Keesokan harinya, aku datang lebih awal ke kafe yang biasa kami kunjungi. Kafe kecil ini penuh dengan kenangan—tempat di mana kami pertama kali berbicara tentang impian, harapan, dan juga ketakutan kami. Meja yang kami pilih adalah meja di dekat jendela, di mana cahaya matahari selalu masuk dengan lembut. Aku memesan secangkir kopi dan menunggu, mencoba menenangkan diri.
Tidak lama kemudian, Rina muncul. Wajahnya tampak lebih serius dari biasanya. Dia mengenakan jaket biru yang dulu sering dia pakai, dan rambutnya tergerai sedikit acak. Dia terlihat cantik, meskipun ada sesuatu di matanya yang menunjukkan bahwa dia sedang memikirkan hal-hal besar.
"Maaf kalau aku membuat lo menunggu," katanya sambil duduk di seberangku.
"Gak masalah," jawabku, berusaha tersenyum meskipun hatiku sedikit cemas.
Rina menatapku dengan mata yang penuh arti. "Niko, kita perlu bicara tentang apa yang terjadi antara kita."
Aku mengangguk. "Aku tahu. Aku juga merasa... kita harus membicarakan semuanya."
Ada keheningan sejenak di antara kami, seakan-akan kata-kata yang kami ingin sampaikan tidak cukup untuk menggambarkan apa yang ada di hati. Namun, aku tahu, ini adalah titik balik. Keputusan yang harus diambil, apakah kami akan terus berjalan bersama atau memilih untuk berpisah.
"Aku nggak tahu kenapa, tapi aku merasa semakin jauh dari lo," kata Rina akhirnya, suaranya pelan dan penuh keraguan. "Aku merasa ada yang hilang, dan... mungkin ini semua salah gue."
Aku terdiam, mencoba memahami perasaannya. "Gue nggak pernah merasa lo salah, Rin. Gue cuma... gue cuma bingung. Kita nggak lagi seperti dulu. Ada sesuatu yang berubah, tapi gue nggak tahu apa."
Rina menggigit bibirnya, tampak berpikir keras. "Aku juga bingung, Niko. Tapi ada satu hal yang aku yakin—aku gak mau kehilangan lo. Aku gak tahu bagaimana cara kita bisa memperbaikinya, tapi aku gak mau kita berakhir seperti ini."
Aku memandangnya dengan hati yang berat. Rina selalu menjadi seseorang yang begitu berarti bagiku, dan meskipun aku tahu kami berdua berbeda, aku juga merasa bahwa ada ikatan yang lebih kuat dari sekadar persahabatan di antara kami.
"Jadi, apa yang lo mau, Rin?" tanyaku, suaraku sedikit bergetar. "Apa yang harus kita lakukan?"
Dia menatapku dengan mata yang penuh keraguan, tapi juga ada secercah harapan. "Aku nggak tahu jawabannya, Niko. Tapi aku ingin kita memberi kesempatan pada diri kita berdua. Mungkin kita bisa mulai lagi, tanpa tekanan, tanpa harus ada ekspektasi."
Aku terdiam, memikirkan kata-katanya. Memulai lagi, tanpa tekanan. Itu terdengar sederhana, tapi juga penuh dengan ketidakpastian. Namun, aku merasa bahwa ini adalah kesempatan terakhir bagi kami untuk memperbaiki semuanya, untuk tidak menyerah begitu saja.
"Kalau kita mulai lagi, aku janji, gue akan berusaha lebih baik," kataku, merasa sedikit lega setelah mengatakannya.
Rina tersenyum, meskipun senyumnya itu sedikit cemas. "Gue juga janji. Kita mulai dari awal. Tanpa takut."
Aku mengangguk pelan, merasa sedikit tenang meskipun masih ada banyak hal yang belum kami ketahui. Tapi satu hal yang aku yakin, kami tidak akan menyerah begitu saja. Kami akan menghadapi masa depan bersama, apapun yang terjadi.
Dan dengan itu, percakapan kami berlanjut. Ada banyak hal yang perlu dibicarakan, tetapi untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa ada harapan baru di antara kami.
---
Menata Ulang Perasaan
Setelah percakapan yang penuh dengan pengungkapan perasaan itu, Rina dan aku mulai merajut kembali hubungan kami yang sempat retak. Namun, hal itu tidak mudah. Walaupun kami berjanji untuk memulai kembali, bayang-bayang masa lalu masih mengintai kami, menguji seberapa kuat kami untuk bertahan bersama.
Kami memutuskan untuk tidak terburu-buru. Mungkin kami bisa meluangkan waktu untuk benar-benar memahami satu sama lain, untuk mencari tahu apakah kami bisa menapaki jalan yang lebih serius bersama. Kami masih berteman, tapi aku merasa ada ketegangan yang tak terucapkan di antara kami, seolah-olah kami sedang berusaha menyesuaikan diri dengan peran yang baru.
Hari demi hari, kami mulai lebih sering menghabiskan waktu bersama. Tak lagi ada rasa canggung, meski kadang-kadang ada saat-saat di mana kami saling menghindar, tidak tahu harus berkata apa. Tapi perlahan, kami mulai merasa nyaman lagi satu sama lain. Rasanya seperti kembali ke masa lalu, hanya saja kali ini kami tidak lagi bisa mengabaikan perasaan yang lebih dalam.
Suatu malam, ketika kami duduk di balkon apartemenku, kami kembali berbicara tentang segala hal yang belum sempat diungkapkan. Rina menatap langit malam yang dipenuhi bintang, matanya tampak jauh, seolah-olah dia sedang mencari sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.
"Niko," katanya pelan, memecah keheningan. "Lo tahu nggak, kadang gue ngerasa kita terlalu banyak menyembunyikan perasaan kita. Gue takut, kalau kita terus begini, kita nggak akan pernah tahu apa yang sebenarnya ada di hati kita."
Aku mengangguk. "Gue juga ngerasain itu, Rin. Kita udah lama banget jadi teman, sampai gue kadang lupa kalau kita punya perasaan yang lebih dari itu. Tapi... gue takut kalau kita mulai merusaknya dengan terlalu banyak berpikir tentang masa depan."
Rina tersenyum tipis. "Tapi lo nggak khawatir kalau kita terus begini, kita bakal kehilangan kesempatan untuk mencoba? Gue nggak mau nunggu sampai semuanya terlambat."
Aku menatapnya dalam-dalam. Rina, dengan segala kebingungannya, terlihat sangat tulus dalam kata-katanya. Dalam hatiku, aku merasa kebingungannya sama dengan kebingunganku. Kami memang tak bisa lagi hanya menjadi teman biasa.
"Gue juga takut, Rin," jawabku. "Tapi... gue rasa kita bisa coba, kan? Mungkin kita nggak perlu punya jawaban pasti. Kita bisa jalanin aja dulu, sambil melihat ke mana arah kita."
Rina mengangguk, dan senyumnya kembali merekah, meskipun ada sedikit kesedihan di matanya. "Gue setuju. Gue nggak mau nunggu terlalu lama juga."
Kami duduk diam, menikmati malam yang tenang. Suasana itu terasa berbeda, lebih intim dan hangat daripada sebelumnya. Tanpa kata-kata, kami berdua tahu bahwa hubungan kami kini berada di titik yang sangat penting. Mungkin kami belum siap untuk menyebutnya cinta, tapi kami tahu, ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan di antara kami.