Chereads / The Sunchaser [Bahasa Indonesia] / Chapter 10 - ACT 10 Tarian Darah di Lorong Duka

Chapter 10 - ACT 10 Tarian Darah di Lorong Duka

Abraham menaiki tangga yang membawa dirinya menuju lantai tiga rumah sakit, langkahnya berat, dan setiap gerakan membuat lukanya berdarah kembali. Tubuhnya dipenuhi sayatan dan memar, tapi matanya tetap penuh tekad. Di tengah perjalanan, dia berhenti sejenak, mengeluarkan sekotak kecil obat dari dalam jaket militer yang lusuh. Ia merogoh dua pil dari dalam kotak itu, lalu menelannya tanpa air. Pil-pil itu adalah satu-satunya cara agar ia tetap fokus dan menahan rasa sakit yang menyiksa.

Setelah beberapa detik, efek obat mulai terasa. Meski luka-lukanya tetap terbuka, rasa sakitnya berangsur menghilang. Konsentrasinya kembali tajam, napasnya menjadi lebih teratur. Dengan tangan kanannya, dia memegang pistol yang masih terasa hangat dari pertempuran sebelumnya. Sesaat, Abraham berhenti untuk menghitung peluru yang tersisa. Hanya beberapa butir, cukup untuk pertarungan berikutnya, tapi tidak lebih dari itu.

Sesampainya di lantai tiga, suasana terasa begitu hening. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, hanya lorong panjang dengan dinding kusam yang memantulkan cahaya temaram dari lampu yang berkedip-kedip. Udara terasa dingin, hampir menggigit. Abraham melangkah perlahan menyusuri lorong itu, setiap langkahnya bergema seperti bisikan kematian.

Di ujung lorong, sebuah pintu besi tua berdiri kokoh. Catnya sudah mengelupas, memperlihatkan logam berkarat di beberapa bagian. Dari balik pintu, terdengar alunan musik klasik yang kencang, menyusup keluar dengan irama yang dingin dan anehnya mengintimidasi. Semakin dekat, suara musik itu semakin jelas, seperti undangan bagi Abraham untuk memasuki tempat itu.

Dia berhenti di depan pintu, tangan kanannya mengeratkan genggaman pada pistolnya. Tangan kirinya menyentuh gagang pintu yang dingin, lalu dia menarik napas dalam-dalam. Abraham tahu Sergei menunggunya di balik pintu itu. Tidak ada waktu untuk keraguan. Dengan satu dorongan, ia bersiap menghadapi akhir dari perburuan berdarah ini.

Sementara itu, di sebuah rumah kecil , Rachel tersungkur ke lantai setelah sebuah pukulan keras dari Dimitri. Wajahnya memar, darah mengalir dari sudut bibirnya. Matanya yang penuh amarah menatap Dimitri, tapi tubuhnya terlalu lemah untuk melawan.

"Dasar jalang tak berguna," gumam Dimitri dengan suara dingin, memandang Rachel yang terkapar. Anastasia, yang berdiri di sudut ruangan, menjerit ketakutan. "Kak Rachel!" Teriaknya, air matanya mengalir deras.

Dimitri berbalik, menatap Anastasia dengan mata dingin. "Kau akan ikut denganku," katanya dengan nada yang tak mengizinkan perlawanan. Dia berjalan mendekati gadis kecil itu, mencoba meraih tangannya. Namun Rachel, dengan sisa-sisa kekuatannya, menyeret tubuhnya ke arah Dimitri.

"Tidak! Jangan bawa dia!" Rachel berteriak sambil menarik kaki Dimitri, berusaha menghentikannya.

Dengan kasar, Dimitri menendang Rachel hingga tubuhnya terlempar ke dinding. Dia jatuh dengan suara keras, dan tubuhnya tidak lagi bergerak. Sebuah liontin kecil yang tergantung di leher Rachel terlepas, meluncur ke lantai. Dimitri memperhatikannya sesaat, sebelum berkata dengan nada menghina, "Kau masih saja terjebak dalam masa lalu."

Anastasia menangis histeris. "Tidak, aku tidak mau pergi! Kak Rachel!" teriaknya, suaranya menggema di ruangan itu. Tapi Dimitri tidak peduli. Dia mengangkat Anastasia dengan paksa, tubuh kecil itu berontak sia-sia di genggamannya. Dengan langkah berat, Dimitri membawa Anastasia keluar dari rumah, meninggalkan Rachel yang tak sadarkan diri di lantai dingin.

Di lain sisi

Dengan satu dorongan kuat, Abraham membuka pintu besi itu hingga menimbulkan suara keras yang menggema. Pistolnya terarah ke dalam ruangan, matanya tajam menyapu setiap sudut. Namun, yang menyambutnya hanyalah suara musik klasik yang terus mengalun dari gramofon tua di pojok ruangan. Ruang itu terlihat kosong, hanya diisi oleh meja panjang, kursi-kursi kayu antik, dan koleksi senjata berburu yang dipajang di dinding.

Abraham melangkah masuk perlahan, setiap langkahnya menggema di lantai yang terbuat dari beton dingin. Tangannya tetap kokoh menggenggam pistol, tubuhnya tegang seperti pegas yang siap melepaskan tenaga. Tapi suasana yang terlalu sunyi membuatnya waspada. Dia merasa sesuatu tidak beres, tetapi tak sempat bereaksi.

Tiba-tiba, dari sisi kanan, sebuah tangan kuat menyambar pistolnya. Gerakan itu cepat, hampir tak terlihat. Dalam sekejap, senjata di tangan Abraham sudah terlucuti. Sebuah tendangan keras menghantam tubuhnya, membuatnya terlempar ke belakang dan jatuh dengan keras ke lantai.

Abraham merasa kesakitan, namun matanya segera menangkap sosok yang berdiri di hadapannya. Sergei, dengan tubuh yang tegas dan wajah penuh seringai, berdiri tegap. Tatapan matanya dingin, penuh kemenangan. "Kau sudah tua, Abraham," ucap Sergei dengan suara rendah namun tajam. "Instingmu tidak setajam dulu lagi."

Abraham bangkit perlahan, langkahnya mundur untuk menciptakan jarak. Dia tidak menjawab, hanya menatap Sergei dengan dingin, napasnya berat tapi stabil. Sergei berjalan mendekat, seperti pemburu yang tahu bahwa mangsanya tidak memiliki jalan keluar.

"Apa kau takut padaku, Abraham?" Sergei menyeringai lebar, suaranya dipenuhi ejekan.

Abraham tersenyum kecil, sarkastik. "Takut? Apa menurutmu aku takut pada seorang mantan komandan divisi kedua yang sudah tua?"

Sergei menghentikan langkahnya, ekspresi wajahnya berubah sedikit gelap, namun seringainya tetap bertahan. "Kau masih pandai bicara, ya? Kata-katamu tetap tajam seperti dulu." Dia mengangkat tangannya, perlahan mengambil kuda-kuda. "Tapi aku akan memastikan mulutmu itu tidak akan berbicara lagi."

Abraham menyeka sudut bibirnya, lalu mengangkat kedua tangannya ke posisi bertahan. "Try me," jawabnya pendek, suaranya penuh tantangan. Matanya fokus menatap Sergei, membaca setiap gerakan kecil yang mungkin datang.

Ruangan itu kini dipenuhi ketegangan yang hampir terasa di udara. Sergei melangkah maju, tangannya terkepal kuat, bersiap memulai pertarungan brutal dengan tangan kosong. Sementara itu, Abraham berdiri tegap, napasnya teratur, seluruh tubuhnya bersiap seperti harimau yang menunggu waktu untuk menerkam.

Serangan dimulai dengan Sergei yang melaju cepat, melontarkan pukulan jab kanan ke arah wajah Abraham. Namun, Abraham bergerak gesit, menghindar ke kiri dengan langkah cepat. Tidak mau kehilangan momentum, dia membalas dengan pukulan lurus ke ulu hati Sergei. Tapi Sergei sudah siap; tangan kirinya terangkat, menahan pukulan itu dengan sempurna.

Sergei segera melangkah mundur, menciptakan jarak di antara mereka. Napasnya teratur, tatapannya tetap tajam. Tapi Abraham tidak memberi kesempatan. Dengan langkah sigap, Abraham maju, melontarkan hook kiri keras yang mendarat telak di pelipis Sergei. Dampaknya membuat kepala Sergei terlempar ke samping, pandangannya sejenak kabur.

Melihat celah itu, Abraham meraih kepala Sergei dengan kedua tangannya. Dengan gerakan brutal, dia menghantamkan kepala Sergei ke lutut kanannya. Dentuman keras terdengar, dan tubuh Sergei terlempar ke belakang, jatuh tersungkur di lantai. Darah mengalir dari sudut bibir Sergei, tapi matanya tetap penuh dengan determinasi.

Abraham tidak membuang waktu. Dia maju, bersiap menghabisi Sergei dengan pukulan terakhir. Namun, Sergei, meskipun terluka, masih memiliki refleks yang tajam. Dengan gerakan mendadak, dia melayangkan tendangan ke kaki Abraham, membuat Abraham kehilangan keseimbangan dan jatuh ke lantai.

Sergei segera bangkit, tubuhnya bergerak cepat meski berat. Kakinya menendang kepala Abraham dengan keras, membuat Abraham tersungkur ke samping. Tapi Abraham tidak mudah menyerah. Dia berguling ke samping, menjauh untuk memulihkan posisi. Dalam waktu singkat, keduanya kembali berdiri, saling menatap dengan intens.

"Kali ini aku akan serius, Abraham," kata Sergei dengan nada rendah, suaranya penuh tekad. Ia mulai mengayunkan tangan dan kakinya dengan pola yang tidak biasa, gerakan ritmis yang tampak seperti tarian namun penuh bahaya. Gerakan itu berubah menjadi alur mematikan—capoeira, seni bela diri yang pernah dia pelajari selama Perang Dunia Ketiga.

Abraham memperhatikan dengan cermat, membaca setiap gerakan Sergei. Dia tahu capoeira bukan sekadar bela diri biasa; kecepatan, kekuatan, dan irama menjadi satu dalam seni ini.

Dengan langkah pelan, Abraham kembali mengambil posisi kuda-kuda. Matanya tajam, fokus sepenuhnya pada Sergei. Tubuhnya menegang, siap untuk menghadapi setiap serangan yang datang.

Sergei meluncur maju dengan ritme capoeira yang mengalir seperti tarian, tubuhnya bergerak dengan keseimbangan sempurna dan irama yang menghanyutkan. Dengan gerakan cepat, ia melontarkan tendangan kanan ke arah perut Abraham. Tapi Abraham, yang telah membaca gerakannya, segera bersiap untuk menangkis. Namun, tepat sebelum tendangan itu mengenai, Sergei menarik kakinya kembali dengan cekatan, menggunakan momentum untuk memutar tubuhnya.

Dentuman keras! Kepala Abraham terkena tendangan memutar dari arah kiri. Dampaknya membuat tubuh Abraham sedikit goyah, namun dia masih mampu bertahan. Tidak memberi waktu bagi Abraham untuk memulihkan diri, Sergei melanjutkan dengan serangan lain—tendangan lurus yang mengarah ke ulu hati.

Abraham bereaksi cepat, melangkah ke samping untuk menghindar. Tapi gerakan Sergei terlalu gesit. Dalam satu putaran, kakinya meluncur dari arah kiri, menghantam tubuh Abraham dengan keras dan melemparkannya ke lantai. Tubuh Abraham terhuyung, terdorong oleh serangan yang begitu cepat dan sulit ditebak.

Dengan napas terengah, Abraham segera bangkit. Ia memasang kuda-kuda bertahan, matanya memperhatikan setiap gerakan Sergei dengan seksama. Namun, ia menyadari bahwa pola serangan Sergei begitu sulit dipahami. Setiap langkah, setiap tendangan, bahkan putaran tubuh Sergei tampak seperti bagian dari sebuah tarian yang mematikan.

Serangan itu datang bertubi-tubi, berganti arah dengan begitu cepat sehingga hampir tidak ada celah untuk bertahan. Keringat mulai mengalir di dahi Abraham. Dia menggenggam kedua tangannya erat, mencoba menenangkan napasnya.

"Ini tidak akan mudah," gumam Abraham dengan suara rendah, penuh ketegangan. Matanya tetap fokus pada Sergei yang terus bergerak, siap untuk melancarkan serangan berikutnya

Sergei kembali meluncur ke arah Abraham dengan kecepatan luar biasa, gerakan capoeiranya seperti tarian yang mematikan. Tendangannya begitu cepat dan tepat, membuat Abraham tidak sempat bertahan ataupun menghindar. Serangan bertubi-tubi diluncurkan, Setiap serangan yang datang membuat tubuh Abraham terhantam tanpa bisa membalas.

"Ada apa Abraham, apa pahlawan perang hanya sekuat ini?" teriak Sergei dengan senyum bengis di wajahnya, melihat Abraham terdiam tak berdaya.

Namun, tiba-tiba, serangan berikutnya terhenti. Sergei merasa kakinya terhenti di udara—Abraham telah menangkap kakinya dengan kekuatan luar biasa.

"Sekarang aku mendapatkanmu," kata Abraham, tersenyum lebar. Sergei terkejut, tak menyangka bisa tertangkap begitu saja. Dengan kekuatan yang luar biasa, Abraham menarik tubuh Sergei dan melemparkannya ke belakang. Sergei menabrak tembok di belakang Abraham, terjatuh dengan kesakitan.

Abraham tidak memberi kesempatan untuk Sergei pulih. Tanpa ampun, ia kembali melemparkan Sergei ke arah gramofon tua di pojok ruangan, membuat Sergei terkapar dengan rasa sakit yang lebih dalam.

Melihat pistolnya yang tergeletak di lantai, Abraham segera bergegas untuk mengambilnya, berharap untuk mengakhiri pertarungan ini. Namun, saat ia hampir mencapai pistolnya, Sergei yang sudah pulih berdiri dengan cepat dan berlari menuju pajangan senjata berburu di dinding.

Dengan gerakan cepat, Sergei menembakkan senjata berburu tersebut ke arah Abraham. Abraham, yang sudah berhasil mengambil pistolnya, segera berlindung di balik meja makan panjang. Tembakan bertubi-tubi menghujani meja itu.

"Mati kau, Abraham!" teriak Sergei dengan penuh kebencian, menembakkan peluru demi peluru.

Namun Abraham tidak panik. Dengan cerdik, ia menembak tepat melalui celah di bawah meja, menghantam kaki Sergei dan membuatnya terjatuh.

Segera setelah itu, Abraham bangkit dan melompati meja, menembaki Sergei yang mulai berusaha bangkit. Dengan cepat, ia mengunci pergerakan Sergei dan melemparkan senjata berburu Sergei ke samping, memastikan lawannya tak bisa lagi melawan.

Pistol Abraham mengarah tepat ke kepala Sergei, "Ini adalah akhirnya, Sergei. Tebuslah kematian putriku," gumam Abraham dengan suara rendah, langsung mendekat ke telinga Sergei.

Namun, tepat saat kemenangan di depan mata, terdengar suara keras dari pintu masuk.

"Jangan bergerak!" teriak Dimitri, yang muncul dengan Anastasia di tangannya. Dimitri menodongkan pistol ke arah Abraham, membuat Abraham terkejut melihat putrinya masih hidup.

"Anastasia!" teriak Abraham dengan penuh emosi, sementara Anastasia menatapnya dengan mata penuh air mata.

"Ayah…"