Chereads / The Sunchaser [Bahasa Indonesia] / Chapter 8 - ACT 8 SERANGAN TERAKHIR

Chapter 8 - ACT 8 SERANGAN TERAKHIR

Di dalam basement yang lembap, bau besi tua dan bubuk mesiu memenuhi udara. Abraham dan Rick sibuk memilah senjata di antara tumpukan persenjataan yang mengesankan. Senapan otomatis, pistol, granat, semuanya tersusun rapi seperti koleksi seorang veteran perang yang berpengalaman.

"Ruangan ini penuh senjata," Rick bersuara sambil tersenyum sinis, mencoba meringankan suasana. "Kau dulu penjual senapan atau kartel narkoba, Abraham?" katanya sambil mengangkat sebuah pistol dan memeriksanya.

Abraham tetap fokus, wajahnya tanpa ekspresi. "Semua ini pemberian," jawabnya dingin, seakan tidak ingin membahas lebih jauh.

"Pemberian?" Rick mengernyit penasaran. "Siapa yang memberimu semua ini? Orang macam apa yang memberikan koleksi senjata sebanyak ini?"

Abraham tidak langsung menjawab. Dia berjalan menuju sebuah laci di sudut ruangan, membuka laci tersebut dan mengeluarkan sebuah dogtag berlapis logam. Dogtag itu berkilauan suram di bawah cahaya lampu neon yang berkedip. Abraham meletakkannya di meja, menggesernya ke arah Rick.

Rick memandang dogtag itu dengan heran. "Jadi... kau dulunya seorang perwira?" tanyanya, suaranya bergetar dengan rasa hormat yang baru ditemukan.

Abraham menggeleng, ekspresinya tetap dingin. "Aku bukan perwira," katanya sambil mengeluarkan sebuah foto lama. Di foto itu terlihat sekelompok tentara berseragam lusuh, berdiri di depan kendaraan lapis baja. Wajah-wajah mereka tampak lelah, namun ada kilauan semangat di mata mereka. "Mereka adalah orang-orang yang aku sayangi," kata Abraham, suaranya lebih lembut sekarang. "Bukan hanya teman kerja atau pion dalam perang, mereka adalah keluarga."

Rick memperhatikan foto itu dengan seksama, lalu matanya membulat. "Bukankah itu Sergei?" tanyanya sambil menunjuk salah satu pria di foto. "Sergei Romanovsky?"

Abraham mengangguk pelan. "Ya. Komandan Divisi ke-2 dalam Perang Dunia Ketiga." Ia berhenti sejenak, mengambil napas dalam. "Tapi jangan salah paham. Dia bukan teman. Sergei adalah seorang psikopat yang kebetulan berada di pihak yang sama dalam perang. Dia tidak pernah pantas menjadi tentara."

Rick menelan ludah, merasa cemas. "Jadi, sekarang kita berhadapan dengan mantan komandan perang?"

Abraham memasukkan beberapa senjata ke dalam tas besar dan menatap Rick dengan tajam. "Tenang saja," katanya dengan percaya diri. "Dia tidak akan bisa mengalahkanku."

Rick mengerutkan kening, masih ragu. "Kenapa kau begitu yakin? Kau punya rencana?"

Abraham tersenyum samar, senyum dingin namun penuh keyakinan. "Itu adalah spesialisasiku," katanya, menepuk tas berisi senjata dengan tenang.

Di Tempat Lain

Di sebuah rumah kecil yang reot, lantai kayunya berderit setiap kali angin berhembus. Suara teriakan kecil memecah keheningan.

"Tidak mau!" seru suara kecil Anastasia, matanya berkaca-kaca. Di depannya, seorang wanita berambut putih menatap lembut sambil menghela napas.

"Anastasia, jika kau tidak makan, kau akan sakit," bujuk wanita itu.

Anastasia menggeleng keras. "Tidak mau! Aku hanya mau makan kalau bersama Ayah."

Wanita itu meletakkan semangkuk sup di atas meja kayu tua. "Baiklah," katanya lembut, "tapi jika Ayahmu tahu kau tidak makan, dia pasti akan marah."

Mata Anastasia melebar, sedikit ketakutan. "Ayah akan marah?" gumamnya lirih.

Wanita tersenyum tipis, mengusap rambut putih Anastasia. "Aku akan pergi sebentar untuk mengambil alpukat di gudang," katanya sambil berdiri.

"Alpukat?" Mata Anastasia berbinar, senyumnya muncul kembali. "Anastasia suka alpukat!"

 Wanita itu tertawa kecil. "Aku tahu. Tunggu di sini, ya. Aku akan kembali."

Wanita berambut putih itu berjalan keluar rumah dengan langkah hati-hati, pandangannya terus waspada ke kiri dan kanan. Dia memastikan tidak ada yang mengikutinya sebelum melangkah ke arah yang berbeda.

Di bawah sinar redup matahari yang terhalang meteor, Wanita itu mendekati bangunan tua yang dulunya adalah rumah sakit tempat Sergei dan pasukannya bermarkas. "Semoga alpukatnya tidak membusuk," gumamnya pelan, mencoba menenangkan dirinya sendiri.

Terlihat Wanita itu adalah Rachel Dia bukan hanya seorang penyelamat bagi Anastasia—Tapi orang yang sama yang telah menyelamatkan Abraham saat nyawanya hampir direnggut oleh pasukan Dimitri.

Rachel melangkah memasuki rumah sakit tua yang kini menjadi markas Sergei. Bangunan itu dipenuhi bau lembap dan obat-obatan yang sudah kedaluwarsa. Suara langkah sepatunya bergema di lorong yang panjang dan gelap. Para pasukan Sergei menatapnya dengan pandangan bengis, seperti singa liar yang mengawasi mangsanya. Namun, Rachel tetap menjaga ekspresi tenang, meskipun hatinya berdebar kencang.

Dia berjalan tanpa ragu menuju gudang makanan di ujung koridor. Udara di sekitarnya terasa dingin, seolah dinding beton rumah sakit ini menyimpan sisa-sisa dingin kematian. Saat tiba di depan pintu gudang, Rachel mencoba memutar kenop pintu, berharap pintunya tidak terkunci.

Namun, langkahnya terhenti ketika suara berat dan tegas terdengar dari belakangnya.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

Rachel membeku. Ia berbalik perlahan dan melihat Dimitri berdiri di sana. Pria itu besar dan berotot, wajahnya keras seperti ukiran batu, tatapannya menusuk seperti pedang. Matanya yang tajam memandang Rachel dengan penuh kecurigaan.

"Aku hanya ingin mengambil alpukat untuk seorang pasien yang sakit," jawab Rachel dengan suara yang berusaha tenang, meski jelas ada ketegangan dalam nadanya.

Dimitri melangkah lebih dekat, suaranya rendah namun mengintimidasi. "Untuk apa alpukat itu digunakan bagi orang sakit?" tanyanya sambil memandangi Rachel dari kepala hingga kaki, seakan mencari tanda-tanda kebohongan.

Rachel menghela napas, berusaha terlihat tak terganggu meski jantungnya berdegup kencang. "Apa aku perlu memberimu kuliah tentang nutrisi?" katanya dengan nada kesal yang disengaja. "Aku tidak punya banyak waktu untuk menjelaskan. Jika kau ingin tahu, cari tahu sendiri."

Dimitri menyipitkan mata, mengamati Rachel lebih seksama. Pandangannya tertuju pada noda hitam samar di lengan bajunya—abu yang tersisa dari reruntuhan rumah Abraham. Rachel menyadarinya, tetapi tetap menjaga wajahnya agar tetap netral.

Setelah beberapa detik yang terasa seperti seabad, Dimitri akhirnya mundur selangkah. "Baiklah," katanya dingin. "Ambil saja. Lakukan sesukamu."

Tanpa menunggu jawaban, Dimitri berbalik dan berjalan menuju lorong lain, langkahnya berat namun penuh percaya diri.

Rachel tetap diam sejenak, menunggu hingga suara langkah Dimitri menghilang di kejauhan. Baru setelah itu dia menghela napas panjang dan dengan cepat membuka pintu gudang makanan. Aroma buah-buahan yang mulai layu menyambutnya. Dia segera mencari alpukat yang dijanjikannya untuk Anastasia, berharap misi ini tidak berakhir menjadi bencana.

Di antara rak-rak yang penuh dengan bahan makanan yang tersisa, Rachel menemukan beberapa alpukat yang masih segar. Dia mengambilnya dengan hati-hati, menatap sejenak ke arah pintu untuk memastikan tidak ada yang kembali.

Setelah mengisi kantongnya dengan alpukat, Rachel keluar dari gudang dengan langkah hati-hati, mempersiapkan diri untuk kembali kepada Anastasia yang sedang menunggunya di rumah kecil. Tapi di dalam hatinya, Rachel tahu... waktu semakin menipis. Pertemuan dengan Dimitri barusan mungkin hanya awal dari bahaya yang lebih besar.

Di dalam basement yang remang-remang, cahaya lampu redup bergoyang pelan, memantulkan bayangan di dinding beton yang dingin. Suara gemerincing senjata memenuhi ruangan saat Abraham menyiapkan amunisi, sementara Rick memperhatikan dengan tatapan penuh skeptis.

"Jadi, kau benar-benar yakin ini akan berhasil?" tanya Rick, suaranya penuh keraguan. Dia bersandar di dinding, lengan terlipat di dadanya, menatap Abraham dengan pandangan tidak percaya.

Abraham berhenti sejenak, menatap Rick dengan ekspresi tenang. "Sergei tidak akan pernah menduganya," jawabnya sambil melanjutkan memuat senapan ke dalam tas besar.

Rick menghela napas panjang, menggelengkan kepala. "Kau benar-benar gila," katanya, nadanya setengah kagum, setengah khawatir.

Abraham tersenyum tipis, matanya menyala dengan kilatan tajam. "Kegilaan," katanya sambil memandang Rick, "hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar."

Rick tertawa kecil, tapi ada nada cemas dalam tawa itu. "Kalau ini gagal, kita mati."

Abraham menyeringai, penuh percaya diri. "Kita tidak punya pilihan lain. Untuk menang melawan Sergei dan pasukannya, kau harus melakukan hal yang tidak terduga."

Rick terdiam sejenak, menatap sahabatnya. Dia tahu Abraham terluka, baik fisik maupun mental, tapi ada api yang membara di dalam dirinya—api balas dendam. Akhirnya, Rick mendesah dan mengangkat bahu. "Baiklah. Kalau kau akan melompat ke jurang kegilaan ini, aku akan ikut."

Abraham menepuk bahu Rick dengan penuh arti. "Kau akan lihat. Ini bukan sekadar kegilaan, ini adalah seni."

Di ruangan bawah tanah yang pengap itu, taktik berbahaya mereka mulai terbentuk, penuh risiko, penuh harapan tipis—dan penuh tekad untuk membalas dendam yang telah lama tertunda.

Abraham mengangkat tas berat berisi senjata dan amunisi di bahunya, langkahnya mantap saat menuju pintu keluar basement yang gelap dan sempit. Rick mengikutinya dari belakang, meski wajahnya masih menyiratkan keraguan, tapi dia tetap setia berada di sisi sahabatnya.

Saat mencapai pintu, Abraham berhenti sejenak, menghela napas dalam-dalam. Matanya menatap jauh ke depan, namun yang terlihat adalah bayangan masa lalu—kehancuran rumahnya, suara jeritan putrinya, dan amukan api yang tak bisa ia padamkan. Tapi kini, amarah telah menggantikan kesedihan itu.

"Kita akan hancurkan mereka malam ini," ucap Abraham, suaranya rendah namun penuh tekad, bergetar dengan semangat balas dendam yang membara.

Rick menatap punggung Abraham dengan campuran kekaguman dan ketakutan. Dia tahu malam ini bukan sekadar pertempuran biasa. Ini adalah perburuan terakhir—dan mereka akan menjadi pemburu atau mangsa.

Tanpa kata tambahan, mereka melangkah keluar, meninggalkan kegelapan basement, menuju malam yang dipenuhi bahaya, dendam, dan darah. Angin dingin malam menyapa mereka, tapi itu bukan halangan. Malam ini, semuanya akan berubah.