Chereads / Cinta yang tersembunyi / Chapter 3 - Bab 3: Langkah Baru

Chapter 3 - Bab 3: Langkah Baru

Setelah percakapan malam itu, semuanya terasa berbeda. Kami mulai lebih sering berkomunikasi, baik lewat telepon maupun pesan. Meski jarak masih memisahkan, rasa itu tak bisa lagi disembunyikan. Kami mulai saling terbuka tentang perasaan yang sebelumnya terkubur dalam-dalam.

Namun, meskipun perasaan itu tumbuh, ada satu hal yang masih mengganjal. Kami berdua masih takut untuk melangkah lebih jauh. Takut merusak persahabatan yang sudah kami bangun selama ini. Namun, apakah mungkin persahabatan yang sudah begitu dekat bisa berlanjut tanpa mengubah apapun?

Suatu hari, aku menerima kejutan dari Rina. Dia pulang ke kota untuk beberapa hari. Kami sepakat untuk bertemu di sebuah kafe yang sering kami kunjungi bersama dulu.

Aku sampai lebih dulu, duduk di sudut dekat jendela. Hati ini berdebar-debar, menunggu kedatangannya. Tak lama, Rina masuk dengan senyum yang aku rindukan. Wajahnya tampak sedikit lebih cerah daripada sebelumnya.

"Gue bawa kabar buruk, dan kabar baik," katanya sambil duduk di depanku.

Aku mengernyit, penasaran. "Kabar buruk dulu deh."

"Gue bakal balik ke sana lebih lama lagi," jawabnya, wajahnya sedikit murung.

Aku menelan ludah, merasa kecewa meskipun aku sudah tahu ini akan datang. "Tapi kabar baiknya?"

Rina tersenyum sedikit. "Kabar baiknya… gue rasa, kita harus coba untuk lebih dari sekadar sahabat."

Kata-kata itu terasa seperti angin segar yang menerpa wajahku. Aku menatapnya, mencoba mencerna semuanya. "Lo yakin?"

"Gue yakin." Rina mengangguk, senyumnya kini lebih tulus dari sebelumnya. "Karena, gue nggak bisa terus-terusan pura-pura kalau perasaan ini nggak ada."

Momen itu seperti momen yang sudah kami tunggu-tunggu, meskipun kami harus melewati banyak ketakutan dan keraguan. Tapi kini, kami akhirnya mengakui apa yang sudah ada di hati kami. Cinta yang tersembunyi, yang akhirnya terungkap.

---

Menulis Awal Baru

Keputusan untuk lebih dari sekadar sahabat bukanlah hal yang mudah. Kami masih meraba-raba, mencoba memahami perasaan yang baru saja tumbuh. Namun, satu hal yang pasti: kami tak ingin lagi hidup dalam ketegangan yang terpendam. Kami ingin lebih, dan kami siap untuk menghadapinya, meski jalan yang kami pilih tak selalu mulus.

Kami memulai langkah baru, dengan hati yang penuh keraguan namun juga penuh harapan. Setiap hari, kami berusaha menulis cerita kami sendiri, cerita yang berbeda dari sebelumnya. Dan meskipun kami tak tahu bagaimana akhirnya, kami tahu satu hal: kami tak akan lagi membiarkan cinta yang tersembunyi ini menguasai kami. Kini, kami siap untuk menjalani kisah kami bersama, apapun yang terjadi.

---

Membangun Kembali

Hari-hari setelah pengakuan kami terasa seperti masa transisi. Segalanya mulai berubah, tapi tidak sepenuhnya. Kami tetap berhubungan lewat pesan dan telepon, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Mungkin karena kami sudah mulai mengakui perasaan yang sebelumnya terpendam, hubungan kami menjadi lebih mendalam. Namun, tidak semudah itu untuk berpindah dari sahabat menjadi pasangan. Ada banyak hal yang harus kami atasi, dan kami berdua tahu, kami harus saling memberi ruang.

Aku masih merasa canggung kadang-kadang. Setiap kali aku melihat Rina, ada perasaan baru yang tidak bisa dijelaskan. Cinta, rindu, dan kadang-kadang ketakutan. Takut kalau semuanya akan berjalan dengan tidak lancar, takut kalau akhirnya kami hanya merusak apa yang sudah kami miliki.

Kami memutuskan untuk bertemu lebih sering, tapi tidak buru-buru untuk memulai hubungan dengan cara yang langsung mengubah segalanya. Kami ingin menikmati proses ini, pelan-pelan. Berteman lebih dekat, berbicara lebih banyak, dan menghabiskan waktu bersama. Kami tetap melakukan hal-hal kecil yang dulu kami lakukan sebagai sahabat: jalan-jalan ke taman, ngobrol di kafe favorit kami, dan menonton film bersama.

Namun, ketegangan itu selalu ada. Seolah kami menunggu satu sama lain untuk mengungkapkan perasaan, tapi tidak ada yang berani untuk mengambil langkah pertama. Seperti ada ketakutan di antara kami berdua.

Suatu sore, ketika kami sedang duduk di bangku taman, Rina tiba-tiba berbicara dengan suara yang lebih serius.

"Aku takut," katanya, menatap ke arah langit yang mulai mendung.

"Takut apa?" Aku bertanya, menoleh padanya.

"Aku takut kalau kita ini cuma mengulang kesalahan," jawabnya pelan. "Takut kalau hubungan kita ini nggak akan berjalan seperti yang kita harapkan, dan akhirnya kita akan kehilangan persahabatan kita. Gue nggak mau itu terjadi."

Aku menghela napas, menyadari bahwa kekhawatiran yang sama juga ada dalam diriku. "Gue juga takut, Rin. Tapi kita nggak akan tahu kalau kita nggak coba. Kita cuma perlu jujur sama perasaan kita, kan?"

Rina terdiam sejenak, lalu akhirnya mengangguk perlahan. "Lo benar. Kita harus berani, kan?"

Aku tersenyum. "Kita coba aja, pelan-pelan. Gue nggak akan mundur dari lo, Rin."

Rina menatapku, lalu tersenyum kecil. Ada kedamaian yang mulai muncul di wajahnya. "Gue juga nggak akan mundur."

Malam itu, kami kembali pulang dengan perasaan yang lebih ringan, meskipun masih ada ketegangan yang menunggu untuk dihadapi. Tapi aku tahu satu hal: kami sudah memulai langkah yang benar. Meskipun penuh keraguan, kami berdua sudah saling memberi kesempatan untuk lebih dari sekadar sahabat.