Beberapa minggu setelah percakapan itu, hubungan kami mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Kami mulai lebih terbuka, meskipun tidak semua hal bisa langsung diungkapkan. Ada banyak ketakutan yang masih tersisa, dan tidak semuanya bisa diselesaikan dalam sekejap.
Namun, satu per satu, kami mulai mengatasi hal-hal itu. Kami saling berbagi cerita tentang kehidupan masing-masing, tentang masa lalu yang pernah menyakitkan, tentang harapan dan impian kami ke depan. Meskipun kami baru mulai sebagai pasangan, kami merasa seperti sudah lama saling mengenal dengan cara yang lebih dalam.
Suatu malam, setelah kami selesai makan malam bersama, aku melihat Rina termenung di sampingku. Wajahnya tampak sedikit murung, berbeda dari biasanya.
"Ada apa?" Aku bertanya, mencoba mengingatkan dia bahwa aku ada untuknya.
Rina menghela napas. "Kadang-kadang gue merasa… gue nggak pantas sama lo. Lo bisa dapetin yang lebih baik daripada gue."
Aku terkejut mendengarnya. "Jangan ngomong gitu, Rin. Gue nggak peduli soal itu. Gue peduli sama lo. Sama siapa lo, bukan soal apa yang lo punya."
Rina menundukkan kepala, masih tampak ragu. "Tapi gue… Gue udah banyak buat kesalahan. Gue nggak bisa lepas dari masa lalu yang masih ngejar-ngejar gue."
Aku menggapai tangannya, menggenggamnya dengan lembut. "Kita semua punya masa lalu, Rin. Yang penting adalah gimana kita belajar dari itu dan maju ke depan. Gue di sini buat lo. Semua kesalahan yang lo buat, itu nggak akan mengubah perasaan gue sama lo."
Ada keheningan yang berat setelah kata-kataku. Rina menatapku, dan untuk pertama kalinya, aku melihat mata yang penuh dengan air mata yang tertahan. Aku tak bisa menahan diri dan memeluknya, merasakan bagaimana tubuhnya bergetar di pelukanku.
"Gue nggak mau kehilangan lo," katanya pelan, dengan suara yang hampir tak terdengar.
Aku meremas bahunya, mencoba memberi kekuatan padanya. "Lo nggak akan kehilangan gue, Rin. Kita masih punya banyak waktu untuk mencoba. Kita nggak perlu terburu-buru."
Setelah beberapa saat, Rina melepaskan pelukannya dan menatapku dengan tatapan yang lebih kuat. "Makasih udah ada buat gue. Gue janji, gue bakal lebih terbuka dan berhenti menahan diri."
Aku tersenyum, merasa lega. "Gue juga janji, Rin. Gue akan selalu ada buat lo."
Kami duduk di sana, berdua, di bawah langit malam yang semakin gelap. Tak ada kata-kata lagi yang perlu diucapkan. Hanya ada ketenangan dan harapan yang mulai tumbuh, perlahan. Kami tahu, perjalanan ini tidak akan selalu mudah. Tapi selama kami bersama, tidak ada yang tidak mungkin.
---
Mencari Titik Terang
Beberapa minggu berlalu sejak percakapan malam itu, dan kami berdua merasa seperti sedang berjalan di atas jembatan rapuh. Setiap langkah membawa ketegangan, tetapi juga ada semangat untuk terus berjalan. Meskipun kami sudah memutuskan untuk lebih terbuka, ada banyak hal yang masih perlu dipahami satu sama lain.
Rina dan aku sering bertemu, kadang di kafe tempat kami biasa nongkrong, kadang juga hanya jalan-jalan santai di sekitar kompleks rumah. Kami merasa nyaman dalam keheningan, tetapi juga mulai merasakan adanya sesuatu yang lebih. Setiap pertemuan membawa kami sedikit lebih dekat, meskipun masih banyak yang harus diperbaiki.
Suatu sore, kami memutuskan untuk pergi ke pantai bersama. Aku tahu Rina suka dengan udara pantai, dan aku berharap suasana itu bisa membuat kami lebih tenang. Kami duduk berdua di tepi pantai, hanya mendengarkan deburan ombak yang menenangkan. Udara sore itu terasa segar, dan matahari yang hampir terbenam memberikan cahaya hangat di sekitar kami.
"Lo sering datang ke pantai waktu kecil?" aku bertanya, mencoba membuka pembicaraan.
Rina mengangguk sambil menatap horizon. "Iya, dulu sering banget. Waktu gue lagi butuh waktu buat diri gue sendiri, gue datang ke sini. Rasanya tenang banget. Kadang-kadang, cuma dengan duduk diam aja, gue bisa melupakan segala masalah."
Aku tersenyum, mengangguk paham. Aku bisa memahami kenapa pantai adalah tempat yang menyenangkan baginya. Aku pun merasa demikian setiap kali aku datang ke tempat yang tenang seperti ini. "Lo nggak ngerasa kesepian di sini?"
"Enggak sih. Gue lebih ngerasa... gue sendiri aja," jawab Rina, sedikit mengangkat bahu. "Tapi kadang-kadang, ada saat-saat lo merasa kesepian, kan? Walaupun dikelilingi banyak orang."
Aku mendengarkan, merasa ada perasaan yang mendalam dalam kata-katanya. "Itu karena kita nggak pernah benar-benar berbicara, Rin. Kita selalu sembunyikan apa yang ada di hati kita. Kalau kita cuma diam, perasaan itu nggak bakal hilang."
Rina menoleh ke arahku, matanya bertemu dengan mataku. Ada sesuatu yang berbeda di tatapannya, sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Hening sejenak, lalu dia berbicara lagi.
"Gue tahu. Gue tahu kok, Lo selalu ada untuk gue. Gue cuma takut… takut gue nggak bisa cukup buat lo."
Aku merasa ada beban yang tiba-tiba muncul di hatiku. Aku menggenggam tangannya yang ada di sebelahku, memandangnya dengan lembut. "Rin, lo nggak perlu jadi sempurna. Gue nggak peduli tentang itu. Yang gue peduli adalah lo, dan gue nggak akan pergi."
Rina terdiam, tapi senyumnya yang kecil mengungkapkan lebih banyak daripada kata-kata. Aku merasa beban yang sempat menggelayuti hatinya sedikit mengendur. Ada kedamaian yang mulai mengalir di antara kami, meskipun rasa takut dan keraguan masih ada.
"Terima kasih, lo sudah sabar dengan gue. Gue kadang nggak tahu harus gimana," kata Rina, matanya mulai berbinar.
"Aku juga kadang bingung, Rin," jawabku. "Tapi yang penting adalah kita coba sama-sama. Semua hal nggak bisa berubah dalam semalam. Kita perlu waktu."
Rina mengangguk, dan untuk pertama kalinya, aku melihat ada sedikit ketenangan di wajahnya. Mungkin, dia mulai bisa menerima kenyataan bahwa segala sesuatunya tidak selalu harus sempurna. Aku juga belajar untuk tidak terburu-buru, untuk memberi ruang bagi perasaan yang tumbuh pelan-pelan ini.
Kami melanjutkan duduk di sana, menikmati matahari yang perlahan tenggelam. Tidak ada kata-kata lagi yang perlu diucapkan. Kami hanya merasakan kebersamaan itu. Seperti dua orang yang sudah lama terpisah, akhirnya menemukan jalan kembali satu sama lain.