Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Zaman Yang Terlupakan

Briskin
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
3.3k
Views
Synopsis
Ketika bencana alam mulai mengguncang dunia dan planet-planet sejajar dalam pola yang langka, manusia mendapati bahwa peradaban modern hanyalah permukaan dari misteri yang jauh lebih dalam. Kai, seorang pemuda dengan kemampuan psikis, tanpa sengaja menemukan petunjuk yang menghubungkan peristiwa besar sejarah manusia, Kai menyadari bahwa sejarah yang diajarkan hanyalah ilusi, dirancang untuk menyembunyikan kebenaran tentang peran manusia dalam kosmos. Dunia ini bukan milik manusia sepenuhnya—ia adalah panggung bagi permainan yang lebih besar, melibatkan makhluk dari dimensi lain yang memanipulasi nasib bumi selama ribuan tahun. Apakah manusia hanya bidak dalam permainan besar ini, atau mereka memiliki kekuatan untuk melawan takdir mereka sendiri? Zaman yang Terlupakan mengajak kita menelusuri perbatasan antara mitos, sejarah, dan kenyataan, mengungkap dunia di mana ilmu pengetahuan dan legenda bersatu untuk menjawab pertanyaan paling mendalam tentang eksistensi manusia.
VIEW MORE

Chapter 1 - SINOPSIS

Langit itu tampak lebih gelap dari biasanya, seolah-olah alam semesta menahan napasnya, menunggu sesuatu yang tak kasat mata namun begitu mendesak.

Angin berembus lembut, membawa hawa dingin yang menusuk, sementara bintang-bintang tampak lebih redup dibanding malam-malam sebelumnya.

Di atas cakrawala, delapan planet sejajar sempurna, menciptakan pemandangan megah yang selama berbulan-bulan menjadi bahan diskusi para ilmuwan, penyair, dan orang biasa di seluruh dunia.

Setiap orang, di setiap sudut bumi, menatap langit dengan rasa takjub yang tak bisa disembunyikan.

Pemandangan itu seperti lukisan ilahi, sempurna dan tak terjangkau oleh tangan manusia.

Di atap gedung pencakar langit yang menjulang tinggi, hingga di pelosok desa yang sunyi tanpa aliran listrik, semua mata tertuju ke langit.

Dunia serasa berhenti sejenak untuk menyaksikan fenomena langka ini, sebuah peristiwa yang hanya terjadi sekali dalam ribuan tahun.

"Lihat, lihat itu, Bu! Itu dia, langit mulai gelap! Ini akan dimulai!" seru seorang anak kecil sambil melompat-lompat, menunjuk ke arah langit dengan wajah penuh rasa ingin tahu.

Ibunya tersenyum lembut, menatap pemandangan yang sama dengan mata penuh kekaguman.

Ia mengabadikan momen itu dengan ponselnya, tak ingin melewatkan satu detik pun dari keajaiban malam itu.

"Iya, indah sekali," katanya, lebih kepada dirinya sendiri daripada anaknya, seolah berusaha memahami betapa kecilnya manusia di tengah kosmos yang begitu luas.

.

.

.

.

Di sudut lain kota, sekelompok pemuda berdiri di tepi jalan. Tawa dan sorak-sorai mereka mengisi udara malam yang dingin.

Mata mereka berbinar, penuh dengan semangat dan antusiasme.

"Dunia ini akhirnya melihat sesuatu yang luar biasa!" teriak salah satu dari mereka sambil mengangkat tangan ke udara.

"Ini bukan cuma luar biasa," sahut temannya dengan nada serius.

"Ini sejarah! Kita hidup di zaman yang akan dikenang selamanya!"

Seseorang di antara mereka, seorang pemuda dengan jaket denim usang, menatap langit tanpa berkata-kata.

Wajahnya tampak serius, nyaris melankolis, seolah-olah keindahan yang ia lihat membawa beban yang hanya ia sendiri yang memahaminya.

.

.

.

.

Sejarah... 

Apa yang kita tahu?

.

.

.

.

Namun, di tengah kekaguman dan euforia itu, tidak semua orang berbagi perasaan yang sama.

Di ujung pasar yang masih ramai dengan pedagang yang melipat dagangannya, seorang pria tua berdiri di sudut jalan.

Wajahnya yang keriput dipenuhi kecemasan, berbeda jauh dari ekspresi orang-orang di sekitarnya.

Tangan tuanya menggenggam erat tongkat kayu, sementara mulutnya terus bergumam pelan.

Suaranya hampir tak terdengar di tengah keramaian, tetapi bagi mereka yang cukup dekat, bisikannya terasa seperti peringatan.

"Semua planet… sejajar? Ini bukan pertanda baik… bukan pertanda baik…" katanya, diulanginya berulang-ulang seolah-olah mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Matanya yang suram menatap langit, tidak dengan rasa kagum, tetapi dengan ketakutan yang mendalam.

Seorang pedagang yang tengah membereskan dagangannya memperhatikan pria tua itu dengan pandangan ingin tahu.

"Pak Tua, apa maksud Anda? Bukankah ini hanya fenomena alam yang indah? Para ilmuwan bilang ini aman," tanyanya, mencoba membujuk pria itu untuk berbagi.

Pria tua itu menggeleng pelan, matanya tidak pernah lepas dari langit.

"Bukan cuma soal keindahan, Nak. Ini… ini pertanda. Zaman dulu, para leluhur kita percaya bahwa sejajarnya planet membawa perubahan besar. Tidak semuanya baik. Kadang… itu adalah awal dari sesuatu yang mengerikan."

Pedagang itu tertawa kecil, meski nada gelisah dalam suaranya sulit disembunyikan.

"Ah, mungkin itu hanya mitos, Pak. Dunia sudah modern. Kita harus percaya pada ilmu pengetahuan."

Langit malam terus bertambah gelap, dan pemandangan planet-planet sejajar semakin jelas, menciptakan aura misterius yang menyelimuti dunia.

.

.

.

.

Mitos?

Pertanda buruk?

Apakah ini hanya cerita yang kita ulang-ulang?

Atau mungkin, ada kebenaran yang tersembunyi di balik semua ini?.

.

.

.

.

14 miliar tahun yang lalu—

Sebuah ledakan besar yang kita sebut Big Bang mengubah segalanya.

Dalam satu ledakan maha dahsyat, zat, energi, ruang, dan waktu terlahir, menciptakan fondasi bagi alam semesta yang terus berkembang hingga kini.

Namun, pernahkah kalian bertanya-tanya bagaimana manusia bisa tahu tentang hal ini.

Apakah itu hanya sekadar perhitungan fisika yang rumit?

Atau mungkin ada sesuatu yang lebih dari itu?

Sesuatu yang lebih dalam, lebih misterius, sesuatu yang bahkan sampai saat ini belum sepenuhnya kita pahami.

Kalian percaya begitu saja?

Menerima teori ini tanpa mempertanyakan lebih jauh?

.

.

.

.

Hampir 4 miliar tahun yang lalu

Bumi lahir, sebuah bola batuan yang panas dan tidak bersahabat. Namun, waktu perlahan mengubahnya.

Dalam milyaran tahun, ia menjadi sebuah dunia yang subur, penuh kehidupan.

Air memenuhi cekungan yang luas, membentuk lautan.

Atmosfer yang awalnya beracun menjadi penopang kehidupan.

Perlahan, dari molekul-molekul kecil yang sederhana, berkembanglah organisme pertama yang menghuni planet ini.

Lalu, lahirlah berbagai bentuk kehidupan, tumbuhan, hewan, dan akhirnya, manusia.

Manusia.....

Makhluk yang begitu sering menganggap dirinya berbeda, lebih tinggi, lebih unggul dari makhluk lain.

Tetapi, pernahkah kalian berhenti sejenak dan berpikir, apa benar kita begitu berbeda?

.

.

.

.

Lantas apa pernah kalian menganggap diri kalian tidak jauh berbeda dengan hewan?

.

.

.

.

Tidak, bukan begitu!

.

.

.

.

Mengapa?

.

.

.

.

Suara seorang lelaki memecah kesunyian yang begitu kental.

"Kau tahu," katanya, suaranya terdengar santai namun penuh dengan nada yang seolah mengundang perdebatan.

Wajahnya tampak tidak terlalu muda, meskipun usianya mungkin tak jauh lebih tua dariku.

Matanya menatap kosong ke arah rak buku di hadapannya, seolah menunggu responku.

"Aku selalu merasa teori evolusi itu... terlalu sederhana," lanjutnya, suara itu masih terdengar penuh keengganan, seolah dia sedang berbicara dengan diri sendiri.

Aku mengerutkan kening, tertarik dengan apa yang baru saja dia katakan.

"Sederhana?" gumamku, sedikit tidak yakin apakah aku benar-benar mendengar dengan tepat.

"Ingin sekali aku membaca catatan Akhasic," katanya, dengan nada seperti orang yang sudah lelah dengan segala informasi yang ada di dunia ini.

"Tapi sayang, itu hanya mitos, bukan?"

Suasana kembali hening, hanya terdengar suara derap langkah kaki di lorong perpustakaan.

.

.

.

.

"Paranoid lagi?" kata Diego sambil tertawa kecil, mencoba mengurangi ketegangan. Tangannya yang hangat menepuk bahuku.

"Ayolah, rileks Kai. R-I-L-E-K-S. Nikmatin aja momen ini."

.

.

.

.

Lantas apa pernah kalian menganggap diri kalian tidak jauh berbeda dengan hewan?

Tidak?

Apakah itu karena manusia memiliki akal dan pikiran, sementara hewan tidak?

Tetapi bukankah kita percaya pada teori evolusi yang mengatakan bahwa manusia berasal dari kera?

Jika benar demikian, apa yang membuat manusia menjadi manusia, sementara kera tetap menjadi kera?

Kenapa evolusi seolah berhenti untuk mereka, tetapi berlanjut untuk kita?

Homo Sapiens, spesies yang lebih memandang dirinya lebih tinggi dari hewan.

Kenapa kita satu satunya diantara ribuan makhluk yang mendapatkan pemikiran melalui hasil evolusi?

Atau… apakah ada sesuatu yang belum kita pahami? sesuatu yang ikut andil dalam hal ini?

.

.

.

.

Pernahkah kalian mempertimbangkan bahwa manusia purba, yang sering digambarkan dalam buku-buku sejarah dan museum, mungkin bukan nenek moyang kita secara langsung?

Hanya kerabat dekat kera dan manusia bijak seperti kita?

Pernahkah kalian berpikir bahwa mereka hanyalah hewan yang sudah punah?

.

.

.

.

Sangat lucu bukan?

Sebuah Kebenaran.

.

.

.

.

Hampir 4.000 tahun yang lalu, sebuah bangunan tercipta—

Piramida...

Apa spesialnya?

Kenapa selalu ada daya tarik yang begitu kuat pada struktur ini?

Aku berdiri di hadapan piramida yang menjulang tinggi, seolah-olah menantang langit dengan keagungannya.

Bentuknya yang megah dan kokoh membuatku merasakan kekuatan yang tak terucapkan.

Batu-batu besar yang disusun begitu presisi, seakan-akan membentuk sebuah misteri yang tak pernah sepenuhnya terpecahkan.

Mengapa piramida, dari zaman kuno hingga saat ini, selalu menjadi objek perhatian manusia?

.

.

.

.

Tunggu sebentar....

Siapa yang bilang itu hanya manusia?

.

.

.

.

Terlalu banyak lubang dalam sejarah kita bukan?.

Lubang-lubang itu terbuka lebar, penuh dengan misteri yang tak kunjung terjawab.

Tapi apakah itu berarti kita harus menyerah?

Apakah itu berarti kita harus puas dengan jawaban yang setengah matang?

Ups maaf...

Maksudku mentah

.

.

.

.

Ini gila...

"Peradaban yang hilang...? Atlantis yang mereka katakan..." gumamku pelan, suaraku hampir tenggelam oleh keheningan yang menyelubungi tempat ini.

Rasa takjub mengalir begitu saja, membuat dadaku terasa sesak oleh kekaguman yang luar biasa.

Aku berdiri mematung, mataku tak bisa lepas dari pemandangan yang terbentang di depanku.

Semua yang kukira hanya legenda, hanya cerita kosong yang diceritakan orang-orang, kini terwujud di hadapanku.

Atlantis.

,

,

,

,

Aku melihatnya. 

"Ini bukan hanya tentang menemukan sebuah peradaban... ini tentang menemukan kembali bagian dari diri kita yang hilang," pikirku, meresapi setiap detik yang terasa begitu penting.

.

.

.

.

Bulan malam itu memancarkan cahaya merah yang menakutkan, seolah-olah darah mengalir dari luka yang mengoyak langit.

Cahaya itu memancar dengan penuh kebencian, menciptakan bayangan-bayangan mengerikan yang bergerak dengan kejam, seolah hidup, melintasi setiap celah istana yang kini telah menjadi tempat kehancuran.

Ruang-ruang gelap itu terasa seperti menghirup nafas dari dunia lain, satu dunia yang penuh dengan kekuatan terlarang dan kebencian yang tak terhingga.

Aku berdiri di atas puncak istana yang hancur, di tengah reruntuhan batu hitam yang seakan-akan telah dibakar oleh amarah yang tak dapat dibendung.

Setiap sudut yang kupandang dipenuhi dengan kehancuran yang menandakan kedatangan kekuatan yang jauh lebih besar dari apa yang bisa ku bayangkan.

Di kejauhan, terdengar suara-suara mengerikan, seolah-olah bumi sendiri sedang merintih di bawah kekuatan yang tak kasat mata ini.

Aku menyentuh luka yang terasa perih di tubuhku, luka yang kuterima dalam pertempuran yang tidak seimbang ini.

Darah mengalir dari lukaku, menciptakan jejak yang menghubungkan aku dengan kegelapan yang ada di sekitar.

Makhluk yang telah menimbulkan malapetaka ini, makhluk yang tampaknya tidak akan pernah berhenti, masih ada, bersembunyi di balik bayang-bayang istana ini.

"Makhluk sialan..." gumamku dengan suara parau, mencoba mengusir rasa sakit yang menggerogoti tubuhku.

Aku mencoba untuk berdiri tegak meski tubuhku terasa lemah, merasa kesulitan untuk melawan segala yang ada di sekitar. Setiap gerakan terasa berat, seolah-olah dunia ini sendiri berusaha untuk menghancurkanku.

Tangan kiriku meraba permukaan batu yang hangus di bawah kakiku, mencoba mendapatkan pegangan. Rasa panas dan dingin bercampur dalam tubuhku, menambah penderitaan.

Namun, di balik semua rasa sakit itu, ada satu hal yang jelas.

Aku tidak akan membiarkan dunia ini hancur begitu saja.

Apa pun yang terjadi, aku akan bertahan, sampai aku meraih tujuanku.

.

.

.

.

"Ini dari Apollo 11, kami berhasil mendarat di bulan."

"Kami ulangi, ini adalah Apollo 11. Kami berhasil mendarat di bulan."

Suara jernih dan formal itu memecah keheningan malam, menyebar ke seluruh dunia, mengalir melalui radio dan televisi, membawa berita yang tak terbayangkan sebelumnya.

Pada malam yang penuh keajaiban itu, seluruh dunia menyaksikan momen bersejarah saat Apollo 11, dengan keberanian dan tekad yang tak tergoyahkan, mendarat di permukaan bulan.

.

.

.

.

Namun, bagi Neil Armstrong dan Buzz Aldrin, momen itu lebih dari sekadar pencapaian luar biasa.

Ini adalah langkah pertama manusia ke dunia yang tak pernah terbayangkan, lebih dari sekadar menapakkan kaki di bulan.

Keheningan luar biasa yang mereka rasakan sejak pesawat mereka mulai menuruni permukaan bulan menyelimuti hati mereka dengan kegelisahan yang sulit dijelaskan

Mereka berada di luar angkasa, begitu jauh dari rumah mereka, jauh dari kehidupan yang mereka kenal.

Pendaratan ini, yang seharusnya menjadi puncak keberhasilan umat manusia, tercipta dalam kesunyian yang luar biasa, memunculkan perasaan yang berbeda.

Terkadang, keberhasilan besar datang dengan ketakutan yang tidak terucapkan.

Dengan hati-hati, mereka melangkah keluar dari Lunar Lander, menuruni tangga, dan pertama kali menginjakkan kaki di permukaan bulan yang dingin dan hampa.

Langkah pertama Neil Armstrong menggema di udara tanpa gravitasi, momen yang akan dikenang selama berabad-abad.

.

.

.

.

"Ini adalah langkah kecil ku, namun ini adalah langkah raksasa bagi peradaban umat manusia kedepannya," 

.

.

.

.

"Kenapa... kenapa aku merasa ada yang salah?" suara Armstrong terdengar gemetar, lebih dari sekadar kelelahan. Ia berbalik dengan tatapan yang penuh kecemasan, wajahnya tertekan, seolah-olah ada sesuatu yang jauh lebih besar dari mereka yang sedang mengawasi.

Buzz Aldrin, yang berdiri di dekatnya, mulai merasakan hal yang sama.

"Ada apa denganmu?" tanyanya, tatapannya berpindah antara Armstrong dan langit yang luas, begitu jauh dari Bumi, namun merasa seperti ada sesuatu yang mengintai di luar sana, tersembunyi dalam kedalaman tak terjangkau.

.

.

.

.

"Kalian tak seharusnya di sini," gumamku pelan menyaksikan kilasan tersebut, melihat mereka di sana, di permukaan bulan yang sepi, begitu jauh dari tempat mereka dilahirkan.

Tubuh kalian tidak dirancang untuk keluar dari tempat kalian dilahirkan....

"Belum waktunya..." gumamku lebih dalam,

.

.

.

.

Seseorang menatap layar holografik itu dengan tatapan yang tajam, seolah memahami lebih banyak dari yang orang lain sadari.

Suara dalam hatinya berbisik, sebuah firasat yang tak bisa ia abaikan.

"Apa ini baru permulaan ?" -

  1. Dalam bahasa Latin, "Homo" berarti "manusia" dan "sapiens" berarti "bijaksana" atau "cerdas."
    Jadi, "Homo sapiens" dapat diterjemahkan sebagai "manusia yang bijaksana" atau "manusia yang cerdas,"
  2. Mereka ialah manusia purba
  3. Mentah disini ditujukan kepada jawaban jawaban yang seolah olah dibuat oleh manusia itu sendiri dari probabilitas yang mereka pikir mendekati, padahal itu tidak sepenuhnya benar (bahkan salah).
    Manusia butuh penjelasan. Oleh sebab itu mereka membuat dan menyusunnya sendiri.
  4. Mengisyaratkan bahwa ini adalah titik awal yang dibuat manusia.
    Manusia yang notabenenya kecil di alam semesta akan membuat sebuah langkah untuk peradaban mereka sendiri selanjutnya.
  5. Maksud tempat kalian dilahirkan ialah, bumi.
    Itu sebabnya saat misi luar angkasa yang memerlukan pakaian ruang angkasa dan pelatihan yang dirancang khusus sebelum misi, untuk apa?
    Untuk beradaptasi. Tapi apakah bisa? Tidak ada yang tahu.