Pria itu maju ke depan, setiap langkahnya penuh keyakinan. Cahaya lampu sorot dari sebuah mobil yang baru tiba menerangi malam, memantulkan bayangan panjang Abraham di jalanan yang retak. Silau cahaya menyapu wajahnya, membuat sosok pria yang mendekat semakin menakutkan.
"Apakah sekarang kau bisa mengingatku, Abraham Cornwell?" ucap pria itu dengan nada sinis, suaranya terdengar seperti belati yang menggores pelan.
Kini wajahnya terlihat jelas. Dia mengenakan penutup mata di salah satu matanya, topi kabaret yang usang tapi masih memberi kesan otoritas, dan seragam militer penuh dengan lencana medali yang berkilau samar dalam cahaya.
Abraham membeku sejenak, matanya melebar, rahangnya mengeras. "Sergei," gumamnya dengan nada rendah penuh amarah, seolah nama itu membawa semua luka lama yang belum sembuh. Wajahnya menunjukkan rasa muak dan benci, seperti melihat hantu masa lalu yang seharusnya sudah lama terkubur.
Sergei tersenyum bengis, senyum yang penuh kepuasan. "Senang melihat kau masih mengingatku, Abraham," katanya sambil tertawa kecil, suaranya seperti racun yang perlahan meresap.
"Jangan mendekat, Sergei!" Abraham memperingatkan, senapannya terangkat, jari telunjuknya sudah siap menarik pelatuk, matanya menatap tajam.
Sergei berhenti sejenak, menatap senapan itu tanpa sedikit pun rasa takut. Dia melirik ke arah anak buahnya yang berdiri di belakang, memegang senapan mereka dengan siaga. "Kau pikir, Abraham, kau bisa menang melawan kami semua?" tanyanya sambil mengangkat tangan, seolah memamerkan kekuatan pasukannya.
Abraham tidak bergeming. "Coba saja, Sergei," jawabnya dengan nada dingin, tantangan terlukis jelas di wajahnya.
Sergei tertawa kecil, tapi kali ini ada ketenangan yang menyeramkan dalam suaranya. "Meskipun aku ingin melihat bagaimana seorang pahlawan perang seperti dirimu bertarung, aku punya tawaran untukmu, Abraham Cornwell," katanya, melangkah perlahan mendekat.
"Diam di sana!" teriak Abraham, menodongkan senapan tepat ke kepala Sergei. "Satu langkah lagi, dan aku akan melubangi kepalamu."
Sergei mengangkat kedua tangannya perlahan, menunjukkan niat damai, meski senyumnya tetap melekat. "Tenanglah, Abraham. Kau mungkin ingin mendengar tawaranku."
Mata Abraham tetap waspada, tetapi dia tidak menarik pelatuk. "Bicara cepat," desisnya.
"Kami membutuhkan orang-orang seperti kau—ahli taktik perang," Sergei melanjutkan dengan nada halus, hampir menggoda. "Bergabunglah dengan kami, dan aku jamin kau akan mendapatkan lebih dari sekadar bertahan hidup."
Abraham menyipitkan mata, suaranya penuh ejekan. "Dan untuk apa kau mengumpulkan orang-orang bersenjata, Sergei? Apa kau berencana memulai perang?"
Sergei tertawa, tawa yang dingin dan meremehkan. "Abraham, humormu masih tajam seperti dulu," katanya, lalu mendadak ekspresinya berubah serius, tatapannya seperti baja. "Tapi sepertinya kau tidak mengerti situasimu sekarang."
Abraham tetap membisu, namun jemarinya tetap tegang di pelatuk, siap menghadapi apa pun yang akan datang.
"Boss, dia orang yang membunuh tim Alpha," terdengar suara berat dari seseorang bertubuh besar, dengan tato di seluruh lengannya. Ternyata, orang itu adalah Dimitri.
Abraham menatapnya dengan penuh amarah. Kedua pria itu saling menatap, seolah ingin membunuh satu sama lain di tempat. Suasana tegang, udara malam yang dingin semakin menambah beratnya ketegangan ini.
"Wow, sepertinya kemampuanmu belum menurun, Abraham. Sebutan 'pahlawan perang' itu sepertinya masih cocok untukmu," kata Sergei, dengan nada yang terkesan, senyum bengis terukir di wajahnya.
Abraham tidak bergerak, hanya diam sambil menatap Sergei dengan penuh kebencian.
"Tidak apa-apa, Dimitri. Aku tahu kau kesal," kata Sergei, seolah meremehkan. "Mereka hanya pion dalam permainan catur ini. Tugas mereka hanya mengikuti perintah raja, meskipun mereka harus mati. Benar, kan, Abraham?" serunya dengan tenang, wajahnya datar, seolah tidak peduli sama sekali.
Abraham mengatupkan rahangnya, memejamkan mata sesaat. "Aku tidak bisa ikut denganmu, Sergei," jawabnya dengan suara tegas namun penuh penolakan. "Aku tidak ingin menjadi budak psikopat."
Sekejap, Abraham menarik pelatuk pistolnya, menembak lampu sorot yang ada di mobil Sergei, menciptakan kegelapan yang menyelimuti sekeliling mereka. Malam yang pekat, dengan kabut meteor yang menutupi cahaya bulan, menciptakan kegelapan yang sempurna.
Kelompok R.E.D. Guild terkejut, kebingungan dalam gelap gulita. Sergei, dengan gesit, meraih pistol di saku kanannya dan mulai menembak ke segala arah. "Cepat, maju! Dasar anjing bodoh, kepung dia!" teriak Sergei, perintahnya penuh emosi.
Abraham, dengan cekatan, mundur dan berlari menuju gedung yang ada di dekatnya. Beberapa kali ia tersandung batu-batu reruntuhan akibat kegelapan yang menyelubunginya, tetapi ia terus berlari.
Kelompok Sergei mulai mengejar, meski mereka juga tersandung dan terhalang reruntuhan kota. Sergei berlari dengan cepat, menembakkan peluru ke arah Abraham yang terus melaju.
Abraham tidak menoleh ke belakang, hanya berlari lebih cepat, hingga akhirnya ia mencapai batas antara hutan dan kota.
Sergei tiba di hutan, napasnya terengah-engah, pandangannya kehilangan jejak Abraham. Pasukan R.E.D. Guild yang mengikuti juga bingung. Mereka tidak tahu harus ke mana.
"Keluar kau, Abraham!" teriak Sergei dengan penuh kemarahan, suaranya menggemparkan keheningan hutan yang dingin.
Kabut tebal mulai menyelimuti, dan tidak ada tanda-tanda keberadaan Abraham. Pasukan Sergei mengepung sekeliling, berusaha mencari.
Tiba-tiba, suara tembakan memecah keheningan dari arah kanan Sergei. Dengan cepat, ia berlari ke arah suara itu, namun yang ia temui hanya pasukannya yang tergeletak mati. "Blyat," geram Sergei, kesal. "Kegelapan dan kabut ini benar-benar membuatku marah."
Suara tembakan kembali terdengar, kali ini lebih lama dari sebelumnya. Sergei berlari ke arah suara tersebut, namun lagi-lagi ia hanya menemukan mayat pasukannya. Abraham, entah di mana.
"Bajingan itu sangat pandai bersembunyi," kata Sergei, matanya berkilat tajam. Ia menoleh ke Dimitri yang berada di sampingnya. "Dimitri, bawa itu kemari!"
Dimitri mengeluarkan flare gun dari belakang sakunya, menembakkan flare ke udara. Cahaya terang menyelimuti hutan, menyibakkan kegelapan yang menutupi segalanya.
Kini Abraham terlihat jelas, dan Sergei, dengan cepat, menembak ke arahnya. Peluru mengenai bahu kiri Abraham, namun ia segera menghindar, berlari ke samping kiri sambil menembaki Sergei dan Dimitri.
Sergei mengejar, meninggalkan Dimitri di belakang. "Sial, kenapa mereka menembakkan flare gun di hutan? Apa mereka ingin membakar seluruh hutan ini?" gerutu Abraham sambil berlari, kesal dengan situasi yang semakin memburuk.
Abraham berlari menjauh, dan tidak lama kemudian, ia sampai di tepi sungai yang deras. Ia berhenti sejenak, menatap kuatnya arus sungai itu. Di belakang, ia mendengar suara langkah kaki mendekat.
"Sialan Tak ada pilihan lain," gumamnya pelan.
Dengan sigap, Abraham melompat ke dalam arus sungai yang kuat, berharap bisa terlepas dari kejaran. Sergei yang melihatnya langsung menembaki sungai, berharap Abraham mati terbawa arus.
"Mati kau, Abraham Cornwell!" teriak Sergei, senjata terus melepaskan tembakan ke arah sungai. Salah satu peluru mengenai paha belakang Abraham, membuatnya kehilangan keseimbangan dan terbawa arus deras.
"Boss, apa kau mendapatkannya?" tanya Dimitri, yang baru sampai dan menghampiri Sergei.
"Dia tidak akan selamat," jawab Sergei dingin. Mereka semua melihat ke arah sungai, lalu mundur, kembali ke markas mereka, meninggalkan Abraham yang hanyut dalam arus.
Abraham, yang terbawa arus, akhirnya terseret hingga ke tepian sungai. Ia tak sadarkan diri, tubuhnya terdampar di sana.
"Hmm... lihat siapa yang datang," kata seseorang misterius yang melihat Abraham tergeletak tak berdaya.