Aura kematian yang menyelimuti udara begitu kuat, hampir seperti cengkeraman tak kasatmata yang perlahan-lahan mencengkram tubuhku, meresap ke dalam tiap urat darah.
Sejak kami pertama kali memasuki lorong bawah tanah ini, firasat burukku semakin membesar, seolah semakin mengarah ke sesuatu yang tak terelakkan.
Setiap langkah yang kuambil semakin memperburuk perasaan tak nyaman yang sudah menjalar dalam diriku.
Dinding-dinding yang dingin dan lembap memantulkan bisikan-bisikan samar, suara-suara tak jelas yang seolah berasal dari kedalaman yang lebih gelap, lebih jauh lagi, seperti ada sesuatu yang mengintai di kegelapan itu.
.
.
.
.
Setiap bunyi langkah kami terasa bergema dalam ruang yang sunyi, seolah setiap suara kami menjadi panggilan bagi sesuatu yang mungkin bersembunyi di sana, menunggu saat yang tepat untuk menyerang.
Aku bisa merasakan Diego ada di belakangku, langkahnya mulai melambat, dan napasnya terdengar lebih berat.
Aku tahu dia merasa sama seperti aku, terperangkap dalam rasa takut yang mencekam.
"Kenapa tempat ini terasa begitu salah?" gumam Diego, suaranya hampir tak terdengar.
Aku mengangguk kecil tanpa menoleh, terlalu sibuk memeriksa setiap sudut gelap di sekeliling kami, tempat-tempat yang tampak penuh dengan bayangan yang bergerak meski tak ada angin.
Aku merasakan ada sesuatu yang mengintai kami, sesuatu yang tak ingin kami lihat atau pahami.
.
.
.
.
Tiba-tiba, mataku menangkap gerakan di ujung lorong, sebuah bayangan besar yang bergerak pelan namun pasti.
Tubuhku langsung menegang, seperti reaksi alami dari naluri untuk bertahan hidup.
Tanpa berpikir panjang, aku meraih lengan Diego dan menariknya ke belakang pilar terdekat.
"Diam," bisikku, sambil menempelkan jari ke bibirku, mengisyaratkan Diego untuk tidak membuat suara sedikit pun.
Diego mengintip perlahan dari balik pilar.
Aku bisa melihat matanya membelalak, napasnya tersendat, dan tubuhnya kaku.
Bibirnya bergerak, namun tak ada suara yang keluar. Dalam keheningan yang mencekam itu, kami hanya bisa mendengar suara detak jantung kami sendiri.
Beberapa detik berlalu, namun rasanya seperti seumur hidup.
Kemudian, dengan suara yang hampir tak terdengar, Diego berbisik,
"Kai.... Apa itu…?"
Aku tak langsung menjawab.
Mataku terpaku pada sosok besar yang kini tampak lebih jelas.
Makhluk itu, berdiri di ujung lorong, dengan tubuh aneh yang tampak seperti perpaduan antara serangga raksasa dan sesuatu yang hampir humanoid.
Tubuhnya dipenuhi duri tajam yang mengeluarkan kilatan cahaya berbahaya.
Dari rahangnya menetes cairan berkilauan, seolah membentuk jejak yang mengerikan.
Matanya bersinar merah, seperti bara api yang menyala, seperti serangga diluar....
Namun lebih humanoid.
"Kenapa? Kenapa bisikan itu membawa kita ke sini?" pikirku, berusaha memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Mengapa kami diarahkan menuju makhluk ini, entah itu takdir atau kebetulan.
Semua pertanyaan ini berkecamuk di pikiranku.
Lalu, tiba-tiba layar kecil di pergelangan tanganku menyala.
Cahaya biru yang tiba-tiba muncul itu menusuk kegelapan, menampilkan sebuah pesan yang membuat darahku berdegup kencang.
Aku membaca pesan itu dengan cepat, dan saat aku melihatnya, jantungku terasa berhenti sejenak.
.
.
.
.
----------------------------------
Hidden Quest -
----------------------------------
Deskripsi : Ras serangga Voraxes adalah ras masih yang sangat kuat, merupakan musuh bebuyutan kaum elf. Tidak ada yang tahu pasti mengapa para elf, yang dikenal cinta damai, begitu membenci mereka. Desas-desus menyebutkan bahwa Voraxes haus akan evolusi, rela menghancurkan ekosistem untuk bertahan hidup.
Kesulitan : Mustahil → Sulit (karena ras ini baru berpindah dimensi, kekuatan mereka melemah. Ini adalah kesempatan emas!)
Misi : Karena koloni Voraxes sangat tergantung pada Ratu mereka, matinya sang Ratu akan menyebabkan kehancuran seluruh koloni. Tugasmu adalah menemukan dan menghancurkan Ratu Voraxes sebelum mereka kembali memperkuat diri.
Hadiah : Membentuk Jalur Lanjutan Kelas ( Sesuai Keinginan Pengguna )
----------------------------------
.
.
.
.
Aku terdiam, membiarkan pesan itu meresap dalam pikiranku. Ras Voraxes, musuh yang bahkan kaum elf saja tak dapat memahami sepenuhnya.
Rasanya seperti ada sesuatu yang menekan dadaku, sesuatu yang membuatku merinding, baik karena tingkat kesulitannya yang ekstrem maupun karena rasa gelisah yang menyelimuti setiap kata dalam misi ini.
"Mustahil" berubah menjadi "Sulit" seolah-olah mengundang kami untuk percaya bahwa ini adalah tantangan yang masih bisa kami atasi, padahal sejujurnya kami tahu bahwa kami belum siap untuk sesuatu yang sebesar ini.
.
.
.
.
Aku menoleh cepat ke arah Diego yang berdiri di sampingku, tampak sama terkejutnya dengan diriku.
"Kamu juga dapat pesan itu?" tanyaku, hampir berbisik.
"Iya," jawabnya singkat, wajahnya mulai tampak memucat, senyum tipis yang biasanya selalu terlukis di wajahnya kini hilang.
Dia terlihat lebih serius dari sebelumnya.
Diego menatap layar kecil di pergelangan tangannya dengan keraguan yang semakin jelas.
"Ini gila. Kita bahkan nggak tahu apa-apa tentang makhluk itu, apalagi cara melawannya."
"Bisikan ini... apa dia ingin kita mati?" gumamku, merasa cemas.
Diego menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri.
"Kita nggak bisa bertaruh nyawa untuk sesuatu yang nggak jelas seperti ini. Kita harus pergi sekarang."
Aku mengangguk kecil, berusaha menahan panik yang perlahan menguasai diriku.
Rasa takut itu semakin menggerogoti, namun aku tahu kami harus tetap tenang.
"Jangan gegabah. Tetap diam, dan jangan menarik perhatian," kataku dengan suara serak, meski dalam hati, aku tahu perasaan kami sudah tidak bisa disembunyikan lagi.
Namun, meskipun aku sudah memberi peringatan, ada sesuatu dalam diriku, suatu dorongan dari indraku yang seakan memberitahuku untuk bertindak lebih cepat.
.
.
.
.
Aku merasakan ada sesuatu yang bergerak mendekat.
"MENUNDUK!!!" teriakku, hampir tidak percaya pada diriku sendiri.
Aku menarik Diego menjauh, tubuhku langsung menempel ke permukaan lantai yang dingin.
Makhluk itu muncul dari kegelapan dengan kecepatan yang tak terbayangkan. Tubuh besar dan gelapnya meluncur dalam kecepatan yang mengerikan.
Dalam sekejap, angin kencang melesat di atas kepala kami, menerjang pilar di samping kami dengan kekuatan luar biasa.
Aku bisa merasakan angin kuat dari serangannya yang melesat di atas kepala kami. Pilar di samping kami menjadi korban.
.
.
.
.
BOOMMMM!!!!
.
.
.
.
Suara dentuman keras itu menggetarkan seluruh lorong, diikuti serpihan batu yang berhamburan ke mana-mana.
Pilar itu runtuh, hancur berkeping-keping, dan debu yang tertiup memenuhi udara.
Aku dan Diego terjatuh ke belakang akibat getaran itu, tubuh kami terguncang oleh kekuatan ledakan dari keruntuhan pilar tersebut.
"LARI!" teriakku, berusaha menarik Diego yang tampak terpaku dalam ketakutan.
Tapi makhluk itu tak memberi kami kesempatan untuk kabur.
Dengan gerakan yang lebih cepat dari yang bisa kami bayangkan, ia melompat lagi, kali ini dengan cakar-cakar tajam yang siap menghantam kami.
"AWAS!" teriakku keras, tetapi terlambat.
Dalam sekejap, salah satu cakar makhluk itu meluncur tepat ke arah Diego.
Ia berguling ke samping pada detik terakhir, tetapi cakar itu tetap berhasil menggores lengan kirinya, meninggalkan luka panjang yang mengalirkan darah segar.
"Sialan!" Diego mengumpat, wajahnya penuh amarah dan rasa sakit yang tidak bisa disembunyikan.
"Apa kita masih bisa lari? Kita nggak punya pilihan selain bertarung!" kataku, dengan perasaan campur aduk, rasa takut, marah, dan putus asa yang bercampur dalam satu tubuh.
Diego mengangguk, namun terlihat jelas bahwa tubuhnya gemetar.
Kami hanya memiliki tangan kosong, sementara makhluk itu tampak tak tersentuh oleh serangan apapun yang kami lakukan.
Rasanya, peluang kami untuk menang semakin tipis, tapi aku tahu menyerah bukanlah pilihan.
Makhluk itu menyerang lagi, kali ini dengan kecepatan yang sangat mengejutkan untuk ukurannya yang besar.
Aku melompat ke samping, merasakan angin yang tersisa dari tubuhnya yang hampir menghantamku, sementara Diego dengan cepat berguling ke arah yang berlawanan.
Makhluk itu mendarat dengan keras, menghantam tanah dengan kekuatan luar biasa yang meninggalkan retakan besar di lantai batu.
Sesaat, aku melihat tanah berguncang, memantulkan getaran yang hampir memecah seluruh lorong.
Tanpa ragu, Diego melancarkan serangan lebih dulu. Ia melompat dan mengarahkan tinjunya ke bagian leher makhluk itu, berharap bisa menghentikan geraknya.
Namun, tinju Diego hanya menyentuh kulit keras makhluk itu, yang seperti terbuat dari baja.
Tak ada cedera, hanya kemarahan yang semakin terlihat jelas di mata merah menyala miliknya.
Makhluk itu menggeram keras, siap melancarkan serangan balik yang lebih ganas.
.
.
.
.
"ANTENA! Coba serang antenanya!" teriakku, suara ku tegang, hampir seperti bisikan, namun penuh perintah.
Diego menangkap maksudku.
Tanpa ragu, ia melompat dan dengan keberanian yang tak terduga, ia mencoba mencengkeram leher makhluk itu, berusaha mendapatkan posisi untuk meraih antenanya yang besar.
Aku berlari menuju makhluk itu.
Tangan ku meraih salah satu antenanya, menggenggamnya dengan sekuat tenaga, menariknya dengan seluruh berat tubuhku untuk mencoba membuat makhluk itu kehilangan keseimbangan.
"KYEEIIIIAAAA!" teriakan makhluk itu menggema, begitu keras dan mengerikan, hingga hampir membuatku kehilangan keseimbangan.
Diego terjatuh, karena monster itu memberontak keras.
Jeritan mengerikan keluar dari mulut makhluk itu, suaranya begitu memekakkan hingga aku hampir kehilangan keseimbangan.
Rasanya seakan telinga dan kepala ku penuh dengan desingan tinggi.
Diego yang semula terjatuh, segera bangkit dan bersiap melancarkan serangan lanjutan.
Tapi makhluk itu, meskipun limbung, tidak menyerah. Sebaliknya, ia malah semakin liar.
Dalam sekejap, cakar besar yang tajam menembus bahuku.
"SIALAN! MAKHLUK SIALAN!!!!!!" teriakku frustasi sambil melepaskan cakarnya yang tajam.
Diego yang melihat aku tertusuk menjadi panik dan dia refleks menggunakan badannya untuk membuat makhluk itu menyingkir.
"SIALAN MINGGIRR!!!" teriaknya
Makhluk itu segera terpental ke dinding dan membuat tusukannya padaku lepas.
.
.
.
.
"ARGHH!" Aku berteriak keras, tubuhku merintih kesakitan.
Luka di tubuhku semakin terasa menyakitkan, namun aku tahu aku harus bertahan.
Diego, meskipun kelelahan dan terluka, bangkit kembali.
"Kau baik-baik saja?" suara Diego terdengar cemas, menyelusup melalui kegelapan, dipenuhi keprihatinan yang begitu jelas meskipun tubuhnya sendiri terlihat begitu lelah.
"Masih bisa ditahan..." Aku menggigit bibir, berusaha menahan rasa sakit yang semakin menguasai tubuhku.
Setiap detak jantungku terasa seperti palu yang terus menghantam tubuhku, dan darah yang terus mengalir membuatku semakin lemah.
Makhluk itu, meskipun terluka, tak menyerang kami lagi.
"Diego! Makhluk itu!" Aku mencoba tetap rasional, dan benar saja. Ada yang aneh dari makhluk itu.
Tubuh besar dan berbulu itu mulai bergerak liar, melesat menuju lorong yang lebih dalam, seakan-akan berusaha melarikan diri dari kami.
Diego kemudian berbalik melihat makhluk itu, ia seperti melarikan diri.
Aku bisa mendengar nafas lega dari Diego. namun ada yang aneh tentang itu.
Aku menahan napas.
Sesuatu dalam diriku mulai memperingatkan, dan perasaan itu semakin menguat.
.
.
.
.
"Dia mencoba memberi sinyal ke ratu!" aku berteriak.
"Diego, hentikan dia! Jangan biarkan dia sampai ke sana!" suara ku serak, penuh ketegangan.
Diego yang tadinya lega dan hendak memeriksa luka ku, kini menjadi sedikit panik.
Walaupun bingung Diego sama sekali tidak ragu, ia langsung berlari mengejar monster itu.
Ia bergerak dengan kecepatan penuh, seolah-olah kelelahan tidak ada artinya baginya saat melihat ancaman itu semakin mendekat.
Ia menyalurkan semua kekuatan yang ada dalam dirinya, melompati kegelapan yang semakin pekat, dan akhirnya menyerang makhluk itu sekali lagi.
Aku berusaha mengikuti, meskipun tubuhku sudah terlalu lemah.
Setiap gerakan terasa seperti menyayat daging, namun aku tahu aku tidak bisa membiarkan Diego bertarung sendirian.
Dalam keadaan seperti ini, aku harus berjuang, apapun risikonya.
Diego sudah hampir mencapai makhluk itu, dia meraih leher makhluk itu dan mencoba mencabut antenanya dengan gerakan cepat dan penuh kekuatan.
.
.
.
.
Namun usahanya gagal....
.
.
.
.
Aku berusaha membantu dengan memegang kaki makhluk itu, berusaha memperlambat gerakan makhluk itu.
Namun, makhluk itu menendangku dengan brutal. Tubuhku terlempar ke dinding, rasanya seluruh tubuhku retak dan hancur oleh benturan keras itu.
Tidak hanya aku. Diego juga dilempar ke samping, tubuhnya terjatuh dan terseret.
Namun, meskipun dia terluka, dia tak menyerah. Wajahnya penuh amarah dan tekad, matanya menyala dengan semangat yang tak terbendung.
Dengan sekuat tenaga, ia bangkit dan menyerang makhluk itu sekali lagi.
Kali ini dengan lebih brutal.
Makhluk itu membanting tubuh Diego ke tanah dengan keras, hingga tubuhnya tergeletak hampir tak bergerak.
Makhluk itu menginjak tubuh Diego dengan keras, mendorongnya semakin dalam ke tanah.
"Diego!" teriakku, rasa khawatir menghimpit dadaku.
Aku mencoba mengumpulkan sisa tenaga yang ada, namun tubuhku terasa semakin berat, semakin tak terkendali.
Diego meringis, wajahnya penuh rasa sakit, namun ia masih menggenggam kaki penjaga itu dengan erat.
"Kau tidak akan bisa kabur, sialan!" teriaknya dengan suara serak, meskipun napasnya tersengal-sengal dan matanya dipenuhi dengan rasa sakit.
Aku bisa merasakan kekuatan yang memancar dari setiap kata yang diucapkannya, dan meskipun ia kelelahan, ia tetap berusaha bertahan.
.
.
.
.
Aku mencoba mengumpulkan sisa-sisa tenaga yang masih ada.
Tubuhku terasa remuk, hampir tak bisa digerakkan. Tapi aku harus bergerak, aku harus membantu
Diego. Aku tahu bahwa hanya dengan bekerja bersama, kami bisa menghentikan makhluk ini.
Makhluk itu, yang mungkin karena antenanya yang rusak, tidak menyadari keberadaanku di belakangnya. Ini adalah kesempatan kami.
Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada, aku melompat ke arah makhluk itu dan meraih sisa antenanya yang masih terhubung ke kepalanya.
Tangan ku mencengkeram dengan sekuat tenaga, meskipun rasa sakit yang terus menggerogoti tubuhku.
Aku menarik antena itu dengan seluruh kekuatan yang tersisa di tubuhku, mengabaikan rasa sakit yang semakin parah.
Aku tidak peduli lagi dengan segala rasa sakit yang menggerogoti tubuhku. Hanya satu hal yang ada di pikiranku, menghentikan makhluk ini, apapun caranya.
Dengan satu tarikan terakhir, antena itu terlepas dari kepalanya.
.
.
.
.
"KAAARRRGH!" Makhluk itu menjerit dengan keras, suara jeritannya menggema di seluruh lorong, memenuhi udara dengan teriakan penuh penderitaan.
Cairan hitam hijau keluar dari luka antenanya, menyembur deras dengan kekuatan yang luar biasa.
Makhluk itu bergetar hebat, tubuhnya gemetar seperti gelombang, dan akhirnya ia runtuh ke tanah dengan suara yang mengguncang seluruh lorong.
Terpukul keras, ia tergeletak tak bergerak. Cairan hijau kental terus mengalir keluar, dan perlahan, makhluk itu tak lagi bergerak.
Diego, yang juga tergeletak di tanah, matanya yang penuh luka menatapku dengan tatapan yang lelah namun penuh makna.
.
.
.
.
"Kita... apakah kita berhasil?" suaranya serak, penuh kelelahan, namun ada kilau harapan yang samar terlihat di matanya.
"Kupikir begitu..." jawabku, tubuhku yang hampir tak bisa digerakkan kini terasa begitu lemas.
Aku langsung menjatuhkan diriku di samping Diego, dan kami hanya terdiam dalam keheningan yang terasa begitu berat, namun memberi rasa lega.