Chereads / The Sunchaser [Bahasa Indonesia] / Chapter 9 - ACT 9 Perburuan di Malam Yakaterinburg

Chapter 9 - ACT 9 Perburuan di Malam Yakaterinburg

Salju turun dengan lembut di kota Yakaterinburg, menyelimuti malam dengan keheningan yang dingin. Di rumah sakit tua yang kini menjadi markas Sergei, para penjaga berjaga dengan senjata lengkap. Mata mereka tajam, mencari tanda-tanda bahaya dalam kegelapan. Setiap sudut gedung itu penuh dengan ketegangan, seakan malam itu menunggu ledakan yang tak terhindarkan.

Di ruang makan mewahnya, Sergei duduk dengan santai. Dinding di sekelilingnya dipenuhi senjata berburu antik yang dipajang rapi, seperti trofi kemenangan. Dia menikmati hidangan mewah sambil mendengarkan alunan musik klasik Rusia yang mengalun lembut dari gramofon tua. Tak ada tanda-tanda kekhawatiran di wajahnya. Bagi Sergei, malam ini hanyalah malam biasa.

Namun, di balik kegelapan malam, bayangan seseorang bergerak diam-diam. Abraham, dengan pakaian militer lusuh dan wajah penuh tekad, mendekati rumah sakit. Dia bukan lagi tentara biasa; dia adalah seorang pemburu dalam misi balas dendam. Sementara itu, di sisi lain gedung, Dimitri memperhatikan Rachel yang menyelinap keluar melalui pintu belakang. Dengan langkah hati-hati, dia mengikutinya, matanya penuh kecurigaan.

Di depan rumah sakit, dua penjaga berdiri dengan senapan siap di tangan. Abraham bergerak cepat namun penuh kehati-hatian, menghindari pandangan mereka. Dia menyusup ke sisi gedung, hingga tiba di gardu listrik yang mengontrol seluruh aliran listrik rumah sakit. Dengan ketenangan seorang ahli, dia membuka kotak listrik, mengamati kabel-kabel yang berkelindan.

"Perburuan malam ini dimulai," gumam Abraham dengan suara rendah, lalu memotong kabel utama.

Lampu di seluruh gedung padam seketika. Suara bingung dan teriakan para penjaga memenuhi udara.

"Apa yang terjadi dengan listrik?" teriak salah satu penjaga.

"Dengar, periksa gardu listrik! Cepat!" Sergei mengaum dari dalam ruang makannya, suaranya menggema di sepanjang koridor. Dua penjaga segera berlari menuju gardu listrik.

Abraham memanfaatkan kekacauan itu. Dengan cepat, dia memanjat pipa di sisi gedung dan masuk melalui jendela lantai dua. Saat kegelapan menyelimuti ruangan, dia mengaktifkan night vision dan mulai bergerak seperti bayangan, mengeliminasi setiap penjaga yang dijumpainya dengan tembakan presisi. Suara senapan teredam menggema pelan, membawa maut bagi siapa saja yang berada di jalannya.

Namun, tak lama kemudian, generator darurat diaktifkan. Lampu kembali menyala, menyingkap kegelapan. Abraham menggeram, tahu bahwa waktunya terbatas. Dia bergegas menuju tangga untuk mencapai Sergei, tetapi tembakan tiba-tiba menghantam dinding di dekatnya, hanya beberapa inci dari kepalanya.

"PENYUSUP!" suara keras menggema di lorong bawah.

Abraham mundur, berlari ke lorong di lantai dua. Derap kaki pasukan R.E.D Guild terdengar mendekat, sepatu berat mereka bergema di lantai beton. Dia bersembunyi di balik dinding, hanya tembok tipis yang memisahkannya dari para pengejar.

Suasana menjadi hening mencekam. Tiba-tiba, Abraham melepaskan tembakan ke arah dinding, melukai beberapa musuh di sisi lain. Para penjaga terpaksa mundur dan menembaki dinding dengan hujan peluru. Ketika tembakan berhenti, mereka bergerak mendekat.

Srrrt—cling! Sebuah granat asap meluncur melalui lubang di dinding. Dalam hitungan detik, asap tebal memenuhi ruangan, membuat para penjaga kehilangan pandangan.

Dari balik kabut, Abraham muncul. Dengan keunggulan night vision, dia menembak dengan akurat. Satu per satu pasukan R.E.D Guild tumbang di lantai, tewas tanpa sempat melihat dari mana peluru datang.

Di lantai atas, Sergei masih menari dalam kesenangan, segelas anggur di tangan, tidak menyadari pertumpahan darah yang terjadi di bawahnya.

Abraham menghabisi pasukan R.E.D Guild di lantai dua dengan keahlian dan ketegasan yang mengerikan. Setiap gerakannya adalah perpaduan presisi dan kekejaman. Dia menembak tanpa meleset, menggunakan senapan untuk jarak jauh, pistol untuk serangan cepat, dan pisau untuk pertempuran jarak dekat. Dalam keheningan yang mencekam, bahkan kabel runcing yang dibawanya berubah menjadi senjata mematikan.

Darah menodai lantai dan dinding, aroma besi pekat memenuhi udara. Di tengah tumpukan mayat yang bergelimpangan, Abraham berdiri dengan napas berat, tubuhnya penuh percikan darah musuh. Tangannya mengepal kuat, memegang pisau yang meneteskan darah segar. Wajahnya penuh kemarahan, namun sorot matanya menunjukkan tekad yang tak tergoyahkan.

"Tunggu aku, Sergei," desis Abraham dengan nada rendah dan penuh dendam. Suaranya dingin, seakan menjadi janji kematian yang tak terelakkan.

Sementara itu,

Rachel telah kembali ke rumah kecil tempat Anastasia menunggu. Dia masuk dengan senyuman lembut, membawa alpukat yang disimpan di kantong.

"Anastasia, aku membawakan alpukat untukmu," katanya sambil mengeluarkan buah hijau itu.

"Wah, alpukat!" seru Anastasia dengan senyum ceria, segera meraihnya dan mulai makan.

Rachel menghela napas lega, namun tetap waspada. "Maaf agak lama. Tadi ada sedikit masalah di jalan."

Anastasia tersenyum polos. "Tidak apa-apa. Aku ditemani oleh teman Kakak Rachel."

Rachel mengerutkan kening. "Teman?"

"Halo, teman," suara berat dan dingin menyela dari balik pintu.

Dimitri muncul, berjalan dengan tenang, senapan di tangan. Wajahnya yang berbekas luka terlihat kejam dalam cahaya redup.

"Kau membuatku menunggu terlalu lama, Teman," katanya dengan seringai dingin.