Di markas Sergei, suasana dipenuhi aroma makanan mewah yang kontras dengan kekejaman yang menguasai tempat itu. Lampu-lampu gantung berkilauan menerangi ruangan dengan cahaya kekuningan, memantulkan kemewahan yang dingin. Di tengah ruangan, Sergei duduk di meja panjang yang penuh makanan, mengunyah dengan lahap seperti raja yang tidak terganggu oleh kekacauan yang dia ciptakan.
Pintu besar berderit terbuka. Dimitri masuk dengan langkah berat, tangannya menggenggam sebuah jeriken bensin, wajahnya tanpa ekspresi. Suara derap langkahnya bergema di ruangan yang hening.
"Semua sudah selesai, Bos," katanya, suaranya rendah namun tegas. Dia menatap Sergei, matanya penuh loyalitas dan rasa takut yang bercampur aduk.
Sergei berhenti sejenak, menatap Dimitri dengan mata dingin. "Bagus," katanya, kemudian kembali menyendok makanan ke mulutnya tanpa rasa terganggu sedikit pun. "Tidak ada yang bisa mempermainkan aku. Benar begitu, Dimitri?"
Sergei mengangkat wajahnya, menatap Dimitri dengan tatapan tajam. "Apa kau pernah berburu, Dimitri?" tanyanya sambil menyendok makanan di piringnya.
Dimitri, yang biasanya dingin dan tak tergoyahkan, menjawab dengan nada datar. "Itu sudah lama sekali."
Sergei meletakkan garpunya perlahan, suaranya terdengar seperti dengung bahaya yang mengendap di udara. "Kau tahu," katanya sambil mengelap mulut dengan kain putih, "aku sangat menyukai berburu."
Dia berdiri, langkahnya tenang namun membawa beban yang mengintimidasi. Dengan santai, dia berjalan menuju dinding tempat deretan senjata api tergantung rapi. Tangannya menyentuh salah satu senapan, seolah membelai benda yang sangat berharga.
"Apa kau pernah merasakan adrenalin dan dopamin yang mengalir deras saat berburu?" lanjutnya, suaranya semakin rendah, namun setiap kata mengandung ancaman tersembunyi. Senyumnya menyeringai bengis. "Saat kau mengejar mangsamu, melihat mereka terkapar... wajah mereka dipenuhi ketakutan, meronta-ronta dalam keputusasaan..."
Dia berhenti, membiarkan kata-katanya menggantung di udara, kemudian menoleh ke Dimitri. Matanya yang dingin memancarkan kegilaan. "Itulah momen yang paling... menggairahkan, Dimitri."
Dimitri tidak menjawab. Wajahnya tetap datar, tetapi keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Dia tidak bergerak, hanya berdiri kaku, memendam ketakutan yang tidak berani dia tunjukkan.
Sergei tertawa kecil, tawa yang kosong dan dingin. Dia kembali ke meja dengan langkah santai, seolah-olah tidak ada yang aneh dengan pernyataannya barusan. Duduk kembali di kursinya, dia melanjutkan makannya seakan-akan tidak ada percakapan yang baru saja terjadi.
Dimitri termenung, tubuhnya masih membeku. Kata-kata Sergei terus terngiang di kepalanya, meninggalkan rasa takut yang mencengkeram. Dia tahu, Sergei tidak hanya berbicara tentang berburu binatang. Kali ini, mereka adalah para pemburu manusia.
Sergei melirik sekilas. "Kenapa kau masih berdiri di sini? Pergilah."
"Baik, Bos," jawab Dimitri sambil berbalik, langkahnya cepat menuju pintu.
Di luar ruangan, saat pintu baja tertutup rapat di belakangnya, salah satu anak buah Dimitri mendekat dengan ragu. Wajahnya pucat, keringat menetes di pelipisnya. Dia mencondongkan tubuh dan berbisik, "Apa kau tidak akan bilang bahwa kita kehilangan anak kecil itu?"
Detik berikutnya, Dimitri bergerak seperti kilat. Tangannya mencengkeram leher anak buahnya, mendorongnya keras ke dinding. Suara tubuh yang menghantam tembok membuat anak buah lain yang lewat terdiam ngeri.
"Diam!" desis Dimitri, matanya menyala dengan kemarahan mematikan. "Jika kau berani menyebutkan itu lagi, aku akan mencabut kepalamu dari tubuhmu."
Anak buah itu terbatuk, tercekik, matanya melotot ketakutan. Dia hanya mengangguk panik, tak berani mengeluarkan sepatah kata pun.
Dimitri melepaskan cengkeramannya dengan kasar, membiarkan pria itu terjatuh ke lantai sambil terengah-engah. Dia menoleh ke anak buah lainnya yang berdiri ketakutan di lorong.
"Cepat temukan gadis itu!" teriaknya dengan suara penuh ancaman.
Langkahnya menggema di sepanjang lorong yang dingin dan suram. Di belakangnya, anak buahnya bergegas tanpa sepatah kata, takut akan amarah Dimitri yang bisa meledak kapan saja.
Bayang-bayang gelap membayangi koridor itu, melambangkan teror yang akan segera datang.
Di tengah hutan yang sunyi dan gelap, hanya suara desau angin yang terdengar, bercampur dengan gemerisik dedaunan yang berguguran. Cahaya matahari yang tertutupi meteor menembus celah pepohonan, menciptakan bayangan suram yang menghiasi tanah. Rick berdiri dengan gelisah, memandang Abraham yang duduk di atas tunggul pohon tua, diam membatu. Wajah Abraham tampak kosong, matanya terpaku ke tanah seolah mencari jawaban di antara dedaunan yang berserakan.
"Abraham, sampai kapan kau akan duduk di sana?" suara Rick memecah keheningan, nadanya tidak lagi sabar. Namun, suaranya masih menyiratkan rasa peduli yang dalam.
Abraham tidak menoleh, hanya diam, matanya hampa. Dia seperti patung yang terbuat dari luka dan duka, tenggelam dalam kesedihan yang tak terukur.
Rick menghela napas berat, melangkah mendekat dengan wajah tegang. "Aku tahu kau sedang berkabung," katanya, suaranya sedikit melembut. "Tapi kita tidak bisa terus diam. Kita ada di posisi berbahaya. Orang-orang Sergei tidak akan berhenti. Mereka akan terus mencari sampai memastikan kita tidak bernapas lagi."
Tidak ada jawaban. Abraham tetap membisu, matanya redup, pikirannya terperangkap pada ingatan yang menyakitkan—bayangan api yang melahap rumahnya, jeritan tak terdengar dari putrinya, Anastasia. Luka itu terlalu dalam, seperti duri yang menancap di hatinya.
Rick mengusap wajahnya dengan frustrasi. "Dengar," katanya lebih tegas, suaranya menggema di antara pepohonan, "hanya ada dua pilihan. Kau menghancurkan mereka lebih dulu... atau mereka yang akan menemukan kita." Matanya tajam, menatap Abraham yang masih diam.
Akhirnya, Rick mendekati Abraham lebih dekat, merendahkan suara sejenak. "Aku tahu kau kehilangan segalanya. Aku tahu rasa sakit itu... Tapi jika kau mati di sini, siapa yang akan membalas kematian Anastasia?"
Ucapan itu bagaikan belati yang menembus hati Abraham. Bibirnya sedikit bergetar, napasnya berat. Tapi tetap, dia tidak bergerak. Dia masih tenggelam dalam lautan rasa kehilangan yang tak terkatakan.
Rick menghela napas sekali lagi, lalu berjongkok di depan Abraham, menatap wajah sahabatnya itu. "Abraham... kau tidak sendirian. Aku ada di sini. Tapi kita harus bergerak. Demi Anastasia."
Abraham mengangkat sedikit kepalanya, matanya berkaca-kaca, namun kini ada sesuatu yang perlahan muncul di sana—bukan harapan, melainkan api kecil berupa amarah yang menyala di balik kesedihan. Rick melihat itu, dan dia tahu... Perburuan baru saja dimulai.
Abraham bangkit perlahan dari tunggul pohon, langkahnya berat namun pasti. Tanpa sepatah kata pun, dia berjalan menuju sisa-sisa rumahnya yang kini hanya menjadi tumpukan abu dan puing-puing hangus. Kepulan asap terakhir masih tercium di udara, meninggalkan aroma duka yang mengiris hati.
"Hei, kau mau ke mana?" seru Rick, wajahnya penuh kekhawatiran, mencoba mengejar langkah Abraham. Tapi pria itu tidak menoleh, tidak menghiraukan panggilan sahabatnya.
Dengan diam yang penuh tekad, Abraham terus menyusuri puing-puing, tangannya mengangkat sisa kayu dan batu bara yang sudah hitam. Rick mengikutinya, ingin tahu apa yang dicari Abraham di antara reruntuhan yang telah kehilangan maknanya. "Apa yang kau lakukan?" tanya Rick, masih bingung namun mulai menyadari ada sesuatu yang serius di benak Abraham.
Lalu, di tengah abu yang menumpuk, terlihat sebuah pintu besi yang masih kokoh. Pintu itu tertimbun oleh puing-puing berat, namun catnya yang mengelupas menunjukkan bahwa ia selamat dari amukan api.
Abraham berhenti di depan pintu tersebut, wajahnya tetap dingin tanpa ekspresi. Dia menghela napas panjang, mengulurkan tangannya dan menarik pegangan pintu itu dengan sekuat tenaga. Otot-ototnya menegang, sementara Rick berdiri terpaku, melihat bagaimana Abraham menyingkirkan sisa-sisa kayu yang menghalangi akses.
"Kita memerlukan senjata," ucap Abraham datar, suaranya rendah dan penuh tekad.
Ketika pintu besi itu terbuka, terlihat sebuah ruangan kecil, gelap, namun penuh dengan senjata yang tersimpan rapi. Senapan serbu, pistol, amunisi, granat, bahkan beberapa alat tempur yang lebih besar. Rick hanya bisa menatap dengan mulut ternganga.
"Wow..." gumam Rick kagum, matanya berbinar melihat isi ruang senjata itu. "Kau ini Terminator atau apa?"
Abraham menatap Rick dingin sejenak, lalu kembali melihat ke dalam ruangan bawah tanah itu. Ini bukan kekaguman. Ini adalah perang. "Ambil apa yang bisa kau bawa," katanya tanpa emosi. "Mereka tidak akan berhenti... dan kali ini, aku juga tidak akan."
Sementara itu, di tempat lain yang jauh, dalam ruangan gelap dengan hanya satu lampu menggantung di langit-langit, suasana terasa begitu mencekam. Cahaya lampu berayun pelan, menciptakan bayangan panjang yang menari di dinding beton yang dingin dan lembap.
Di sudut ruangan, terbaring seorang gadis kecil dengan rambut putih keperakan, tertidur di atas ranjang besi yang berkarat. Wajahnya tenang, seperti tidak menyadari kekelaman yang mengelilinginya.
Namun di belakangnya, bayangan samar-samar mulai mendekat. Langkahnya pelan, hampir tanpa suara, seperti hembusan angin yang lembut, namun penuh ancaman. Bayangan itu bergerak perlahan ke arah gadis kecil itu, menyisakan pertanyaan yang mencekam... apakah ini penyelamat atau bahaya yang mengintai dalam kegelapan?