Asap tebal mengepul di dalam rumah sakit, menyelubungi segala penjuru dengan aroma hangus yang menyesakkan. Di rooftop, Rachel memukul pintu besi yang terkunci dengan sisa-sisa tenaganya.
BAM! BAM!
"Ugh...hah...hah..." Napasnya terengah, bercampur dengan rasa perih di tenggorokan akibat asap yang semakin menyesakkan.
"Kak Rachel, aku juga mau membantu," suara Anastasia yang parau terdengar, menyiratkan keberanian meski tubuh kecilnya lemah.
"Baik, kita dorong bersama." Rachel berlutut sejenak, menarik napas pendek sebelum mengajak. "Satu...dua...tiga!"
Keduanya mendorong sekuat tenaga, namun pintu itu tak bergerak sedikit pun.
Asap mulai mengelilingi mereka, semakin menipiskan udara segar. Anastasia terbatuk-batuk keras, tubuhnya bergetar.
"Anastasia! Kau tidak apa-apa?" Rachel bertanya cemas, berlutut di sebelah gadis itu.
Anastasia menggeleng pelan, meski batuk-batuknya tak kunjung reda. Air mata mengalir di wajahnya yang kotor karena residu kebakaran.
Rachel memeluknya sejenak, menenangkan. Tapi matanya terus mengawasi sekeliling, mencari jalan keluar. "Tuhan... bantulah kami," bisiknya penuh harap.
Di Luar Rumah Sakit
Di tengah hujan salju yang mencair karena panas api, Abraham dan Rick menyusuri dinding luar rumah sakit. Gedung itu hampir runtuh, retakan-retakan besar muncul di sana-sini, memperlihatkan cahaya api yang menyala-nyala dari dalam.
"Abraham, kita tidak punya jalan masuk!" Rick berseru panik, matanya liar memindai sekeliling. "Bagaimana caranya kita menyelamatkan mereka?"
Abraham menggertakkan giginya, matanya penuh tekad. "Kita cari di belakang. Pasti ada jalan masuk."
Mereka berlari menuju sisi belakang rumah sakit. Tapi langkah mereka mendadak terhenti.
"Rick, tunggu!" Abraham mengangkat tangannya. "Kau dengar itu?"
Suara gemuruh keras terdengar, menggetarkan tanah di bawah kaki mereka.
"Oh, tidak... Itu datang lagi!" Rick melotot, ketakutan mulai menjalari wajahnya.
"Kita harus cepat menemukan Anastasia sebelum makhluk itu sampai ke sini!" Abraham mendesak, menepis rasa takut yang menghantui mereka.
Ketika mereka tiba, suara hantaman keras bergema dari atas gedung. Bang! Bang!
"Itu dari rooftop!" seru Rick, menunjuk ke atas.
Abraham mendongak, mata tajamnya menatap arah suara itu. Ia menemukan tangga darurat di sisi bangunan yang terbakar. Tanpa ragu, ia menarik Rick bersamanya, menaiki tangga satu demi satu dengan kecepatan tergesa.
Bang! Bang! Suara hantaman semakin jelas.
Ketika mereka sampai di rooftop, pemandangan pintu besi yang terkunci menyambut mereka. Asap dan api tampak mendekat dari sisi lain gedung, menyisakan waktu yang semakin sedikit.
"Anastasia! Apa itu kau?" Abraham berteriak keras, suaranya menerobos deru api yang berkobar.
Dari balik pintu, terdengar suara kecil penuh harapan. "Ayah!"
Mendengar suara itu, Abraham tahu ia tak bisa membuang waktu lagi. "Tunggu di sana, Anastasia! Ayah akan membukanya!"
Abraham dan Rick mendorong pintu itu sekuat tenaga, tapi usaha mereka sia-sia.
"Sialan!" Abraham mengumpat frustrasi.
Rick menoleh cepat, melihat ke sekeliling. Matanya menangkap kotak darurat berisi kapak. Ia segera mengambilnya dan berteriak, "Minggir, Abraham!"
Abraham menjauh, memberikan ruang. Rick mengayunkan kapak itu keras-keras ke pintu.
"Anastasia, mundur dari pintu!" Rick memperingatkan.
Dari balik pintu, Anastasia dan Rachel bergerak menjauh, tubuh mereka menggigil di tengah panasnya api.
Rick terus menghantam pintu dengan seluruh kekuatannya. Asap mulai mengepung mereka, dan panas api semakin terasa.
Dengan ayunan terakhir, pintu itu akhirnya roboh. Di baliknya, Anastasia dan Rachel tampak, wajah mereka dipenuhi kotoran dan kelelahan.
"Anastasia!" seru Abraham, berlari menghampiri putrinya.
"Ayah!" Anastasia menangis, melemparkan dirinya ke pelukan ayahnya.
Abraham memeluk putrinya erat, rasa lega membanjiri dirinya meski tubuhnya penuh luka. Anastasia menangis tersedu, mengubur wajahnya di dada Abraham.
"Ayah... Apa ayah baik-baik saja?" suaranya gemetar, tangisnya masih terdengar.
Abraham membelai kepala Anastasia dengan lembut, menahan air mata yang hampir tumpah. "Maafkan Ayah, Anastasia... Maafkan karena membuatmu khawatir."
Abraham menatap Rachel dengan sorot mata yang penuh makna, mengenali wajah yang pernah dilihatnya sebelumnya. Itu adalah pertemuan kedua mereka, namun situasinya jauh lebih genting dari sebelumnya.
"Ayah, ini Kak Rachel," suara kecil Anastasia memecah keheningan, ia menghapus air mata di pipinya dengan punggung tangan. "Dia yang menyelamatkanku dari kejaran penjahat."
Mendengar itu, Abraham menghela napas panjang, seolah menahan beban emosi yang selama ini tertahan. Perlahan, ia berdiri dan mendekati Rachel.
"Terima kasih," ucapnya lirih, tulus, sambil menggenggam kedua tangan Rachel dengan erat. Matanya yang lelah namun penuh rasa syukur berbicara lebih banyak daripada kata-kata.
Rachel tersenyum kecil, menyembunyikan kepenatan di balik raut wajahnya. Namun, sebelum momen itu bisa bertahan lama, suara gemuruh dari lantai bawah mengguncang rooftop. Api semakin melahap struktur bangunan, menciptakan retakan besar yang mengancam keberadaan mereka.
"Abraham," Rick memanggil tegas dari sisi rooftop. "Kita harus segera pergi! Gedung ini tidak akan bertahan lama!"
Abraham mengangguk cepat, kembali ke realitas. Ia meraih tangan kecil Anastasia dengan satu tangan dan tangan Rachel dengan yang lain. Bersama-sama, mereka mulai berlari menuju tangga darurat, berusaha meninggalkan bangunan yang hampir runtuh itu.
Namun, tepat ketika mereka hampir mencapai tangga, suara keras memecah suasana.
Dor!
Sebuah tembakan terdengar jelas di tengah deru api dan runtuhnya puing-puing.
Rachel terhenti sejenak, tubuhnya membeku. Rachel jatuh tersungkur ke lantai, darah merembes keluar dari luka di perutnya. Tangannya gemetar mencoba menahan luka itu, sementara napasnya tersengal-sengal. Abraham langsung berlari ke arahnya, wajahnya penuh kepanikan.
"Rachel!" teriak Abraham, lututnya menghantam lantai saat ia berusaha memeriksa kondisi Rachel.
"Heh…heh…heh…" Tawa serak terdengar dari balik pintu yang hancur. Bayangan gelap melangkah mendekat, semakin jelas memperlihatkan sosok Sergei—musuh lamanya. Tubuh Sergei penuh luka bakar dan memar akibat pertempuran sebelumnya, namun sorot matanya masih dipenuhi kebencian yang tak kunjung padam.
"Abraham… apa kau pikir bisa meninggalkanku begitu saja?" Suaranya rendah, penuh ancaman, dan dingin seperti pisau yang menusuk.
"Sergei!" Abraham berteriak, amarah bercampur dendam yang telah lama ia pendam. Tangannya mengepal kuat, tapi pikirannya terfokus pada Rachel dan Anastasia yang berada di belakangnya.
Rick, yang berada di sisi lain rooftop, bergerak cepat. Dengan reflek, ia melemparkan kapak yang ada di tangannya ke arah Sergei. Namun, Sergei dengan sigap menghindar, membuat kapak itu hanya menghantam dinding di belakangnya.
Melihat celah yang terbuka, Abraham bangkit dan berlari ke arah Sergei. Dengan segenap kekuatan yang tersisa, ia menghantam tubuh Sergei dengan tendangan keras, membuat Sergei terpental ke dinding. Senapan yang dipegang Sergei terlepas dari tangannya, meluncur jatuh ke lantai bawah.
"Sergei, ini adalah akhirnya!" Rick berteriak, menerjang maju dengan niat menghabisi Sergei di tempat. Namun, sebelum ia bisa mendekat, Sergei dengan tenang melepaskan jaket militernya.
Yang terlihat di bawahnya membuat semua orang terdiam. Sabuk penuh bom melilit tubuh Sergei, dengan pemicu yang menyala merah di tengah dada.
"Majulah kalau berani," kata Sergei dengan senyum menyeringai, tatapannya liar namun penuh kemenangan.
Abraham dan Rick terhenti di tempat, tubuh mereka membeku. Mereka tahu, satu langkah salah bisa mengakhiri segalanya. Sergei memegang kendali penuh; jika mereka mendekat untuk menyerangnya, bom itu akan meledak, menghancurkan mereka semua bersama Rachel, Anastasia, dan seluruh gedung yang hampir runtuh ini.
Abraham mengatupkan rahangnya, matanya terus menatap Sergei. Pikiran-pikirannya berputar cepat, mencari jalan keluar. Di belakangnya, Rachel terbaring dengan napas lemah, sementara Anastasia memeluk tubuh Rachel erat-erat, air matanya tak berhenti mengalir.
"Sergei, kau bahkan tak akan selamat dari ini!" Rick berkata dengan suara keras, mencoba mengulur waktu.
"Keselamatan?" Sergei tertawa keras, nadanya nyaring di antara deru api. "Aku sudah mati sejak lama, Rick. Tapi jika aku mati, aku akan memastikan kalian ikut bersamaku!"
Sergei melangkah maju dengan langkah berat, senyum bengis tergambar di wajahnya. Tangan kanannya menggenggam erat detonator, siap untuk menghancurkan segalanya. Atmosfer mencekam memenuhi rooftop, seolah waktu berhenti untuk sesaat.
"Selamat tinggal semuanya," ucap Sergei dengan nada kejam, tawanya bergema di antara api dan runtuhan. "Sampai jumpa di neraka."
Saat Sergei mengangkat tangannya, bersiap menekan tombol, Abraham melesat maju tanpa ragu. Tangannya yang kuat mencengkeram lengan Sergei, berusaha menghentikan jempolnya sebelum detonator itu diaktifkan.
Rick, tak mau ketinggalan, menyerang dari sisi lain. Dengan tendangan yang terarah, ia menghantam lutut Sergei, membuatnya kehilangan keseimbangan. Sergei tersentak, tetapi dengan insting bertahan yang terlatih, ia memutar tubuhnya dan melancarkan tendangan balik yang menghantam dada Rick, melemparkannya ke belakang.
Namun, Abraham tak membiarkan momentum itu hilang. Ia meninju kepala Sergei dengan kekuatan penuh, membuat musuh lamanya terhuyung mundur.
"Rick! Jangan serang dadanya!" Abraham berteriak memperingatkan. Bom di tubuh Sergei adalah ancaman besar, dan satu pukulan salah bisa menjadi akhir segalanya.
Mereka berdua bekerja sama, melancarkan serangan tanpa henti ke kepala dan kaki Sergei. Tendangan dan pukulan bertubi-tubi menghantam tubuh Sergei, melemahkannya perlahan. Abraham, dengan lututnya yang kuat, melayangkan tendangan terakhir ke kepala Sergei. Tubuh Sergei terpental keras, menembus dinding dan jatuh ke dalam gedung yang terbakar.
Abraham, terbakar oleh amarah, mencoba mengejar untuk memastikan Sergei mati kali ini. Namun, Rick menahannya dengan genggaman kuat di lengan.
"Abraham, kita tidak punya waktu!" seru Abraham dengan nada mendesak. "Tempat ini akan roboh, dan makhluk-makhluk itu akan segera sampai di sini!"
Abraham menatap Rick sejenak, wajahnya masih penuh amarah, tetapi akhirnya ia mengangguk. Rasionalitasnya kembali, dan ia menyadari bahwa keselamatan Rachel dan Anastasia lebih penting daripada dendam.
Abraham berlutut di dekat Rachel yang masih terluka, wajahnya pucat namun berusaha tetap tegar. "Sini," ucapnya sambil menggendong Rachel di punggungnya.
Rick mengangkat Anastasia, memeluk gadis kecil itu dengan erat. Bersama-sama, mereka mulai menuruni tangga darurat disisi gedung secepat mungkin.
Gedung itu mulai berguncang hebat. Puing-puing jatuh di sekitar mereka, dan panas dari api semakin menyesakkan. Di tengah hiruk pikuk itu, suara gemuruh dari jauh terdengar, semakin mendekat.
"Mereka sudah dekat!" kata Rick dengan napas tersengal.
"Terus lari!" balas Abraham, kakinya terus melangkah meski beban di punggungnya semakin berat
Setelah mencapai lantai dasar, Abraham, Rick, Rachel, dan Anastasia berlari sekuat tenaga menuju gedung di seberang jalan. Tujuan mereka jelas: bertahan dari serbuan makhluk hitam yang mendekat, bayangan kabut kelam yang tampak menelan cahaya di sekitarnya.
Di belakang mereka, segerombolan makhluk dengan gerakan aneh menyerbu rumah sakit yang sudah setengah runtuh. Mereka bergerak cepat, mengisi udara dengan suara geraman yang mengerikan, seakan kengerian itu semakin nyata.
Tiba-tiba, suara lantang menggema dari atap rumah sakit yang terbakar.
"Abrahaaam!!!"
Abraham terhenti, menoleh ke belakang. Di atap rumah sakit, Sergei berdiri, tubuhnya penuh luka, wajahnya dipenuhi amarah bercampur kegilaan.
"Jangan pernah berpikir semua ini telah selesai!" Sergei berteriak, suaranya menembus suara api dan runtuhan.
Abraham mengepalkan tangan, matanya tertuju pada Sergei yang berdiri di ujung kehancuran. Perlahan, ia mengangkat tangan kirinya, memperlihatkan detonator yang berhasil direbutnya dari Sergei beberapa saat lalu.
"Tidak," gumam Abraham, suaranya rendah namun penuh tekad. "Ini semua sudah berakhir."
Tanpa ragu, ia menekan tombol detonator itu.
Sekejap, suara ledakan dahsyat mengguncang udara. Rumah sakit itu hancur seketika, api membumbung tinggi ke langit, disertai debu dan puing-puing yang beterbangan. Ledakan itu menelan Sergei beserta semua kengerian yang ada di dalam gedung tersebut.
Abraham menatap kehancuran itu, matanya menyiratkan kelegaan yang pahit. "Mata dibalas mata," gumamnya dengan nada rendah. "Tapi aku membalas dua kali lipat, Sergei."
Beberapa hari setelah kejadian di rumah sakit, suasana di rumah sederhana milik Rick, yang terletak di tepi sungai, terasa lebih tenang. Namun, bayangan tragedi masih membayangi mereka.
Abraham membuka pintu sebuah kamar dengan hati-hati. Di dalam, Rachel terbaring di tempat tidur, perban putih melilit perutnya yang terluka. Wajahnya pucat, tapi ada secercah ketenangan di matanya.
"Aku membawakan obat dan bubur untukmu," kata Abraham lembut sambil berjalan mendekat.
Rachel mengangguk kecil, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Terima kasih."
Abraham meletakkan nampan di meja kecil di samping tempat tidur. Ia duduk di kursi kayu dekat Rachel, menatapnya sejenak sebelum berkata, "Aku sudah mengatakannya beberapa kali, tapi kurasa aku perlu mengatakannya lagi: terima kasih."
Rachel hanya tersenyum, tapi sorot matanya kosong. "Tidak apa-apa," katanya lirih, "aku melakukannya untuk diriku sendiri."
Abraham memperhatikan wajah Rachel, merasakan ada sesuatu yang ia sembunyikan di balik senyum kecilnya. Namun, ia memilih tidak memaksanya bicara. "Baiklah, aku akan bermain dengan Anastasia dulu," katanya lembut, lalu meninggalkan kamar itu.
Di halaman depan, Rick sedang bermain lempar bola bersama Anastasia. Suara tawa mereka mengisi udara, menciptakan momen yang hampir terasa normal.
"Lempar sekali lagi, Anastasia! Sekarang coba lebih kuat!" seru Rick dengan nada bercanda.
"Paman Rick curang! Bagaimana Anastasia bisa melempar lebih kuat? Tangan Anastasia kecil!" balas Anastasia dengan wajah cemberut, mencoba melempar bola kasti dengan sekuat tenaga.
Dari jauh, Abraham melihat mereka, dan senyum tipis muncul di wajahnya. Ia merasa lega melihat Anastasia tertawa dan menikmati masa kecilnya, meskipun dunia di sekitarnya hancur.
Ketika Anastasia menyadari kehadiran Abraham, ia langsung berlari ke arahnya. "Ayah!" serunya dengan penuh kegembiraan, melompat ke pelukan ayahnya. Abraham mengangkatnya tinggi-tinggi sebelum menggendongnya.
"Selamat pagi, Pak Pahlawan Perang," goda Rick dengan nada mengejek, sambil tertawa kecil.
"Jangan panggil aku begitu," balas Abraham sambil tersenyum kecil, membuat Rick tertawa lebih keras.
"Jadi, sudah sampai mana pekerjaanmu?" tanya Abraham.
"Sini, aku tunjukkan," jawab Rick dengan semangat.
Mereka berjalan menuju sebuah gudang tua yang sebelumnya menjadi tempat penyekapan Abraham. Rick dengan bangga membuka kain hitam yang menutupi sesuatu di dalamnya.
"Tadaaah!" seru Rick, menunjukkan sebuah mobil van yang sudah diperbaiki.
Abraham melangkah mendekat, terpukau dengan hasil kerja Rick. "Kau memang hebat, Rick," katanya dengan kagum, tetapi ekspresinya berubah bingung. "Tapi… kenapa catnya warna pink?"
Rick menyeringai lebar sambil melirik Anastasia, yang berdiri di sampingnya dengan senyum ceria. "Aku dan Anastasia yang mengecatnya!" katanya penuh bangga.
Abraham menggelengkan kepala sambil tersenyum, sementara Rick dan Anastasia tertawa melihat reaksinya.
"Jadi, kapan kita akan berangkat?" tanya Rick, kembali serius.
Abraham menatap ke arah horizon, memasang wajah serius. "Kita harus segera meninggalkan kota ini. Makanan dan obat-obatan sudah habis. Belum lagi suara gemuruh itu semakin sering terdengar. Kota ini tidak aman lagi."
Rick mengangguk. "Baiklah. Tapi, kau sudah memutuskan kita akan pergi ke mana?"
Abraham menatap Rick dengan mantap. "Moscow."
Suasana hening sesaat. Kata itu membawa harapan sekaligus tantangan besar. Mereka tahu perjalanan menuju Moscow tidak akan mudah. Namun, di kota itu, mereka percaya akan ada kesempatan baru untuk hidup.
Dengan Rachel yang masih memulihkan diri, mobil van pink itu kini menjadi simbol harapan mereka—keberangkatan ke masa depan yang lebih baik, meski dunia yang mereka tinggalkan telah berubah menjadi reruntuhan.