"Hmm... lihat siapa yang datang," kata seseorang misterius yang melihat Abraham tergeletak tak berdaya. Orang itu membawa abraham pergi ke sebuah gudang tua kosong di dekat situ.
Suara desiran angin malam mengisi gudang tua yang reyot. Cahaya bulan yang remang-remang memantulkan bayangan mengerikan pada dinding kayu lapuk. Bau debu dan karat menyelimuti ruangan, menciptakan suasana yang berat dan menyesakkan.
Di tengah gudang, Abraham mulai menggerakkan tubuhnya. Rasa sakit menjalar di sekujur badannya, namun yang lebih mencemaskan adalah kenyataan bahwa kedua tangannya terikat erat di belakang kursi kayu yang rapuh.
Suara langkah kaki terdengar dari sudut ruangan yang gelap. Kemudian, suara kokangan shotgun memecah keheningan. Ceklek. Bayangan besar muncul dari kegelapan, seorang pria bertopi lebar, dengan shotgun yang diarahkan lurus ke dada Abraham.
"Hmm... lihat siapa yang datang," ucap pria itu dengan nada penuh ejekan. Senyumnya sinis, dan matanya dingin. "Sergei mengirimmu ke sini, ya?"
Abraham menatap tajam ke arah pria itu, wajahnya menahan jijik. "Lebih baik mati daripada menjadi anjing bajingan itu," katanya, nada suaranya penuh amarah.
Pria bertopi tertawa keras, suara tawanya menggema di seluruh gudang. "Hahaha! Kau cukup lucu untuk seseorang yang hampir mati." Dia merapikan topinya, menunduk sedikit sehingga wajahnya hampir tidak terlihat. "Sayangnya, humor seperti itu tidak akan menyelamatkanmu."
Dia mengarahkan shotgun ke kepala Abraham, jarinya perlahan menekan pelatuk. "Hei, tunggu sebentar!" seru Abraham, suaranya penuh ketegangan. "Kau salah paham!"
Pria bertopi menyeringai, tatapannya semakin bengis. "Katakan itu kepada penjaga neraka, sobat."
Detik-detik yang menentukan
Saat pria itu bersiap menembak, Abraham melakukan hal yang tak terduga. Dengan seluruh kekuatan yang tersisa, dia mengayunkan tubuhnya ke belakang, membuat kursi tempatnya duduk terjatuh keras ke lantai.
BANG!
Suara tembakan menggema keras, peluru shotgun menghancurkan tembok kayu di belakang Abraham. Debu dan serpihan kayu berhamburan di udara. Abraham terbaring di lantai, terengah-engah, namun selamat.
Pria bertopi itu terkejut sejenak, namun segera mengarahkan kembali senjatanya ke Abraham. "Kau pandai juga menghindar, tapi kali ini kau tidak akan seberuntung tadi," ucapnya sambil melangkah maju, bersiap untuk tembakan kedua.
Abraham tahu dia hanya memiliki detik-detik sebelum nyawanya benar-benar terancam.
"Sebentar! Kau salah paham! Dengarkan aku dulu!" seru Abraham, suaranya bergetar namun tetap mencoba mengulur waktu. Dia memutar-mutar tubuhnya ke kanan dan ke kiri, seperti binatang yang terpojok, berharap bisa menemukan celah untuk selamat.
Pria bertopi itu mengangkat shotgun sekali lagi, mengarahkan moncongnya ke dada Abraham. "Kali ini aku tidak akan meleset," katanya, suaranya dingin dan penuh keyakinan. Dia menyeringai, mata dinginnya menatap Abraham dengan kepuasan. "Adiós."
Namun, sebelum dia bisa menarik pelatuk, tiba-tiba sebuah tendangan keras menghantam shotgun di tangannya. Senjata itu terlempar jauh ke samping, menghantam lantai dengan suara keras, meluncur ke sudut ruangan.
Pria bertopi itu terpaku, wajahnya penuh keterkejutan. "Apa—?" Dia tak sempat menyelesaikan kalimatnya.
Abraham, yang masih tergeletak di lantai, bergerak cepat melemparkan tubuhnya ke depan, menyeruduk pria itu hingga keduanya terjatuh ke lantai. Dalam hitungan detik, Abraham sudah mengunci pergerakan pria bertopi itu, menggunakan teknik jujitsu yang dia pelajari selama bertahun-tahun sebagai prajurit perang.
Pria bertopi itu meronta, wajahnya memerah saat Abraham mengunci lehernya dengan kuat. Napasnya tersendat, dan dia berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan diri, namun sia-sia. "Bagaimana... bagaimana kau bisa melepaskan ikatanmu?" tanyanya dengan suara serak, matanya membelalak tak percaya.
Abraham menyeringai dingin, wajahnya hanya beberapa inci dari pria itu. "Sulap," jawabnya singkat, suaranya datar namun penuh kemenangan. Dia menambah tekanan pada kunciannya, membuat pria bertopi itu semakin tercekik
Abraham memutar tubuhnya bukan karena takut mati, melainkan untuk mengikis tali yang mengikat pergelangan tangannya. Ujung kursi tua yang rapuh menjadi senjata rahasianya. Dengan ketenangan yang bertolak belakang dengan situasi, dia menggesekkan tali itu perlahan hingga putus.
"Aku tidak tahu apa hubunganmu dengan Sergei," ucap Abraham dingin, "tapi kau mencari musuh yang salah."
Pria bertopi itu terengah-engah, suaranya parau namun lantang. "Aku bukan anggota R.E.D. Guild!" teriaknya, napas tersengal seperti orang tenggelam yang mencari udara.
Abraham berhenti sejenak, memandang pria itu dengan tajam. Tanpa berkata lagi, dia mempererat kuncian lehernya hingga pria bertopi itu kehilangan kesadaran.
Beberapa menit berlalu, suara percikan air menggema di gudang kosong. Abraham menyiramkan air ke wajah pria bertopi, membuatnya terbangun dengan napas tersedak. Pria itu membuka mata, kebingungan, mendapati dirinya duduk terikat dengan kuat di kursi yang sama—kali ini jauh lebih erat.
"Bangun," perintah Abraham, suaranya tenang namun tegas.
Pria bertopi itu mengedarkan pandangan, menyadari posisinya telah terbalik. "Sekarang kita bertukar tempat, huh?" gumamnya kesal, nadanya penuh keputusasaan.
Abraham mendekat, matanya menatap lurus ke arah pria itu. "Kita ada di mana?" tanyanya.
"Barat laut dari kota," jawab pria bertopi dengan suara lemah.
"Mengapa kau di sini?"
"Aku bersembunyi dari Sergei dan anjing-anjingnya," jawabnya, napasnya masih terengah.
"Kenapa bersembunyi di sini?" Abraham mendesak.
"Karena aku tidak mau jadi anjing Sergei lagi."
Mata Abraham menyipit. "Apa maksudmu dengan 'lagi'?"
Pria bertopi itu menelan ludah, lalu bercerita, "Dulu, aku anggota R.E.D. Guild. Mereka membawaku karena aku bisa memperbaiki mesin dan listrik. Awalnya semua tampak normal... sampai aku melihat Sergei membunuh bawahannya hanya karena hal sepele."
Dia berhenti sejenak, suaranya berubah menjadi getir. "Dia tidak hanya membunuh orang itu, tapi juga keluarganya. Semuanya mati, hanya karena salah satu dari mereka tidak hormat. Setelah melihat itu, aku memutuskan untuk kabur. Aku tahu, jika aku membuat kesalahan, aku dan orang-orang tak bersalah akan bernasib sama."
"Pelarianku tak berjalan mulus," lanjutnya, menunduk mengingat kenangan kelam. "Mereka menemukanku di hutan. Aku terkena beberapa peluru, berpikir akan mati... sampai makhluk gelap itu muncul dan menyerang mereka. Aku berlari sekuat tenaga hingga menemukan gudang tua ini."
Abraham terdiam sejenak, memandang pria itu dengan sorot mata yang sulit ditebak. Lalu, dia mengambil shotgun yang tergeletak di lantai.
"Hei, hei, tunggu! Aku minta maaf! Aku tidak tahu kau bukan bagian dari mereka!" Pria bertopi itu panik, keringat dingin mengalir di dahinya. "Maaf sudah meragukanmu. Aku tak bermaksud membunuhmu!"
Abraham tak menjawab. Dia berjalan ke belakang pria itu, menodongkan shotgun ke kepalanya. Pria bertopi itu menutup mata rapat-rapat, tubuhnya gemetar.
BANG!
Suara ledakan memekakkan telinga memenuhi gudang. Pria bertopi itu terdiam, jantungnya berhenti sejenak. Perlahan, dia membuka matanya, sadar dirinya masih hidup. Peluru itu ternyata menembus tali yang mengikat tubuhnya.
"Oh, terima kasih Tuhan!" serunya lega, napasnya tersengal.
Abraham menatapnya dingin, lalu menyerahkan shotgun itu. "Kau akan membantuku menghabisi Sergei," katanya tegas.
Mereka meninggalkan gudang tua dengan membawa senjata dan amunisi seadanya. Abraham berjalan mantap di depan, sementara Rick mengikuti di belakang, sesekali melirik senjata yang baru saja diraih dari pertempuran singkat mereka. Udara malam masih dingin, namun langit mulai menunjukkan tanda-tanda fajar.
"Apa kau membawaku untuk melarikan diri?" tanya Rick, suaranya datar namun penuh rasa ingin tahu.
Abraham terus berjalan tanpa mengubah langkah. "Aku harus melihat putriku," jawabnya, suaranya dalam dan berat.
Rick diam sejenak, membiarkan kata-kata itu mengendap di pikirannya. "Hei... ngomong-ngomong, siapa namamu?" tanyanya mencoba menghilangkan kecanggungan.
Abraham berhenti sejenak, menoleh sedikit. "Abraham... Abraham Cornwell."
Rick tersenyum, menyebutkan namanya dengan nada ringan, "Senang bertemu denganmu, Abraham. Aku Rick Richard."
Beberapa menit berlalu. Hutan mulai terasa lebih dingin, cahaya samar-samar menerobos di antara pepohonan. Mereka berjalan tanpa suara hingga Rick tiba-tiba menghentikan langkahnya. Matanya menatap tajam ke kejauhan.
"Hei, Abraham... kau harus melihat ini," ucap Rick cemas, menunjuk ke depan.
Abraham menoleh, lalu melihatnya—asap hitam tebal mengepul ke langit. Wajahnya berubah tegang, tubuhnya seakan diselimuti ketakutan yang mencekam. Tanpa pikir panjang, dia berlari ke arah asap itu, Rick segera menyusul, napasnya tersengal.
Mereka berdua tiba di sumber asap. Pemandangan yang mereka lihat membuat waktu terasa berhenti bagi Abraham. Di hadapannya, rumah persembunyiannya terbakar hebat. Lidah-lidah api menjilat ke langit, melahap habis kayu dan batu, meninggalkan bara yang berderak pilu.
Abraham terdiam, kakinya terasa berat, pikirannya melayang jauh. Di matanya, hanya ada satu bayangan. "Anastasiaaa!"
Dia berlari menuju rumah yang tengah dilahap api, mengabaikan panas yang menyengat wajahnya.
Rick berusaha mengejarnya, menangkap lengan Abraham dan menariknya dengan sekuat tenaga. "Abraham! Tunggu! Kau tidak bisa masuk ke sana! Kau akan mati!" teriak Rick, berusaha menghalangi.
Namun Abraham meronta, mencoba melepaskan diri. Matanya liar, penuh dengan kepanikan. "Anastasiaaa!" jeritnya lagi, suaranya parau, hampir hilang ditelan deru api.
Rick tidak melepaskannya, menggenggam erat, mencoba membangunkan kesadaran Abraham. "Kau akan mati sia-sia! Kau tidak bisa menyelamatkan siapa pun jika kau ikut terbakar!"
Tangisan dan teriakan Abraham semakin lirih, hingga akhirnya dia terjatuh ke lututnya, lemah. Bahunya berguncang, isak tangisnya pecah di tengah suara api yang terus membara. Rick tetap di sana, berdiri di sampingnya, tak berkata apa-apa, hanya menunduk dengan kesedihan yang sama mendalamnya.
Asap tebal terus membumbung tinggi ke langit, meninggalkan kehancuran dan duka yang tak tertahankan di tengah kesunyian fajar.