Chereads / The Sunchaser [Bahasa Indonesia] / Chapter 3 - ACT 3 THE R.E.D GUILD

Chapter 3 - ACT 3 THE R.E.D GUILD

Lorong sempit itu dingin dan suram, cahaya redup lampu yang berkedip-kedip hanya memperburuk suasana. Ketika Abraham melangkah masuk, suara derit pintu besi di belakangnya berhenti dengan bunyi nyaring, seolah-olah menandai bahwa tidak ada jalan kembali. Dalam hitungan detik, beberapa laras senapan terangkat, langsung mengarah ke dadanya.

"Jangan bergerak!" suara keras dan tegas menggelegar di udara, membuat Abraham mematung.

Salah satu pria, wajahnya penuh kotoran dan mata yang liar, mempersempit jarak sambil menodongkan senapan lebih dekat. "Siapa kamu?" tanyanya, suaranya dingin.

Abraham mengangkat kedua tangannya perlahan, berusaha terlihat tidak mengancam. "Aku hanya seorang survivor," katanya, suaranya tenang meski dadanya berdebar. "Aku datang untuk mencari lampu UV dan obat defisiensi vitamin D untuk putriku."

Dari balik kerumunan, sosok besar muncul. Posturnya tegap, otot-ototnya tampak jelas di balik baju lusuh yang dikenakannya. "Pergilah," katanya dingin. "Tempat ini milik kami."

"Tolong," pinta Abraham. "Aku hanya membutuhkan satu lampu UV dan beberapa obat. Aku bisa menukarnya dengan makanan dan air. Aku tidak akan lama."

Pria besar itu menyipitkan matanya. "Kau tidak tahu siapa yang kau hadapi, ya? Boss besar akan marah besar jika tahu kau mencoba menyusup ke basecamp kami."

Dari belakang pria itu, seseorang berbicara. "Hei, Dimitri. Lihat tasnya. Sepertinya dia punya banyak makanan. Bos pasti senang jika kita membawa persediaan lebih. Lagi pula, lampu UV dan obat tidak bisa dimakan, bukan?"

Dimitri menghela napas panjang, tatapan matanya dingin namun penuh pertimbangan. "Baiklah," katanya akhirnya. "Kau akan mendapatkan lampu dan obat itu. Tapi sebagai gantinya, berikan semua isi tasmu... dan senapanmu."

Abraham menatap Dimitri dengan mata membara. "Untuk semua yang ada di tas ini, dan senapan? Apa kau ingin merampokku?"

Dimitri tertawa kecil, suaranya rendah dan penuh ancaman. "Ya, benar. Sebenarnya, lebih baik aku membunuhmu di sini dan mengambil semuanya tanpa perlu bertukar apa pun."

Abraham terpojok, dikelilingi sepuluh orang bersenjata. Setiap gerakan salah akan berarti kematian. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha meredakan amarah yang membara di dadanya.

"Oke," katanya akhirnya, nada suaranya lebih tenang. "Aku akan menyerahkan semua di dalam tasku. Tapi tidak dengan senapanku. Aku hanya butuh satu lampu UV dan beberapa obat saja."

Dimitri melirik rekannya, mencari persetujuan. Rekan itu mengangguk pelan.

"Baiklah," kata Dimitri, mengangkat tangannya. "Serahkan tasmu dulu, baru kau akan mendapat lampu dan obatnya."

Abraham menatap mereka dengan hati-hati. "Tidak," katanya tegas. "Aku ingin melihat lampu dan obat itu dulu."

Dimitri menatap Abraham dengan tajam, matanya menyempit seperti sedang menimbang-nimbang apakah akan menuruti permintaan itu atau tidak. Hening sejenak, hanya terdengar suara angin yang berdesir di antara reruntuhan kota yang mulai ditinggalkan. Abraham merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya, meskipun udara terasa dingin dan suram.

"Lihat, aku tidak punya waktu untuk ini," kata Abraham, mencoba memperlihatkan sikap tenang meski hatinya berdegup kencang. "Putriku sedang menunggu. Kau bisa memeriksa barangku setelah itu. Aku hanya butuh lampu UV dan beberapa obat. Tidak ada yang lebih."

Dimitri tetap tidak bergeming, matanya masih mengawasi Abraham seperti predator yang sedang menunggu mangsanya melakukan langkah salah. Tetapi salah satu dari anggota kelompoknya, seorang pria kurus dengan luka di lengan, tampaknya mulai kehilangan kesabaran.

"Dimitri, kita tidak bisa terus bermain-main dengan waktu," katanya, suara serak dan putus asa. "Kita sudah lama kehabisan stok, dan jika anak kecil itu sakit, apa kita masih bisa berharap bisa menemukan obat lain di luar sana? Cobalah dengarkan orang ini."

Dimitri mengalihkan pandangannya ke pria kurus itu, kemudian menghela napas panjang. Ia tampak berpikir sejenak, lalu akhirnya mengangguk pelan.

"Baiklah," jawab Dimitri dengan suara berat, "Tapi ingat, aku beri kesempatan ini hanya sekali. Kalau kau coba main-main, kita akan menyelesaikannya dengan cara lain."

Abraham mengangguk cepat, meski jantungnya masih berdegup kencang. Dengan hati-hati, ia melepas tas punggungnya dan menyerahkannya kepada Dimitri. Selama ini, tas itu adalah satu-satunya barang berharga yang ia bawa, penuh dengan persediaan yang sangat dibutuhkan untuk bertahan hidup, dan satu-satunya harapan yang bisa ia berikan untuk putrinya, Anastasia.

"Ikut aku," perintah Dimitri singkat, suaranya berat dan tanpa emosi.

Abraham hanya mengangguk, mengikuti Dimitri yang berjalan dengan langkah berat melewati lorong sempit menuju sebuah ruangan gelap. Begitu pintu berderit terbuka, bau tajam obat-obatan menyeruak. Rak-rak besi yang berkarat dipenuhi botol-botol obat, sebagian pecah dan berdebu.

"Temukan obat itu secepatnya," Dimitri mendengus, melirik tajam. "Jangan buang waktuku."

Abraham tak membuang waktu. Dengan tangan gemetar, ia mencari botol obat yang bisa menyelamatkan putrinya, sementara matanya sesekali melirik lampu UV yang kusam di sudut rak.

Namun, suara Dimitri yang rendah dan penuh ancaman memecah konsentrasi. "Kau tahu," katanya pelan, suaranya bergema di ruangan sempit itu. "Kemarin, orang-orang yang kutugaskan tidak pernah kembali."

Abraham menghentikan tangannya yang tengah menyusuri rak.

Dimitri mendekat, matanya menajam seperti predator yang menemukan mangsanya. "Dan sekarang, aku melihat senjata mereka di tanganmu. Bukankah itu kebetulan yang terlalu sempurna?"

Abraham menegakkan punggungnya, menghadap Dimitri dengan tatapan dingin. "Apa maksudmu?"

"Kau membunuh mereka, bukan?" Dimitri mengangkat senapannya, ujung laras dingin mengarah tepat ke dada Abraham. Jari Dimitri bergerak pelan di pelatuk, menambah ketegangan yang menyesakkan.

Abraham tetap tenang, meski detak jantungnya berdegup kencang. "Aku menemukan senjata itu tergeletak di jalan kota," katanya, suaranya datar.

Dimitri menyeringai, tetapi tawanya dingin. "Kau pikir aku akan percaya pada cerita lemahmu?" Senapannya semakin terangkat, membidik kepala Abraham. "Pada akhirnya, kalian semua hanya ingin membunuhku."

Abraham menelan ludah, mencoba tetap tenang meski rasa panik menjalari tubuhnya. "Kau salah," katanya tajam.

Dimitri menggeleng, ekspresinya penuh keyakinan. "Sayang sekali," katanya sambil menyeringai lebih lebar. "Kau datang ke tempat yang salah. Tapi, terima kasih telah membawakan persediaan untuk kami."

Pelatuk senapan mulai ditarik, suara mekanisnya terdengar jelas di udara yang seolah membeku.

Dalam sekejap, Abraham bereaksi. Dengan gerakan kilat, dia menepis senapan Dimitri ke samping. Bang! Suara tembakan memekakkan telinga, peluru menghantam salah satu rak obat, menebarkan debu dan serpihan logam.

Dimitri terkejut, matanya membelalak melihat kecepatan Abraham. Tapi sebelum dia sempat menguasai situasi, sebuah pukulan keras menghantam pelipisnya. Rasa sakit tajam menyambar, membuat pandangannya kabur.

Abraham tidak berhenti. Dengan tendangan kuat, dia mengincar lutut Dimitri, membuat tubuh besar itu terhuyung dan terjatuh dengan suara berdebam keras ke lantai.

Tanpa membuang waktu, Abraham berlari keluar dari ruangan. Derap langkahnya menggema di lorong sempit, napasnya terengah-engah. Suara gaduh mulai terdengar—para survivor yang mendengar tembakan bergegas menuju sumber suara.

"Heh! Berhenti, kau!" teriak salah satu dari mereka, matanya penuh amarah ketika melihat Abraham berlari menjauh.

Seorang survivor berlutut di samping Dimitri yang masih tergeletak di lantai, memegang pelipisnya yang berdarah. "Kau baik-baik saja?" tanya salah satu survivor dengan cemas.

Dimitri mendengus marah, wajahnya memerah karena rasa sakit dan penghinaan. "Kejar dia, bodoh!" bentaknya, suara geramnya bergema di lorong. "Jangan pedulikan aku! Tangkap dia sekarang!"

Abraham berlari menyusuri lorong sempit rumah sakit yang remang-remang, napasnya memburu, keringat membasahi pelipisnya. "Kenapa orang-orang ini selalu ingin membunuhku?" gumamnya dengan nada frustrasi, matanya menyapu sekeliling mencari jalan keluar.

Derap langkah para survivor terdengar semakin dekat di belakangnya. Jarak mereka semakin menipis, suara-suara marah menggema di lorong. Abraham mempercepat langkahnya, jantungnya berpacu seiring dengan ketakutan yang kian menekan.

Namun, dia tiba-tiba berhenti di ujung lorong yang buntu. "Sial!" umpatnya kesal. Dengan panik, matanya mencari jalan lain. Di sisi lorong, dia melihat sebuah pintu yang terkunci. Tanpa berpikir panjang, dia menghantam pintu itu dengan bahunya.

Satu... dua... tiga!

Dengan dentuman keras, pintu akhirnya terbuka, menguak tangga darurat yang gelap dan berdebu. Abraham bergegas menuruni anak tangga, langkahnya tergesa-gesa namun hati-hati. Di belakang, para survivor mengejarnya, suara langkah mereka bergema menuruni tangga.

Setibanya di lantai dasar, Abraham segera berlari menuju lorong yang mengarah ke pintu keluar. Namun, langkahnya melambat saat melihat seorang survivor berjaga di pintu depan, senapan di tangan. Suara langkah dari belakang semakin dekat.

Dengan cepat, Abraham melirik ke samping dan menemukan sebuah pintu lain. Dia mendorong pintu itu dengan paksa, masuk ke dalam ruangan yang sepi dan gelap. Suasana berubah hening, hanya terdengar detak jantungnya sendiri yang memburu.

Di dalam ruangan itu, seorang gadis muda berdiri, Mata mereka saling bertatap.