Ruang makan itu terasa pengap. Bau anyir darah bercampur dengan dinginnya udara malam yang merembes masuk dari jendela pecah. Cahaya lampu neon yang berkedip-kedip menciptakan bayangan tak menentu di dinding ruangan. Pistol di tangan Abraham terarah lurus ke kepala Sergei, yang tersenyum bengis seolah situasi genting ini adalah permainan baginya. Anastasia, di sudut ruangan, terguncang ketakutan dengan mata berair.
"Turunkan pistolmu, atau putrimu mati!" seru Dimitri, suara beratnya menggema di antara suara langkah-langkah tergesa dari luar. Pistol di tangannya mengarah ke kepala Anastasia.
Abraham membeku, pikirannya bergulat dengan pilihan tak manusiawi. Jika ia menurunkan senjatanya, apakah Dimitri akan membiarkan mereka hidup? Jika tidak, nyawa Anastasia akan berakhir di depan matanya. Peluh dingin membasahi pelipisnya.
Tawa serak Sergei memecah keheningan. "Keek... keek... keek... Apa yang kau tunggu, Abraham?" ejeknya. "Tuhan berpihak padaku malam ini, seperti biasanya." Ia menatap langsung ke mata Abraham, mengaduk-aduk amarah yang mencoba Abraham kendalikan.
Jari telunjuk Abraham menekan pelatuk sedikit demi sedikit. Tapi Dimitri bergerak, senjatanya siap ditembakkan. "Ini peringatan terakhir, Abraham! Turunkan senjatamu, sekarang juga!"
Hati Abraham terasa seperti dihantam ribuan jarum. Setelah tarik napas panjang, ia perlahan menurunkan pistolnya. "Baik," katanya pelan, suaranya bergetar. "Tapi lepaskan putriku dulu."
Sergei tertawa keras, bengis. "Lihat dirimu sekarang! Pria tangguh yang kini tak lebih dari seorang pecundang." Ia melangkah maju, matanya menyala penuh kebencian. "Kau tahu, Abraham, membiarkanku pergi artinya kematianmu hanya masalah waktu."
Namun, tawa Sergei terhenti saat ia melihat Abraham menyeringai tipis, tatapannya mengarah pada jam tangan di pergelangan kirinya. "Itu tidak akan terjadi," gumam Abraham dingin. "Justru kalian yang akan mati di sini."
Seketika, suara ledakan dahsyat mengguncang gedung. Rumah sakit berguncang hebat, lantainya berderak seperti akan ambruk. Asap dan api mulai menjalar dari lantai bawah. Dimitri kehilangan keseimbangan, senjatanya jatuh dan meluncur ke lantai. Anastasia berteriak panik.
Di basement beberapa jam sebelumnya, Rick menatap Abraham dengan bingung dan marah. "Kau sudah gila!" bentaknya. "Membakar seluruh rumah sakit? Kau bisa mati di dalam!"
Abraham tetap tenang, memeriksa peralatan yang akan ia bawa. "Jika dalam satu jam aku tidak keluar, lakukan saja," katanya tanpa ragu.
"Tapi—"
"Rick!" Abraham menatapnya dengan dingin, memotong protes itu. "Ketika lampu-lampu menyala kembali, bakar lantai satu. Semua penjaga akan fokus padaku. Tidak akan ada yang berjaga di bawah. Kau hanya perlu memastikan api menjalar cepat."
Rick menghela napas panjang, tahu bahwa ia tidak punya pilihan. Dengan berat hati, ia mengangguk.
Di Luar Rumah Sakit
Rick berlari ke luar, terengah-engah. Di belakangnya, rumah sakit sudah menjadi neraka api. Ia menatap ke arah gedung yang runtuh perlahan, berbisik, "Semoga kau berhasil, Abraham."
Kembali ke Ruang Makan
Ledakan itu membuat Sergei dan Dimitri limbung. Memanfaatkan momen itu, Abraham bergerak cepat. Dengan satu tembakan, ia mengenai bahu Dimitri, membuat pria itu berteriak kesakitan dan jatuh.
"Lari, Anastasia!" seru Abraham.
Tanpa menunggu aba-aba lagi, Anastasia berlari menuju lorong di belakangnya. Namun, Sergei, yang menyadari situasi, tidak tinggal diam. Ia menghantam kepala Abraham dengan belakang kepalanya, membuat pria itu terhuyung mundur.
Dimitri, meski terluka, berhasil meraih pistolnya kembali. Api semakin menjalar, asap tebal mulai memenuhi ruangan, mempersulit penglihatan.
"Kejar anak itu!" teriak Sergei dengan suara geram, tangannya menekan luka di sisi tubuhnya.
"Tapi, bos..." Dimitri ragu, matanya melirik Sergei yang tampak lemah.
"Jangan pedulikan aku, bunuh anak itu!" teriak Sergei dengan marah, mendorong Dimitri untuk segera beraksi.
Dimitri langsung mengejar Anastasia, meninggalkan Sergei dan Abraham di ruangan yang terbakar. Sergei berbalik menatap Abraham dengan tatapan tajam, senyum bengis tersungging di wajahnya.
"Sepertinya ini akhirnya kita, Abraham," katanya dengan nada dingin. "Mari kita selesaikan ini."
Abraham, meski terhuyung akibat luka dan hantaman sebelumnya, menatap Sergei dengan penuh amarah. Ia tahu, ini adalah kesempatan terakhir untuk mengakhiri semuanya.
Dilain sisi,
Di lorong yang penuh reruntuhan, Anastasia terus berlari menuruni tangga darurat. Tangannya menggenggam erat pegangan besi, mencoba menghindari api yang berkobar di sekelilingnya. Suara hentakan kaki Dimitri semakin mendekat, membuat napasnya semakin berat karena ketakutan.
Saat hampir mencapai ujung tangga, sebuah langkah yang salah membuat anak tangga di bawahnya runtuh. Anastasia terjatuh dan bergelantung pada sebatang besi tua yang menonjol keluar dari dinding. Wajahnya penuh keringat dan ketakutan, sementara besi yang menopangnya mulai berderit, tanda tak akan bertahan lama.
Dimitri muncul di atas tangga yang runtuh, tersenyum puas melihat Anastasia dalam keadaan terpojok. "Mati kau, bajingan kecil," katanya, sambil mengarahkan pistol ke arah gadis itu.
Namun sebelum Dimitri sempat menarik pelatuk, sebuah kursi besar melayang dari belakang dan menghantam kepalanya dengan keras. Tembakan meleset, pelurunya hanya menciptakan percikan kecil di dinding beton. Dimitri jatuh tersungkur ke lantai, darah mengalir dari bagian belakang kepalanya.
Anastasia menoleh ke arah penyelamatnya. "Kak Rachel!" serunya penuh haru saat melihat wajah akrab itu.
Rachel, terengah-engah, mengulurkan tangan. "Cepat, pegang tanganku!" katanya. Dengan susah payah, ia menarik Anastasia naik, memastikan gadis itu aman.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Rachel sambil memeluk Anastasia yang mulai menangis lega.
Sementara itu, di ruang makan, suara tembakan terus menggema. Sergei berlindung di balik reruntuhan, menembak ke arah Abraham yang bersembunyi di balik potongan atap yang runtuh. "Keluar, Abraham!" teriaknya.
"Pergilah ke neraka, Sergei!" balas Abraham, membalas tembakan. Namun saat ia memeriksa pistolnya, ia sadar hanya ada satu peluru tersisa.
Sergei tertawa sinis dari balik persembunyiannya. "Kau pikir kau bisa membunuhku dengan itu?" katanya sambil menembak tanpa henti, menghancurkan perlindungan Abraham.
Tembakan berhenti. Sergei mendekat perlahan, memastikan bahwa Abraham sudah tak berdaya. Namun saat ia hampir mencapai reruntuhan, matanya menangkap sesuatu di lantai—sebuah benda kecil berkilauan. Sebelum ia sempat menyadarinya, cahaya menyilaukan muncul.
"Flashbang?!" Sergei berteriak, matanya buta seketika.
Abraham muncul dari balik reruntuhan, menahan rasa sakit akibat luka di tubuhnya. Namun Sergei, meski tak bisa melihat, tetap menembakkan senapannya secara membabi buta. Salah satu peluru mengenai perut kiri Abraham. Meski kesakitan, Abraham tak menyerah. Dengan kekuatan terakhirnya, ia menerjang Sergei, melucuti senapannya, dan memukul pria itu tanpa ampun.
Saat Sergei akhirnya tergeletak, tubuhnya tak bergerak lagi, Abraham berdiri dengan napas tersengal.
"Haaah…" Abraham melepaskan nafas lega melihat sergei terkapar tergeletak
"Sekarang bagaimana aku harus keluar dari ini semua" Ia melihat ke sekeliling, api menjalar semakin cepat. Matanya tertuju pada jendela besar di belakangnya.
Abraham berjalan tertatih menuju jendela. Di luar, hanya ada tumpukan salju tebal yang menunggu. Saat ia hampir melompat, suara teriakan di belakangnya membuatnya menoleh.
"Mati kau, Abraham!"
Sergei, dengan tubuh penuh luka, bangkit untuk terakhir kalinya. Ia menodongkan senapannya kepada Abraham, Peluru dilepaskan, mengenai bahu kiri Abraham. Namun saat ia mencoba menembak lagi, senapannya macet.
"Cyka blyat!" Sergei mengumpat, tergesa-gesa mengisi ulang amunisinya.
Abraham, tanpa membuang waktu, melompat keluar jendela. Sergei menembakkan peluru-peluru terakhirnya, tapi semuanya meleset. Abraham jatuh ke tumpukan salju, tubuhnya terluka parah dengan beberapa tulang patah, tapi ia selamat.
Rick, yang berada di luar, melihat tubuh Abraham jatuh dari lantai tiga. Dengan cepat, ia berlari ke arahnya, menggali salju yang menutupi sahabatnya.
"Abraham!" seru Rick, membopong tubuhnya yang penuh luka. "Kau terlihat buruk."
Rick membopong Abraham keluar dari tumpukan salju, "Anastasia..." suara Abraham hampir tak terdengar
Rick menatapnya dengan kaget. "Putrimu masih hidup?"
Abraham melepaskan bopongan temannya itu "Aku harus kembali... dia ada di dalam."
Rick menggelengkan kepala, mencoba menghentikannya. "Kau sudah tidak bisa bergerak. Aku yang akan melakukannya."
"Tidak…, Aku akan pergi juga" Abraham bersiap kembali masuk ke dalam rumah sakit yang kini hampir runtuh sepenuhnya, Berharap menemukan Anastasia sebelum semuanya terlambat.