Namun, suara gemuruh yang tiba-tiba terdengar membuat seluruh situasi berubah dalam sekejap. Seperti suara badai yang mendekat, gemuruh itu membawa ketakutan yang begitu nyata. Abraham merasakan detak jantungnya yang semakin cepat. Itu adalah suara yang sudah sering ia dengar—suara monster yang sedang bergerak.
Abraham segera menyelinap ke belakang pilar besar di samping gedung, berusaha bersembunyi secepat mungkin. Ia menahan napas, berusaha menjaga ketenangan di tengah ketegangan yang meningkat.
Di kejauhan, para survivor itu mulai panik. Mereka berlarian, mencari tempat berlindung. Namun, sebelum mereka sempat bersembunyi, sosok monster yang besar dan gelap muncul dari balik bayang-bayang, menyambar salah satu dari mereka dengan kecepatan yang mengerikan.
Terjadi pertempuran singkat. Para survivor yang tersisa mulai menembak dengan panik, berusaha melawan makhluk itu. Namun, mereka tak berdaya. Monster itu terlalu cepat dan terlalu kuat. Satu per satu, mereka dihancurkan, diterkam dan dibuang begitu saja seperti mainan rusak. Terlihat teriakan-teriakan kesakitan sebelum semuanya menjadi sunyi.
Setelah semua korban tewas, monster itu tidak langsung pergi. Ia mengumpulkan jasad-jasad mereka, memindahkannya dengan cara yang aneh, meninggalkan supermarket yang kini dipenuhi dengan darah dan kekosongan.
Abraham, yang hanya bisa menyaksikan dari tempat persembunyiannya, berusaha tetap tenang. Hatinya berdebar kencang, namun ia tahu bahwa bergerak terlalu cepat atau ceroboh akan berarti kematian.
Abraham merasa bersyukur akan kedatangan monster itu membuatnya bisa hidup untuk melihat putrinya. "Bagaimana bisa semua ini terjadi?" pikirnya, merasa dunia yang pernah ia kenal kini seperti cerita fiksi belaka—sebuah kisah fantasi yang mengerikan. Alien, monster, serta kegelapan yang menyelimuti dunia… ini bukan dunia yang pernah ia bayangkan.
Beberapa detik kemudian, suara gemuruh yang menakutkan itu menghilang. Abraham menarik napas panjang dan perlahan keluar dari tempat persembunyiannya. Ia mendekati jasad para survivor yang telah terbunuh, dan dengan cepat mengumpulkan persediaan yang bisa ia ambil—senapan, amunisi, serta beberapa barang penting lainnya. Setelah memastikan bahwa tidak ada bahaya yang langsung mengancam, ia bergegas pergi dari tempat itu, langkahnya cepat dan penuh kehati-hatian.
Setibanya di rumah persembunyiannya yang terletak jauh dari pusat kota, Abraham mengetuk pintu dengan kode morse yang telah ia pelajari: duk duk duk duk duk. Pintu rumah terbuka, dan di sana, berdiri Anastasia, putri kecilnya yang dengan penuh kegembiraan menyambut kedatangannya.
"Selamat datang, Ayah! Kenapa wajah Ayah seperti kesakitan? Apa Ayah terluka?" tanya Anastasia dengan khawatir, matanya yang besar penuh dengan rasa cemas.
Abraham tersenyum lelah dan menggelengkan kepala. "Enggak kok, Ayah cuma kecapean sedikit," jawabnya sambil melepaskan tas bawaannya, menyembunyikan kelelahan yang menyelimuti tubuhnya.
Dia menunduk dan melihat Anastasia, "Anastasia, maafkan Ayah. Hari ini Ayah belum bisa menemukan UV light untukmu. Tapi besok Ayah pasti akan coba lagi."
Anastasia tersenyum cerah, meski ada sedikit kerutan di dahinya. "Ayah tidak apa-apa, kan? Kita masih punya persediaan UV light cukup untuk seminggu ke depan, yang penting Ayah selamat," jawabnya dengan penuh kasih, berusaha menenangkan Ayahnya.
Abraham merasa sedikit lega mendengar kata-kata putrinya. "Terima kasih, Anastasia... Ayah bawa sesuatu untukmu," katanya, mencoba melupakan kepenatan hari itu.
Dengan hati-hati, Abraham mengeluarkan sebuah boneka beruang kecil dari tasnya dan menyerahkannya kepada Anastasia. "Jeng-jeng! Hadiah dari Ayah untuk anak baik seperti kamu," katanya, berusaha menampilkan senyuman meskipun lelah.
Anastasia membuka matanya lebar-lebar, lalu dengan gembira mengambil boneka itu. "Wah, terima kasih, Ayah! Bonekanya sangat cantik. Dari mana Ayah mendapatkannya?" tanyanya penuh rasa penasaran.
"Pas Ayah mencari UV light di apotek, Ayah melihat toko boneka di dekat sana. Teringat kalau kamu suka banget boneka beruang, jadi Ayah bawakan ini untuk kamu," jawab Abraham, sambil sedikit mengangkat bahunya.
Anastasia memeluk boneka itu erat, senyumannya semakin lebar. "Terima kasih, Ayah! Boneka ini pasti mahal sekali kalau dunia masih baik-baik saja," katanya sambil tertawa kecil.
"Ayo, Anastasia, malam ini ayah masak spesial, daging panggang dan alpukat sebagai pencuci mulut," kata Abraham dengan senyum lebar, sambil menatap putrinya yang memegang boneka beruang pemberiannya.
Anastasia langsung mendongak dengan mata berbinar. "Yay! Terima kasih, Ayah! Anastasia suka sekali alpukat!" jawabnya penuh semangat, lalu dengan ceria memeluk boneka beruang itu seakan ingin membagikan kebahagiaannya.
Abraham tertawa kecil melihat ekspresi penuh keceriaan itu. "Haha, Ayah tahu, kamu memang suka banget alpukat. Sampai-sampai wajahmu sekarang mirip seperti alpukat, lho!" ujarnya sambil menggoda dengan tawa hangat.
Anastasia, yang mendengar perkataan itu, langsung menoleh dengan ekspresi terkejut, kedua pipinya merona merah. "Hah, apa iya, Ayah? Kalau begitu, nanti kalau Anastasia jadi alpukat, aku nggak mau dimakan!" katanya dengan suara cemas yang lucu, seolah takut benar-benar berubah menjadi buah alpukat.
Abraham tertawa lebih keras mendengar kekhawatiran lucu putrinya. Ia duduk di samping Anastasia, menatapnya penuh kasih, lalu dengan nada penuh keyakinan ia berkata, "Tenang saja, Kalau ada orang yang berani memakanmu, Ayah akan pukul mereka!" Tertawa kecil mengiringi kata-katanya, namun senyum di wajahnya tak pernah hilang, seolah ingin meyakinkan putrinya bahwa segala kekhawatiran itu tak perlu ada.
Anastasia, yang mendengar kata-kata penuh percaya diri dari Ayahnya, perlahan-lahan melupakan rasa khawatirnya. Wajahnya yang semula cemas berubah menjadi ceria kembali, seolah semua ketakutannya menguap begitu saja. "Ya, Ayah yang paling kuat!" katanya, menggoyang-goyangkan boneka beruangnya dengan riang.
Abraham tersenyum lembut sambil menatap putrinya yang duduk di meja makan. "Ayah, masak dulu sebentar ya. Anastasia tunggu sebentar ya," kata Abraham dengan suara yang tenang sambil berdiri dan berjalan menuju pemanggang untuk menyiapkan makanan mereka.
"Tidak mau, ayah! Anastasia mau bantu ayah masak supaya kita cepat makan alpukat!" jawab Anastasia dengan nada ceria, matanya berbinar penuh semangat.
Abraham terkekeh, melihat wajah penuh semangat putrinya. "Iya, kalau gitu hati-hati dengan pisaunya ya," jawab Abraham sambil memberinya perhatian ekstra.
Mereka pun mulai memasak bersama, menikmati kebersamaan yang sederhana namun penuh makna. Suasana hangat di dapur terasa penuh dengan tawa dan keceriaan. Setelah selesai menyiapkan makan malam mereka, Abraham duduk di sebelah Anastasia yang sedang menikmati makanannya dengan penuh kepuasan.
"Ayah, masakanmu enak sekali!" puji Anastasia dengan suara riang.
Abraham tersenyum bangga, menanggapi pujian putrinya. "Terima kasih, tuan putri," jawabnya sambil mengusap kepala Anastasia dengan penuh kasih.
Setelah makan malam selesai, mereka membereskan meja bersama. Abraham berdiri dan mendekati Anastasia yang sedang sibuk menata mainannya. "Anastasia, sekarang waktunya minum obat," kata Abraham dengan suara lembut.
Anastasia mengernyitkan dahi, berpikir sejenak. "Mmm... boleh Anastasia main dulu sebentar sama Mr. Bear, ayah?" tanya Anastasia dengan suara manja, matanya memancarkan keinginan.
"Mr. Bear?" jawab Abraham, sedikit terkejut, namun wajahnya tetap ramah.
"Iya, itu nama boneka yang ayah kasih padaku," jawab Anastasia sambil memegang boneka beruang kecilnya dengan bangga.
"Jadi namanya Mr. Bear, ya? Halo Mr. Bear, salam kenal ya," kata Abraham, menyapa boneka itu dengan senyum hangat.
Anastasia menirukan gerakan tangan boneka beruangnya, seolah-olah Mr. Bear ikut menyapa. "Halo, ayah! Salam kenal, aku Mr. Bear, teman Anastasia. Senang bertemu denganmu!" kata Anastasia dengan suara kecil, menggerakkan tangan boneka seolah berbicara.
Abraham tertawa kecil, menyaksikan kebahagiaan putrinya. "Baiklah, Anastasia, tapi jangan lama-lama bermainnya ya, nanti malam-malam kelelahan," kata Abraham dengan lembut, menegaskan agar putrinya tetap istirahat.
"Yay! Terima kasih, ayah! Mr. Bear juga mengucapkan terima kasih ke ayah!" jawab Anastasia dengan girang, matanya berbinar.
Beberapa menit kemudian, setelah selesai bermain, Abraham mendekati Anastasia dengan membawa obat artritis. Wajahnya serius, meskipun ada kelembutan dalam tatapannya. "Ayo, Anastasia, sekarang waktunya minum obat," kata Abraham, dengan nada lembut namun tegas.
Anastasia menghela napas, menatap obat itu dengan ragu. "Hmm... baiklah, ayah," jawabnya pelan, matanya sedikit menunduk.
Abraham dengan sabar memberikan obat itu kepada Anastasia. Anastasia memandangnya sejenak, kemudian dengan tekad, ia meminum obat tersebut meskipun terlihat jelas ekspresi tidak nyaman di wajahnya. "Yeeek, pahit sekali obatnya," keluh Anastasia sambil meringis, namun ia berusaha menahan air mata yang hampir keluar.
Abraham tersenyum penuh kasih dan mengelus kepala Anastasia. "Bagus, kamu sudah berani. Ayah bangga padamu, Anastasia," kata Abraham dengan tulus, mencium kening putrinya yang masih terlihat sedikit cemberut.
Anastasia tersenyum kecil, merasa sedikit lega meskipun obat itu masih terasa pahit. "Terima kasih, ayah," katanya, menatap Abraham dengan mata yang penuh kasih.
"Ayo, Anastasia, sekarang saatnya tidur," kata Abraham dengan lembut, menyentuh kepala putrinya yang terbaring di tempat tidur.
"Baik, ayah," jawab Anastasia dengan suara pelan, namun ada satu hal yang mengganjal di pikirannya. Dengan mata yang sedikit terpejam, ia menatap ayahnya. "Ayah, bisakah ayah membacakan cerita tidur? Ibu biasanya yang membacakan cerita tidur... jadi aku tidak bisa tidur kalau tidak dibacakan cerita, kalau mau tidur, ayah…" Anastasia melanjutkan dengan suara lembut, penuh harap.
Abraham terdiam sejenak. Kata-kata putrinya itu membawa ingatannya kembali pada masa-masa ketika istrinya masih ada. Wajahnya terlihat lembut namun ada kesedihan yang samar tergambar di matanya. Dalam keheningan itu, ia berusaha menahan gejolak perasaan yang tiba-tiba muncul.
"Iya, ayah bacakan cerita," kata Abraham akhirnya, suaranya lebih tenang. "Anastasia mau cerita apa?"
"Anastasia mau cerita ksatria dan putri!" jawab Anastasia dengan penuh semangat, wajahnya yang sebelumnya lelah kini cerah kembali.
Abraham tersenyum dan duduk di samping ranjang putrinya. Dengan suara yang pelan, ia mulai menceritakan kisah yang sudah sering didengar oleh Anastasia, namun selalu saja menarik untuk didengar ulang.
"Oke, siap. Jadi pada suatu hari, terdapat seorang ksatria hebat yang melindungi tuan putri dari monster yang jahat..." kata Abraham, suaranya semakin lembut dan menenangkan. Anastasia menatap ayahnya dengan penuh perhatian, matanya setengah terpejam, menikmati kisah yang sedang diceritakan.
Abraham melanjutkan cerita dengan perlahan, menenankan anaknya yang perlahan-lahan mulai tertidur. Begitu ceritanya selesai, Abraham berhenti sejenak, memastikan putrinya sudah tertidur dengan tenang. Ia duduk diam, memandang Anastasia yang sudah tenggelam dalam mimpi.
Setelah beberapa menit, Abraham bangkit dengan hati-hati, berusaha tidak membangunkan putrinya. Ia keluar dari kamar dengan langkah pelan, menutup pintu kamar secara perlahan.
Di luar kamar, udara malam terasa dingin. Abraham menghela napas, mencoba mengumpulkan dirinya sebelum melanjutkan tugas berikutnya. Langkahnya menuju ke meja, di mana kotak obat terletak. Ia membuka kotak itu dengan gerakan hati-hati, kemudian mengambil obat yang diperlukan untuk merawat luka tembak di perutnya.
Sambil merawat luka yang masih terasa sakit, pikirannya melayang kembali pada kejadian tragis yang menimpa istrinya. Gambaran itu begitu jelas, seakan-akan kejadian itu baru terjadi kemarin. Wajah istrinya yang tersenyum, tubuhnya yang jatuh tertembak—semuanya kembali mengisi ruang dalam pikiran Abraham. Namun, meskipun kenangan itu menyakitkan, Abraham menahan diri untuk tidak tenggelam dalam kesedihan yang bisa membuatnya terpuruk. Ia tahu, saat ini bukan waktunya untuk meratapi yang telah pergi. Ada yang lebih penting yang harus ia pikirkan.
Abraham menyelesaikan perawatan lukanya, menutup kotak obat dengan hati-hati, dan kemudian beralih ke peta yang ada di meja. Dengan tekad yang bulat, ia mulai merencanakan langkah selanjutnya. Peta yang terbuka di depannya menunjukkan rute yang harus ditempuh untuk mencari UV Light dan persediaan obat-obatan untuk Anastasia.
Besok adalah hari yang krusial. Abraham tahu bahwa mereka harus terus bertahan, dan untuk itu, ia harus berjuang. Ia menatap peta dengan serius, menyusun rencana perjalanan yang akan menuntunnya melewati segala rintangan demi keselamatan putrinya.
Di balik setiap langkah yang ia ambil, ada cinta yang mendalam untuk Anastasia, dan ada tekad yang kuat untuk tetap bertahan hidup, apapun yang terjadi
Keesokan harinya, Abraham bangkit lebih awal, dengan tekad yang sama untuk mencari persediaan yang sangat dibutuhkan putrinya. Sinar matahari redup yang tertutupi oleh meteor mulai menembus celah-celah bangunan runtuh di kota Yakaterinburg, namun keheningan yang menyelimuti kota itu tak sedikit pun mengurangi kegelisahan yang terasa di dalam dada Abraham.
Dengan peta supermarket yang sudah ia tandai, Abraham tahu persis mana saja yang telah ia kunjungi dan mana yang belum. Setiap garis yang ia gambar di peta itu seakan menjadi simbol dari setiap langkah yang telah ditempuhnya, dan setiap titik yang belum dicoret menjadi sebuah harapan. "Satu lagi," gumamnya, memandangi daftar tempat yang harus ia jelajahi hari ini.
Langkahnya cepat, penuh tujuan. Ia menyusuri jalanan yang sunyi, melewati deretan bangunan yang tampaknya sudah lama ditinggalkan. Setiap kali ia melangkah ke apotek atau supermarket yang belum ia kunjungi, harapannya muncul, namun setiap kali ia keluar dengan tangan hampa, rasa frustasi mulai menggerogoti semangatnya.
Dari apotek ke apotek, dan supermarket ke supermarket, tidak ada tanda-tanda keberadaan UV light atau obat yang ia butuhkan. Setiap kegagalan menambah berat langkahnya. Rasa kesal dan sedih mulai bercampur dalam hati Abraham, membuatnya merasa semakin terasingkan. Ia merasa terjebak dalam lingkaran tanpa ujung—mencari, berharap, gagal, dan mulai kembali dari awal. Namun, di balik keputusasaan itu, ada satu dorongan yang tak bisa ia padamkan: Anastasia.
Ketika langkahnya mulai melambat, Abraham menatap sejenak peta yang ia bawa. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Tidak bisa menyerah. Tidak bisa... pikirnya, lalu melanjutkan langkahnya.
Tiba-tiba, sebuah pemandangan baru menarik perhatiannya: sebuah gedung besar yang tampak kokoh meskipun terhantam oleh masa. Sebuah rumah sakit. Meskipun temboknya banyak yang retak dan kaca-kaca jendela pecah, masih ada aura kehidupan yang terasa di sana—seolah bangunan itu menyimpan sesuatu yang bisa membantu.
Abraham berhenti sejenak, merenung. Rumah sakit. Mungkin di sana ada persediaan medis yang ia butuhkan. Mungkin di sana ada UV light yang ia cari. Harapannya kembali muncul, kali ini lebih kuat daripada sebelumnya.
Ia melangkah cepat menuju pintu depan rumah sakit itu. Langkah kaki Abraham menggema di lorong gelap yang dipenuhi bau logam dan debu. Pintu rumah sakit yang rusak di hadapannya bergeser perlahan, suara deritannya memecah keheningan yang berat. Begitu dia melangkah masuk, udara terasa membeku.
Beberapa detik kemudian, bayangan gelap bergerak di sekelilingnya. Sinar redup dari lampu berkelap-kelip memantulkan kilauan dingin dari laras senapan yang terangkat. Sejumlah pria dengan wajah kaku dan sorot mata tajam langsung mengarahkan senjata ke arahnya, tanpa sepatah kata pun.
"Berhenti di situ," suara berat dan dingin terdengar, memecah keheningan seperti pisau. Abraham menelan ludah, merasakan keringat dingin merayap di punggungnya. Napasnya tertahan, dadanya berdebar hebat.