Ruangan itu sunyi, diterangi cahaya redup dari lampu yang berkedip. Seorang gadis muda berdiri di tengah, merawat beberapa survivor yang terbaring lemah di ranjang-ranjang reyot. Wajahnya cemas, tangan gemetar saat merapikan selimut salah satu pasien. Saat Abraham masuk, mata mereka bertemu.
Dengan cepat, Abraham meletakkan telunjuk di bibirnya, mengisyaratkan agar gadis itu tetap diam. Tangan lainnya mengangkat pistol, menodongkannya ke arah gadis itu. "Jangan bilang siapa pun, atau aku akan menembakmu," bisiknya, suaranya rendah dan tajam, meski dalam hati dia tahu tak ada niat untuk melukai.
Gadis itu menelan ludah, wajahnya pucat, matanya membulat karena ketakutan. Dengan gemetar, dia mengangguk pelan, tidak berani mengalihkan pandangan.
"Bagus," gumam Abraham, suaranya sedikit melunak. Namun pistol tetap teracung. Dia memandang ke sekitar dan melihat ranjang kosong di sudut ruangan. Tanpa buang waktu, dia melangkah ke sana, menyelimuti dirinya dengan kain lusuh, berpura-pura menjadi salah satu pasien yang sakit.
Tak lama kemudian, pintu ruangan terbuka dengan kasar. Para survivor yang mengejarnya masuk, nafas mereka masih terengah-engah. Dimitri berada di depan, matanya menyapu ruangan dengan penuh amarah.
"Di mana kau menyembunyikan bajingan itu, Rachel?" desis Dimitri dengan nada mengancam.
Rachel berusaha tetap tenang meskipun tubuhnya gemetar. "Apa yang kau maksud, Dimitri?" tanyanya dengan suara gemetar, berpura-pura tidak tahu.
"Berhenti bermain-main denganku!" Dimitri mendekat, wajahnya hanya beberapa inci dari Rachel. "Jika aku menemukan dia di sini, kepalamu akan melayang."
Dimitri mengangkat tangannya, memberi isyarat kepada anak buahnya untuk memeriksa setiap ranjang. Satu per satu survivor yang terbaring diperiksa, selimut mereka diangkat.
Rachel mencoba mengalihkan perhatian Dimitri. "Ini hanya membuang waktu, Dimitri. Mereka sakit, mereka butuh istirahat!" serunya dengan nada kesal.
Dimitri menatapnya dingin, mendekat lagi. "Kau hanya anjing liar yang diambil atas belas kasihan bos," ucapnya, suaranya penuh penghinaan. "Jangan pernah merasa kau bagian dari Guild."
Dia membelai rambut putih Rachel dengan senyum bengis. "Tapi… aku bisa membantumu masuk ke Guild," katanya dengan nada licik.
Rachel mundur, dan tanpa ragu menampar Dimitri dengan keras. Suara tamparan itu menggema di ruangan.
Dimitri tertegun, tapi hanya sesaat. Wajahnya memerah karena marah, dan dia balas menampar Rachel hingga gadis itu terjatuh ke lantai. "Jalang tak tahu diri!" teriaknya, memegangi pipinya yang memerah.
Sementara itu, para survivor mulai mendekati ranjang Abraham. Pistol di tangan Abraham sudah siap di dadanya, jari di pelatuk, bersiap menembak kapan saja.
Namun tiba-tiba, Rachel berteriak dengan suara lantang, penuh kemarahan. "DIMITRI!" Seruan itu membuat semua orang terhenti. "Keluar dari sini sekarang, atau aku akan mengakhiri hidupku!" Dia menodongkan pisau ke lehernya sendiri, tangan gemetar namun tegas. Darah mengalir pelan dari luka kecil di lehernya.
Dimitri terkejut, menatap Rachel dengan tak percaya. "Kau tidak benar-benar akan melakukannya," katanya, meskipun nada suaranya mulai ragu. "Coba lakukan. Aku tidak peduli."
Disisi lain kain Abraham sudah mulai terangkat sebagian oleh salah satu survivor yang mengecek ranjang Abraham.
Rachel tidak punya waktu lebih lama. Dia tahu jika dia tidak bergerak sekarang Abraham akan ditangkap.
Dengan niat yang kuat tangannya gemetar, Rachel menggoreskan pisau lebih dalam, membuat darah mengalir lebih deras.
"BERHENTI!" Dimitri akhirnya berteriak, suaranya menggema di seluruh ruangan. Dia mendekat dan meraih tangan Rachel, menghentikannya sebelum pisau melukai lebih dalam.
"Kita cari dia di tempat lain," geram Dimitri dengan penuh kekesalan. "Keluar sekarang!"
Para survivor menurut, satu per satu meninggalkan ruangan. Orang terakhir yang memeriksa ranjang Abraham melepaskan kainnya dan pergi tanpa menyadari apa pun.
Abraham menghela napas lega, menurunkan pistolnya. Kini hanya ada dia dan Rachel di ruangan itu, sunyi, dengan aroma darah samar yang masih tercium.
Abraham bangkit perlahan dari ranjang, memastikan situasi sudah benar-benar aman. Suara langkah para survivor semakin menjauh, meninggalkan keheningan yang menyesakkan. Dia menghela napas panjang, menyeka keringat di dahinya, lalu menatap Rachel yang terduduk di lantai.
Gadis itu menggigil, tangannya gemetar hebat, air mata mengalir deras di pipinya. Napasnya pendek-pendek, seperti baru saja lolos dari maut.
"Terima kasih," ucap Abraham pelan, suaranya rendah namun tulus.
Rachel mendongak, matanya basah dan merah. Dia mengusap air matanya dengan tangan gemetar, lalu menatap Abraham dengan tatapan kosong. "Pergilah," katanya lemah, suaranya hampir berbisik.
Abraham terdiam. Dia memandang Rachel dengan perasaan bersalah yang menyesak di dadanya. Gadis ini baru saja mempertaruhkan nyawanya demi menyelamatkannya, dan kini terlihat begitu rapuh, seolah beban dunia menghimpitnya.
"Aku akan menebus ini," kata Abraham, suaranya tegas meski ada kekhawatiran di dalamnya. Wajahnya menunjukkan keteguhan hati, tapi juga rasa iba yang mendalam.
Rachel hanya menunduk, tidak menjawab.
Abraham tahu dia tak bisa berlama-lama. Dia berjalan ke arah jendela, membukanya dengan hati-hati, memastikan tidak ada yang melihat. Dengan gerakan cekatan, dia melompat keluar dan mulai berlari.
Di dalam ruangan, hanya Rachel yang tersisa. Dia duduk di lantai, tubuhnya menggigil. Tangannya perlahan meraih liontin kecil yang tergantung di lehernya. Liontin itu tampak tua dan kusam, namun Rachel menggenggamnya erat, seolah itu satu-satunya hal yang menghubungkannya dengan harapan.
Ruangan kembali sunyi, hanya isakan kecil Rachel yang terdengar samar.
Abraham berlari meninggalkan rumah sakit, menyelinap di antara bayangan gelap malam. Nafasnya memburu, setiap langkahnya terdorong oleh keputusasaan untuk segera kembali ke tempat putrinya menunggu. Obat-obatan dan lampu UV yang ia bawa di tas punggungnya kini menjadi harapan terakhir.
Namun pikirannya tak bisa tenang. Wajah Rachel terus menghantui benaknya—tatapan penuh ketakutan dan keberanian yang begitu mirip dengan mendiang istrinya. Rasa bersalah menyusup di sela-sela napasnya yang tersengal-sengal.
Setelah berlari jauh, akhirnya Abraham berhenti di tepi jalan yang hancur, reruntuhan bangunan menjadi saksi sunyi pelariannya. Dia melepaskan tas dari pundaknya, membukanya untuk mencari botol air. Tangannya gemetar saat membuka tutup botol, meneguk air dengan tergesa-gesa.
Sambil duduk dan mengatur napas, pikirannya terus berputar. "Siapa sebenarnya orang-orang itu?" gumamnya pada diri sendiri. "Apa yang dimaksud Dimitri dengan 'Guild'? Apakah mereka kelompok yang menguasai wilayah ini?"
Tiba-tiba, suara berat memecah kesunyian. "Maksudmu R.E.D Guild?"
Abraham segera mendongak, matanya membelalak. Di kejauhan, berdiri seseorang dengan postur tegap, wajahnya samar dalam cahaya bulan. Di belakangnya, beberapa orang lain muncul, semua memegang senapan yang diarahkan dengan dingin ke arah Abraham.
Suasana mendadak berubah mencekam. Udara malam yang dingin seakan menyesakkan, dan dalam sekejap, insting bertahan hidup Abraham kembali menyala. Dia perlahan bangkit, tetap menatap pria itu dengan hati-hati, tangannya meraba pistol yang terselip di pinggang.
"Siapa kalian?" tanya Abraham, suaranya bergetar namun tegas.
Pria itu melangkah maju, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Oh Abraham?" Dia tertawa kecil. "Kau menyakiti hati kecilku, Bagaimana bisa kau melupakan teman baikmu ini."