Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

The Sunchaser [Bahasa Indonesia]

🇮🇩daffasuwandono011
28
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 28 chs / week.
--
NOT RATINGS
47
Views
Synopsis
Sebuah meteor besar menghalangi sinar matahari, menjadikan bumi terperangkap dalam sebuah kegelapan yang kemudian membawa makhluk luar angkasa menginvasi planet ini. Di tengah kehancuran yang terjadi, Abraham seorang ayah yang harus berjuang untuk melindungi putrinya yang sedang menderita artritis akibat defisiensi vitamin D. Selain harus bertahan hidup dari keberadaan makhluk misterius, Abraham juga harus menemukan cara untuk mengobati penyakit putrinya dalam kegelapan yang menyelimuti dunia dan penuh akan ancaman bahaya.
VIEW MORE

Chapter 1 - ACT 1 Pencarian di Tengah Kegelapan

Pada Minggu, 12 September 2140, di kota Yakaterinburg, Rusia, Abraham berjalan terburu-buru melintasi jalanan kosong. Ia memasuki gedung demi gedung, mencari persediaan makanan dan UV light yang dibutuhkan untuk pengobatan putrinya. Meskipun telah menyusuri banyak tempat, tidak ada satupun bola UV yang tampak. Langit semakin gelap, dan Abraham merasa putus asa. Kegagalan demi kegagalan menghantamnya sepanjang hari ini.

Menjelang sore, Abraham menyadari bahwa ia harus segera pulang. Tanpa perlengkapan yang mumpuni, malam hari akan semakin berbahaya. Kegelapan yang datang akan membuat dunia ini semakin menakutkan, terutama dengan ancaman monster yang selalu bersembunyi di bayang-bayang. Keputusasaannya semakin mendalam, namun ia tahu bahwa ia harus bertahan demi putrinya, Anastasia.

Saat Abraham melangkah pulang, matanya menangkap sekilas sekelompok orang yang memasuki supermarket—tempat yang ia kunjungi beberapa jam lalu. Mereka tampaknya adalah sesama survivor. Abraham memperhatikan mereka dengan seksama. Senapan-senapan api terpasang di punggung mereka. Mereka tampak terlatih, mungkin bagian dari komunitas yang lebih besar.

Ketika langkah kaki Abraham yang berat terdengar, salah satu dari mereka, seorang pria dengan bekas luka di wajahnya, mengangkat kepala. Matanya menyipit, memperhatikan sosok pria yang sedang melintas.

Sejenak, suasana di sekitar mereka terasa kaku. Hanya keheningan dari kota mati yang menambah ketegangan. Pria dengan luka itu berdiri dengan cepat, tangannya menahan seorang temannya yang tengah menikmati sebotol air dari persediaan yang baru saja mereka ambil. Matanya kini tertuju pada Abraham yang tak memperlambat langkahnya.

"Hei, kau yang di sana! Apa kau yang mencoba mengambil persediaan kami?" teriaknya, suara kerasnya memecah keheningan, menggema di sepanjang jalan sunyi itu.

Abraham berhenti sejenak, tak memperlihatkan rasa takut. Ia memutar tubuhnya perlahan dan menatap mereka dengan tatapan tajam. Wajahnya terlihat serius, tanpa ada tanda ketakutan sedikit pun. Keringat dingin mengalir perlahan di pelipisnya, tetapi ia tetap tegap, seakan menantang.

"Siapa cepat, dia dapat," jawab Abraham dengan suara tenang namun penuh tekad. Suaranya mengandung pengertian yang dalam, seolah menandakan bahwa ia siap untuk bertindak, dan tidak takut menghadapi risiko yang ada.

Para pria itu saling berpandangan sejenak, mencoba membaca situasi dengan cermat. Ada ketegangan yang semakin menebal. Mereka tahu bahwa Abraham bukanlah orang sembarangan—keberaniannya membuat mereka ragu. Namun, ketamakan mereka jauh lebih besar daripada rasa takut.

"Jangan salah paham, kawan," kata salah satu pria lainnya, yang lebih muda, dengan nada merendah. "Kami hanya ingin memastikan barang-barang itu tetap aman. Apa yang kau bawa di sana, mungkin bisa kami bantu... dengan cara yang baik."

Abraham mengangkat alis, merasakan godaan dalam kata-kata itu. Namun, ia sudah cukup paham dengan trik-trik semacam ini. Ini adalah dunia yang keras, di mana kata-kata sering kali lebih tajam daripada pedang.

"Jika kalian merasa perlu untuk mengambilnya," jawab Abraham, "maka kalian akan menemui masalah yang lebih besar daripada sekadar persediaan itu."

Suasana semakin tegang. Satu dari kelompok itu, yang tampak paling tua dan berpengalaman, mulai berjalan pelan menuju Abraham. Wajahnya tampak serius, dan gerakannya begitu hati-hati, seperti seorang pemburu yang sedang memantau mangsanya. Langkahnya berat, penuh perhitungan.

Namun, Abraham tidak bergerak. Mata mereka bertemu, dan dalam sekejap, ada percikan ketegangan yang hampir bisa dirasakan oleh udara di sekitar mereka.

"Jadi, ini keputusanmu?" tanya pria tua itu, suaranya lebih rendah, penuh perhitungan.

Abraham mengangguk pelan, tanpa ragu. "Kalian punya pilihan," jawabnya, "tetapi ingat, dunia ini tidak memberi banyak kesempatan kedua."

Suasana semakin panas, dan keheningan yang mengikutinya menyelimuti seluruh hutan sekitar. Gerombolan itu mulai menilai kembali situasi mereka, menyadari bahwa, meski mereka lebih banyak, Abraham memiliki keberanian yang sulit diukur.

Waktu seperti berhenti. Semua orang menunggu langkah selanjutnya.

Tanpa pikir panjang salah satu dari mereka mengangkat senjata kearah Abraham "Cepat berikan semua isi tas mu atau kita akan lubangi kepalamu!" dengan cepat semua orang mengarahkan senjata kepada Abraham.

"He... tenang, kawan. Aku tidak bermaksud begitu," kata Abraham dengan suara yang terdengar tulus, meskipun matanya tetap tajam. Ia melepaskan tas yang ada di punggungnya, gerakannya pelan-pelan seolah mengingatkan mereka bahwa tidak ada ancaman yang segera datang. Dalam diam, suasana sekitar terasa begitu hening, hanya suara desiran angin yang mengisi ruang antara mereka.

Abraham meletakkan tas di tanah, hati-hati, seolah memberi kesempatan untuk menyelesaikan pertemuan ini tanpa kekerasan. "Kalian bisa mengambil tas ini, tapi aku membutuhkan kacamataku," katanya, tatapan matanya tetap tenang, namun penuh makna.

Para survivor saling berpandangan, kebingungan. Dunia ini sudah terlalu keras, dan mereka tak pernah mengira bahwa ada seseorang yang akan meminta sesuatu yang terdengar begitu sepele. Apa pentingnya itu dalam dunia yang hampir kehilangan segalanya? Mereka merasa aneh, tetapi tetap saja, permintaan Abraham dipenuhi. Salah satu dari mereka, seorang pria muda dengan wajah penuh kerut karena kelelahan, mengeluarkan kacamata dari saku bajunya dan menyerahkannya dengan ragu.

"Untuk apa kau perlu kacamata?" tanya pria itu dengan nada penuh ejekan, matanya menyipit ke arah Abraham. "Apa kau pikir sekarang saatnya untuk liburan?"

Abraham hanya tertawa pelan, tertahan, seolah kata-kata itu tidak mengganggu dirinya. "Aku perlu kacamata untuk ini," jawabnya, suaranya tetap rendah, tetapi ada sesuatu yang berbeda kali ini. Matanya yang tajam berubah menjadi lebih serius, dan tiba-tiba suasana sekitar seolah berubah menjadi lebih tegang.

Tanpa memberi kesempatan untuk merespons, Abraham bergerak cepat. Dalam sekejap, ia mengeluarkan sebuah benda kecil dari saku belakang celananya. Sebelum para survivor sempat bereaksi, sebuah cahaya terang yang menyilaukan meledak di udara—sebuah flashbang! Ledakannya membutakan mata mereka dalam sekejap. Semua yang ada di sekitar Abraham terkejut dan terperangah. Mereka terhuyung mundur, mata mereka terpejam rapat karena silau yang mengganggu, tidak bisa melihat apapun di sekitarnya.

Suasana berubah menjadi kacau. Udara yang sebelumnya tenang kini terasa seperti bergetar, penuh dengan ketegangan. Mereka yang baru saja mengejek Abraham kini merasakan akibat dari kecepatan dan kecerdikan pria itu. Sebagian besar dari mereka tersandung dan jatuh, tangan mereka terulur ke arah yang tidak jelas, berusaha mencari pegangan.

Abraham berdiri tegak, kacamata yang ia ambil kini terpasang rapi di wajahnya. Ia menarik napas dalam-dalam, suara detak jantungnya menjadi satu-satunya hal yang jelas terdengar di antara keheningan pasca ledakan. "Sama seperti yang aku katakan sebelumnya," katanya perlahan, suaranya tidak terpengaruh oleh kegaduhan di sekitarnya. "Siapa cepat, dia dapat."

Abraham berlari dengan cepat sambil membawa tasnya meninggalkan area tersebut.

Tak lama setelah ledakan flashbang mereda, para survivor mulai pulih dari kebutaan sementara itu. Dengan cepat, mereka bangkit dan mengejar Abraham, yang sudah berlari menuju gedung tua yang terletak di ujung jalan. Langkahnya cepat dan terarah, meskipun ia tahu ia tidak punya banyak waktu. Abraham menyadari betul bahwa ia tidak akan bisa melawan mereka, apalagi tanpa senjata untuk membela diri.

Namun, para survivor itu semakin mendekat, seperti bayangan yang terus mengikuti. Mereka mengangkat senjata dan mulai melepaskan tembakan dengan harapan bisa mengalahkan Abraham yang sedang melarikan diri. Peluru-peluru itu terbang meleset satu per satu, hampir menyentuh tubuh Abraham, tetapi tidak ada satupun yang berhasil mengenai. Abraham berlari dengan kecepatan luar biasa, menghindari setiap tembakan dengan gerakan yang terlatih, tubuhnya seperti berlari dengan kecepatan angin.

Dalam ketegangan yang memuncak, Abraham tiba di sebuah pintu yang terbuka ke sebuah ruangan gelap. Tanpa berpikir panjang, ia melesat masuk ke dalam kegelapan, berharap bisa menghilang sejenak dari pengejarannya. Para survivor, yang mulai mendekat, tidak ragu untuk mengikuti. Mereka menerobos masuk ke dalam ruangan yang suram dan penuh debu itu.

Begitu mereka melangkah masuk, suasana menjadi aneh—sepi dan sunyi. Mereka berhenti, meraba sekitar, berusaha menyesuaikan diri dengan gelapnya ruangan. Tak ada suara selain langkah kaki mereka yang terdengar di lantai yang berderit. Abraham seakan menghilang begitu saja. Para survivor itu bingung, mencoba menemukan jejaknya, tetapi ruangannya begitu gelap hingga mereka hanya bisa berharap untuk menangkap satu gerakan sekecil apapun.

"Sepertinya dia bersembunyi di sini," kata pria bertubuh kekar, wajahnya dipenuhi bekas luka, suaranya bergetar namun berusaha terdengar yakin. "Dia tidak bisa pergi kemana-mana."

Mereka mulai menyebar, mencari ke setiap sudut ruangan yang penuh dengan bayangan. Beberapa dari mereka meraba dinding, lainnya mengarahkan senter mereka ke celah-celah gelap, mencoba menemukan jejak Abraham. Namun, semakin lama mereka mencari, semakin merasa ada yang aneh. Satu per satu, anggota kelompok itu mulai menghilang—seperti ditelan kegelapan.

Tak ada jejak, hanya hening yang semakin mencekam. Perasaan cemas mulai merayapi mereka. "Ke mana mereka pergi?" bisik salah satu dari mereka, suaranya terdengar terengah-engah. "Apa yang terjadi dengan mereka?"

Ketakutan mulai merasuki para survivor. Mereka berusaha untuk keluar dari ruangan itu, melangkah cepat menuju pintu, namun saat mereka hampir mencapai pintu keluar, tiba-tiba, sebuah tubuh terjatuh dari atas dengan keras, membuat mereka terlonjak mundur. Tubuh itu jatuh tepat di depan mereka, memantulkan suara yang mengerikan, dan sebelum mereka sempat bereaksi, Abraham muncul dari balik tubuh yang terjatuh itu.

Tak ada yang menduga bahwa Abraham bersembunyi di langit-langit ruangan. Dengan kecepatan yang luar biasa, ia turun seperti bayangan, menghantam tubuh yang baru saja terjatuh dan membuat salah seorang survivor pingsan seketika. Kejadian itu begitu cepat, begitu tak terduga, dan begitu mematikan, sehingga para survivor yang tersisa hanya bisa terdiam sejenak, terperangah oleh kecerdikan Abraham.

Segera semua orang menembaki Abraham, Abraham dengan cepat menggunakan salah satu tubuh yang dijatuhkan itu sebagai perisai untuk keluar dari rungan tersebut. Abraham mulai berlari keluar Gedung dengan cepat, tapi, Para survivor itu tetap mengejar Abraham.

Abraham berlari dengan napas terengah-engah, setiap langkahnya semakin terasa berat. Rasa sakit yang menyebar dari luka di perut kirinya semakin menyiksa, membuatnya harus mengurangi kecepatan. Peluru yang bersarang di tubuhnya membuat perutnya terasa terbakar, dan setiap napasnya terasa lebih dalam, lebih sulit.

Di belakangnya, suara langkah para survivor yang mengejar semakin jelas terdengar. Mereka semakin dekat, dan Abraham tahu bahwa waktu yang ia miliki untuk melarikan diri hampir habis. Mereka tidak akan memberinya jalan keluar—mereka tahu, ia sudah lemah.