan taman, aku tahu bahwa perjalanan kami belum berakhir. Ini hanyalah awal dari babak baru yang harus kami hadapi bersama.

---

Langkah yang Tak Pasti

Minggu-minggu setelah pertemuan di taman itu terasa seperti sebuah perjalanan panjang yang penuh dengan keraguan. Rina dan aku memutuskan untuk memberi ruang satu sama lain, meskipun itu berarti kami harus menghadapi banyak perasaan yang terpendam. Kami tetap berhubungan, tetapi tidak lagi dengan intensitas yang dulu. Ada jarak yang tercipta, bukan hanya fisik, tetapi juga emosional.

Aku memfokuskan diri pada pekerjaan, mencoba mengalihkan perhatian dari perasaan yang semakin mengganggu. Setiap kali aku melihat pesan dari Rina, aku merasa sedikit cemas. Dia tidak pernah berkata banyak, hanya mengirim pesan singkat tentang kabar atau hal-hal ringan. Namun, aku bisa merasakan perubahan besar dalam cara kami berkomunikasi. Sesuatu telah berubah, dan aku tahu itu.

Suatu malam, aku duduk di balkon apartemenku, menatap langit yang dipenuhi bintang. Teringat masa-masa ketika Rina dan aku sering menghabiskan waktu bersama di tempat ini, berbicara tentang segala hal tanpa ada beban. Sekarang, semuanya terasa jauh. Aku merasa seolah kami terjebak di antara kenyataan dan apa yang seharusnya bisa terjadi.

Tiba-tiba, ponselku berbunyi. Sebuah pesan dari Rina muncul di layar. Aku membuka pesan itu dengan cepat.

"Niko, bisa kita bicara? Aku butuh ngobrol."

Pesan singkat itu membuat hatiku berdebar. Aku tahu ini bukan percakapan yang mudah. Segera, aku membalasnya.

"Tentu. Kapan?"

"Besok sore. Aku akan ke kafe yang kita biasa datangi. Kalau kamu bisa."

Aku mengangguk meskipun Rina tidak bisa melihatnya. Tentu, aku akan datang. Ini adalah momen yang kutunggu-tunggu dan sekaligus kutakutkan. Kami harus menyelesaikan semuanya, entah dengan cara apa pun.