Tiga bulan berlalu sejak hari di pantai itu, dan hubungan kami mulai berkembang dengan cara yang kami tak pernah bayangkan. Walaupun masih ada ketegangan yang terkadang muncul, kami sudah semakin nyaman untuk saling berbagi. Rina mulai lebih terbuka, dan aku pun mulai merasa bahwa inilah hubungan yang benar-benar aku inginkan.
Namun, kehidupan selalu penuh dengan ujian, dan kami harus menghadapinya. Suatu malam, aku mendapat kabar bahwa Rina harus pindah ke luar kota untuk pekerjaan yang ditawari oleh perusahaannya. Itu adalah kesempatan besar baginya, tapi bagi kami, itu adalah cobaan.
"Aku nggak tahu harus gimana, aku nggak siap ninggalin lo," kata Rina dengan suara penuh keputusasaan.
Aku bisa merasakan betapa berat keputusan ini baginya. "Rin, ini kesempatan besar untuk lo, kan? Gue nggak akan ngelarang lo. Kalau itu yang terbaik buat lo, gue dukung. Tapi… gue cuma takut kita kehilangan apa yang sudah kita bangun."
Rina memandangku dengan mata yang penuh dengan air mata. "Gue nggak mau kehilangan lo, gue… gue nggak mau kalau hubungan kita nggak bisa jalan karena jarak."
Aku menatapnya, hati terasa sesak. "Lo nggak akan kehilangan gue, Rin. Kita bisa cari cara buat tetap bertahan. Gue janji."
Kami berpelukan dalam diam, seolah ingin mengabadikan momen itu. Aku tahu, ujian ini bukanlah akhir. Ini hanya sebuah awal dari perjalanan baru yang harus kami hadapi bersama. Tidak peduli sejauh mana jarak memisahkan kami, aku yakin bahwa cinta kami akan terus tumbuh, meskipun tidak mudah.
Malam itu, saat kami berdua terdiam, aku tahu satu hal: hubungan ini belum berakhir. Itu baru dimulai.
---
Jarak yang Memisahkan
Hari-hari setelah Rina menerima tawaran pekerjaan itu berjalan dengan cepat. Meski rasanya sulit, aku tahu ini adalah langkah yang harus diambilnya, dan aku berusaha untuk mendukungnya sepenuh hati. Rina mulai sibuk dengan pekerjaannya yang baru, sementara aku tetap dengan rutinitasku yang sudah berjalan biasa. Kami jarang bertemu, hanya sesekali melalui pesan atau panggilan video di malam hari.
Setiap kali aku melihat wajahnya di layar, aku merasa ada yang hilang. Rina tidak pernah berlebihan dalam menyampaikan perasaannya, tapi aku bisa merasakan keheningan yang terasa berbeda. Ada kesunyian di antara kami yang dulu tidak pernah ada. Kami tak lagi bisa berbagi tawa di kafe atau duduk bersama di pantai, seperti yang dulu kami lakukan.
"Lo baik-baik aja di sana?" tanyaku suatu malam, saat kami berbicara melalui video call.
Rina tersenyum tipis, meski ada gurat kelelahan di matanya. "Iya kok, cuma… gue kangen. Kangen sama lo, sama semua yang ada di rumah. Rasanya aneh banget tanpa lo di sini."
Aku bisa merasakan ketulusan dalam kata-katanya. "Gue juga kangen. Rasanya kosong tanpa lo."
Kami saling diam sejenak, hanya ada suara deru angin di ujung percakapan itu. Terkadang, kata-kata memang tidak cukup untuk menyampaikan apa yang ada di hati. Aku tahu Rina sedang berjuang dengan perasaannya, sama seperti aku. Kami berdua mencoba menyesuaikan diri dengan kenyataan baru, tapi itu tidak mudah.
"Aku janji, setelah beberapa bulan ini, aku akan balik lagi," kata Rina, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
"Aku akan nungguin lo. Kita bakal bikin ini berhasil, Rin," jawabku dengan keyakinan, meskipun di dalam hatiku ada rasa takut yang menggerogoti. Takut jika jarak ini akan membuat kami berubah, takut kalau akhirnya kami akan kehilangan apa yang telah kami bangun bersama.
Setelah panggilan itu berakhir, aku duduk termenung di kamar, memikirkan semua yang telah terjadi. Rasanya seperti waktu berjalan begitu lambat, seperti segala hal yang kami alami sebelumnya tiba-tiba menjadi kenangan yang sangat berharga. Mungkin ini saatnya untuk benar-benar memahami perasaan masing-masing, meski kami tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan.