Aku mengambang, melayang di ruang kosong yang tak berbatas, luar angkasa.
Kosong. Tanpa batas. Tanpa arah.
Sekarang seperti aku sudah tidak takut akan kematian lagi, aku hanya pasrah.
Tiba-tiba, aku merasakan tubuhku seperti tersedot ke dalam lubang cacing di tengah angkasa yang gelap.
Tarikan itu begitu kuat dan cepat, membuat kepalaku terasa berputar hebat hingga aku terpaksa menutup mata karena rasa pusing yang melanda.
Jika tubuh fisikku berada di sini, aku yakin itu sudah hancur berkeping-keping dalam sekejap.
Kecepatannya terlalu luar biasa, jauh melampaui kecepatan cahaya.
Aku tak bisa menentukan apakah ini berlangsung berapa lama.
Waktu seolah kehilangan arti dan makna di tengah arus deras ini.
.
.
.
.
Akhirnya, aku merasa tarikan itu berhenti.
Perlahan, aku membuka mataku, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.
Aku tiba di sebuah tempat yang benar-benar asing, sebuah ruangan yang sangat luas, namun dikelilingi oleh kegelapan yang begitu pekat.
Perasaan di sini terasa berat, seperti terperangkap dalam sebuah dimensi yang terpisah dari dunia yang kutinggalkan.
Hening yang mencekam, seakan waktu dan ruang di tempat ini tak bergerak, hanya ada keabadian.
Ruangan itu dipenuhi dengan jaring-jaring bercahaya yang memancar dari langit-langit yang begitu tinggi, menjuntai menuruni dinding-dinding yang tampak tak berbatas.
Cahaya yang lembut namun memancar dengan kekuatan yang tidak biasa, seakan-akan mengendalikan setiap sudut ruangan.
Jaring-jaring itu berkilau dalam warna yang hampir tak terdefinisikan, menebarkan aura misteri yang dalam.
Cahaya itu tak cukup untuk menerangi seluruh ruangan, namun cukup untuk menunjukkan betapa luasnya tempat ini.
Aku melayang, tubuhku kini hanyalah roh, tak terikat oleh gravitasi atau batasan fisik lainnya.
Aku bisa menembus dinding, menembus ruang, bahkan mencapainya tanpa suara atau jejak.
.
.
.
.
"Di mana ini…?" gumamku, suara itu lebih seperti bisikan yang mengalir dalam pikiranku, teredam dalam keheningan yang tak terpecahkan.
Lalu, pandanganku tertuju pada sosok yang berdiri di tengah ruangan.
Makhluk itu... sebuah entitas yang sulit dilukiskan dengan bahasa manusia, seolah keberadaannya melampaui batas imajinasi dan logika.
Di tengah kegelapan yang hening, ia berdiri, menatap dengan satu mata raksasa yang berpendar seperti pusaran kosmik, memancarkan cahaya emas bercampur kehampaan hitam.
Dua tanduk kokoh menjulang dari sisi kepalanya, seolah terbuat dari material yang tidak dikenal, berkilauan dengan pola-pola bercahaya yang tampak seperti rune kuno.
Tanduk-tanduk itu terhubung dengan lingkaran emas yang melayang di atas kepalanya, berputar perlahan seperti roda surgawi, mengeluarkan dengungan halus yang menggema jauh ke dalam jiwaku.
Tubuhnya diliputi oleh ornamen-ornamen tajam seperti duri berwarna emas di sekitar tubuhnya, menyatu dengan struktur tanduknya, menciptakan kesan seperti mahkota yang tak pantas disandang oleh makhluk fana.
Ornamen-ornamen itu bukan sekadar hiasan, mereka memancarkan energi agung.
Selubung yang membalut tubuhnya tampak seperti jubah, namun bukan kain biasa.
Motif ungu dan biru pada permukaannya bergerak perlahan, seperti aliran nebula yang hidup, menggambarkan keindahan dan kehancuran yang bersatu dalam harmoni.
Jubah yang nampak menyatu dengan badanya itu tidak memantulkan cahaya, tetapi malah menyerapnya, menciptakan bayangan yang terasa lebih gelap dari malam.
Makhluk itu tidak berasal dari dunia ini, atau mungkin bahkan dari dimensi yang dapat dijangkau oleh pikiran manusia.
Kehadirannya membawa rasa kecil, hina, dan tak berdaya, seolah keberadaanku sendiri hanyalah setitik debu di tengah kekekalan.
Meskipun aku adalah roh tanpa tubuh, keberadaanku terasa terhimpit oleh kekuatan yang memancar darinya.
Rasanya seperti gravitasi yang melampaui fisik, kekuatan yang menuntut tunduk bukan hanya dari tubuh, tetapi juga dari kehendak dan jiwa.
Aku hampir tersungkur, tetapi dengan susah payah, aku melawan dorongan itu, berusaha menjaga kesadaranku tetap utuh.
.
.
.
.
Pikiran rasionalku perlahan kembali, menghalau kekacauan yang bergemuruh di dalam diriku. Namun, rasa penasaran segera menguasai pikiranku.
Tidak mungkin makhluk sakral ini tidak menyadari kehadiranku
Semakin aku mengamati, semakin aku menyadari sesuatu yang tidak masuk akal.
Ini bukan peristiwa yang terjadi secara langsung.
Ini seperti memori dari masa yang sangat jauh, rekaman waktu yang entah bagaimana kini terhampar di depanku.
Aku seperti saksi tanpa bentuk, mengintip sesuatu yang tidak seharusnya kulihat.
Makhluk itu, dengan segala keagungannya, terlihat lelah.
Sebuah kelelahan yang bukan hanya fisik, tetapi seperti sesuatu yang telah terkikis selama berabad-abad.
Aku bisa merasakan emosi yang terpancar dari dirinya. kesedihan yang dalam, ketekunan yang abadi, dan harapan yang samar.
Di tangannya, ia memegang sebuah benang hitam yang kusut, tampak mati, tak bersinar.
Benang itu begitu kecil dibandingkan dengan keagungan sosoknya, tetapi entah bagaimana, aku tahu benda itu sangat penting.
Ia memandanginya dengan kesungguhan yang melampaui logika, seperti seorang seniman yang memandang karya yang hampir terlupakan.
Dengan gerakan yang sangat hati-hati, seolah setiap sentuhan memiliki makna, ia mulai memperbaiki benang itu.
Jarinya, yang bersinar seperti cahaya bintang, menelusuri setiap simpul yang rusak.
Bagian demi bagian direkonstruksi, diperbaiki, hingga perlahan benang tersebut mulai memancarkan cahaya lembut yang menghangatkan kegelapan di sekitarnya.
Proses itu tampak sederhana, tetapi ada sesuatu yang mendalam dalam fokusnya.
Seluruh keberadaannya, cahaya, energi, bahkan ruang di sekitarnya, terpusat pada tugas itu.
Seolah-olah, memperbaiki benang itu adalah inti dari keberadaannya.
.
.
.
.
"Apa…? Apa maksud semua ini?" pikirku, kebingungan semakin menyesaki diriku.
Kenapa aku berada di sini? Untuk apa aku melihat ini?
Setelah selesai memperbaiki benang itu, makhluk tersebut mengangkatnya dengan hati-hati dan memasangnya kembali ke ruangan tersebut.
Ruang yang terasa seperti jantung dari segala sesuatu, penuh dengan benang-benang lain yang berpendar dalam berbagai warna.
Ketika benang itu kembali bersinar di tempatnya, aku merasakan kelegaan aneh, seolah harmoni kosmik yang sempat terputus telah diperbaiki.
Namun, sebelum aku sempat mencerna sepenuhnya apa yang baru saja kulihat, tubuh ruhku terpental dengan kekuatan luar biasa.
Rasanya seperti ditarik oleh arus yang tak terlihat, dilemparkan melintasi ruang dan waktu dalam sekejap.
Ketika aku berhenti, aku mendapati diriku mengambang di hadapan sesuatu yang sama sekali berbeda.
Bukan ruangan itu lagi.
.
.
.
.
Di depan mataku terbentang sebuah planet. Ia mengambang di kehampaan, dikelilingi oleh bintang-bintang yang redup.
Planet itu terasa sangat akrab, warnanya abu-abu dan tandus.
"Apa ini? Planet mati?" pikirku, gemetar di tengah keheningan yang mencekam.
Anehnya, aku tidak hanya melihat planet itu.
Aku merasakannya.
Perasaan itu seperti aliran emosi yang menjalar langsung ke jiwaku, kesedihan yang dalam, kelelahan dari perjalanan panjang, tetapi juga sesuatu yang lebih kuat… sebuah harapan.
Harapan yang seperti api kecil, baru saja menyala kembali setelah hampir padam.
Planet itu seperti terlahir kembali.
Aku tidak tahu bagaimana atau mengapa, tetapi aku merasakan detak emosi yang jelas, seolah-olah planet itu memiliki jiwa.
Bagaimana mungkin?
Emosi dari sebuah planet?
Semakin terjebak dalam kebingungan yang tak berujung.
.
.
.
.
Saat aku berkedip, kehampaan itu bergeser menjadi sesuatu yang jauh lebih besar, jauh lebih menggetarkan.
Kini, aku melihat delapan planet lain mengambang, hampir sejajar sempurna.
Mereka membentuk formasi yang terasa sakral, seperti bagian dari ritual kosmik yang hanya terjadi sekali dalam miliaran tahun.
Seakan ada rasa familiar terhadap hal tersebut.
Bumi.
Planet itu adalah Bumi!
Tetapi sebelum aku bisa memastikan apa pun, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Rasa sakit yang luar biasa menyerangku.
Kepalaku terasa seperti dihantam oleh kekuatan tak kasatmata, lebih besar dari apa pun yang pernah kurasakan.
Mataku, meskipun tidak memiliki fisik, terasa terbakar, seolah-olah menatap langsung ke dalam inti matahari.
Tubuh ruhku, yang sebelumnya ringan dan bebas, mendadak terasa remuk, diliputi oleh penderitaan yang melampaui batas logika.
Energi dalam diriku terkuras habis.
Segala kekuatan yang kumiliki lenyap seketika, menyisakan kehampaan yang mencekam.
Aku memejamkan mata, mencoba melindungi kesadaranku yang mulai memudar. Namun, rasa sakit itu begitu dalam, menusuk hingga ke esensi jiwaku.
Tidak ada kata untuk menggambarkan derita ini, seolah tubuhku, bahkan sebagai roh, hancur berkeping-keping oleh kekuatan yang tidak mampu kupahami.
Tiba-tiba, segalanya berhenti. Saat aku membuka mata, hal itu telah lenyap. Dunia aneh yang kulihat sebelumnya tidak lagi ada.
Aku kembali.
.
.
.
.
Wajah Diego tampak memenuhi pandanganku, matanya yang biasanya penuh percaya diri kini dibayangi kepanikan dan ketakutan.
Ia mengguncang tubuhku dengan keras, suaranya menggema seperti lonceng peringatan.
"Kai! Sadar! KAIIIII!" teriaknya, nadanya penuh kepanikan, hampir seperti putus asa.
Aku membuka mataku dengan susah payah, seperti memanjat dari jurang tak berdasar.
Dunia di sekitarku terasa berputar-putar, kabur, seolah realitas itu sendiri menolak keberadaanku.
Napasku terengah-engah, pendek dan putus-putus, seolah paru-paruku sedang berperang melawan udara.
"HUH? YA?" gumamku, bingung, suaraku serak dan terdengar lebih seperti bisikan dari kedalaman.
Diego menatapku, ekspresinya sulit untuk dijelaskan.
Ada kelegaan yang terpendam, tapi juga ketakutan yang menusuk, seolah ia sedang melihat sesuatu yang tak seharusnya ada.
"Kai, kamu kenapa? Matamu… matamu mengeluarkan darah! Hidung, telinga, bahkan seluruh kukumu juga!"
"A... apa?" Aku berusaha mencerna kata-katanya, tetapi pandanganku beralih ke tanganku.
Saat melihat kuku-kukuku yang basah oleh darah, jantungku berhenti sejenak
Lalu, warna merah mulai mendominasi pandanganku, menghapus sisa-sisa dunia di sekitarku.
Tubuhku terasa hancur, bukan hanya lelah atau sakit, tetapi seperti tidak lagi memiliki tempat di dunia ini.
Aku tidak lagi merasa hidup, aku sedang remuk, sekarat.
.
.
.
.
Tidak kompatibel?
.
.
.
.
Sebuah kesimpulan samar melintas dalam pikiranku.
Badanku tidak mampu menanggung apa pun yang baru saja kulihat dan kualami.
Dan di tengah kekacauan itu, satu pikiran menggema dalam hatiku.
Apakah ini akhirnya?
Apakah aku akan mati?
Apa aku tidak di takdirkan untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi?
.
.
.
.
Namun, tepat ketika aku hampir tenggelam dalam keputusasaan, sesuatu yang aneh terjadi.
Cahaya muncul dari kegelapan, sebuah kilauan emas yang hangat dan penuh kekuatan.
Aku mengenali aura itu, cahaya yang sama yang muncul pada Diego sebelumnya.
Namun, kali ini… aura itu menyelimuti tubuhku.
Cahaya itu merasuk, melingkupi setiap sudut tubuhku yang terluka, menghancurkan rasa sakit seperti air yang menghapus api.
Aku bisa merasakannya, kehangatan yang tidak hanya menyembuhkan tetapi juga memperbaiki sesuatu yang lebih dalam.
Luka-luka yang seharusnya mematikan menutup dengan kecepatan yang tak dapat dijelaskan, kulitku yang terkoyak diperbaiki, bahkan lebih kuat dari sebelumnya.
Rasanya seperti tubuhku sedang di-upgrade.
Kukuku yang berdarah kini terlihat baru, mengkilap seperti kristal.
Setiap helai rambutku terasa berdenyut dengan kekuatan yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
Aku bukan hanya pulih, aku menjadi sesuatu yang lebih.
Suasana di ruangan itu terasa berubah, udara bergetar seperti merespons energi yang kini mengalir dari tubuhku.
Aku menatap tanganku, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.
.
.
.
.
----------------------------------
Jalur Lanjutan The Seeker Sesuai Keinginan Telah Dibuat
----------------------------------
Skill Telah Terbuka
----------------------------------
.
.
.
.
Aku terdiam, mencoba memahami kekacauan yang baru saja terjadi.
Suara Diego, meski penuh kecemasan, terdengar seperti gema yang jauh, seolah dunia nyata belum sepenuhnya kembali padaku.
"Kai, kamu kenapa?! Kenapa tadi aku panggil-panggil kamu tapi tidak menyahut? Dan darah itu semua… apa yang sebenarnya terjadi?!" suaranya memecah lamunanku, mengguncang kesadaranku kembali ke realitas.
"Ah…" aku mencoba menjawab, tetapi suaraku terdengar asing di telingaku sendiri.
Bergetar, namun dengan ketenangan yang tak seharusnya kumiliki dalam situasi ini.
Aku perlahan mengangkat tangan, membuka dan menutup telapak tanganku, seolah memastikan tubuhku masih milikku.
Bahuku, yang tertusuk dan berdarah parah, kini telah pulih sepenuhnya.
Kulitku kembali utuh, bahkan lebih halus, seolah tak pernah terluka.
Aku menatapnya dengan bingung, tetapi berusaha menyembunyikan kegelisahan dari Diego.
"Kurasa… ini efek dari kenaikan kelas, mungkin?" jawabku akhirnya, mencoba terdengar santai.
Diego menatapku tajam, matanya penuh keraguan.
"Tapi apa-apaan darah itu!!!" nada suaranya agak khawatir.
Aku memaksakan senyum tipis, mencoba mengalihkan perhatiannya.
"Aman, kok. Mungkin efek samping saja. Lagipula, lihat ini." Aku menunjuk bahuku, memperlihatkan bagaimana luka yang sebelumnya fatal kini telah sepenuhnya hilang, seperti tak pernah ada.
Hanya bekas noda darah saja yang sedikit menempel dibajuku.
Diego menatapnya lama dan mengecek kuku-ku dan yang lain lain, tatapannya bercampur antara tak percaya dan kewaspadaan.
Akhirnya, ia mengangguk pelan, meski jelas masih ada keraguan dalam dirinya.
"Kalau kamu bilang aman… tapi tetap saja, Kai. Kalau ada apa-apa, bilang aku, oke? Jangan sok kuat."
Aku hanya mengangguk kecil, menghindari tatapannya.
Dalam hatiku, aku tahu jika aku menceritakan semuanya, tentang tempat gelap itu, makhluk sakral yang melampaui pemahamanku.
Diego pasti akan menganggapku kehilangan akal.
Aku mengalihkan perhatian ke depan, ke layar transparan yang tiba-tiba melayang di udara di hadapanku.
Cahaya layar itu memancar lembut, tetapi keberadaannya terasa mendominasi, seolah menuntut perhatianku.
.
.
.
.
----------------------------------
Kelas: The Clairvoyant
----------------------------------
★★☆☆☆☆☆☆☆☆
----------------------------------
Deskripsi: Individu dengan kemampuan untuk mengintip ke dalam tirai masa lalu dan merasakan gema emosi serta kejadian yang telah berlalu. Awalnya, Clairvoyant hanya dapat melihat kilasan, tetapi potensi mereka untuk menguak rahasia tersembunyi sangat besar.
----------------------------------
Skill:
----------------------------------
Spirit Whisper (pasif)
Bisikan dari entitas spiritual terdengar di saat-saat mendesak, membimbing langkahmu.
Empathic Vision (pasif)
Mengintip kedalaman emosi seseorang, menguak rahasia yang mereka sembunyikan.
Vision (pasif)
Kilasan acak dari masa lalu atau masa depan. Terlalu acak yang terkadang sangat berbahaya bagi pengguna.
Echo Field (aktif)
Menghasilkan gema energi serangan musuh di masa lalu, baik serangan psikis maupun fisik. Biaya energi mental pengguna tergantung intensitas serangan.
Past Projection (aktif)
Memunculkan momen penting dari masa lalu objek yang disentuh. Biaya kekuatan mental dan jiwa tergantung kedalaman memori yang ingin diketahui.
----------------------------------
.
.
.
.
Dua bintang.
Hah, sekarang ada simbol dua bintang? Apa ini artinya aku telah naik ke evolusi kelas kedua?
Aku menatap deskripsi yang tertera di hadapanku, membaca setiap baris dengan hati yang berdebar.
Aku membaca setiap deskripsi dengan hati yang berdebar.
Pikiranku terhanyut dalam keingintahuan dan kekaguman.
"Jadi The Clairvoyant…" gumamku pelan, nyaris tak percaya.
Diego yang berdiri di sampingku mengerutkan kening, tampak bingung dengan ucapanku.
"Apa? Apa yang kamu bilang?"
Aku menoleh, sedikit kaget.
"Oh, ini kelasku yang baru… The Clairvoyant," jawabku pelan, berusaha terdengar santai.
Mata Diego melebar.
"Clairvoyant? apa itu?"
Aku menghela napas pelan, menatap layar yang mulai memudar.
"Sejenis peramal, mungkin."
Diego mengangguk, meskipun tampak bingung dengan penjelasanku.
"Hmm, menarik," katanya, lalu matanya mengalihkan pandangan sejenak, seperti ada kekhawatiran yang mengganjal dalam dirinya.
"Memangnya keinginanmu apa, Kai? Untuk kelas lanjutanmu? Uh… tapi kalau kamu nggak mau membicarakannya, nggak apa-apa."
Aku bisa merasakan ketegangan dalam suaranya. Sepertinya dia khawatir aku merasa tak nyaman dengan topik ini.
"Tidak, tidak, itu tidak apa-apa." Aku cepat menjawab, berusaha menenangkan kekhawatirannya.
"Sebenarnya, karena kamu bilang ingin melindungi orang lain, aku pikir aku nggak terlalu menginginkan kekuatan lagi."
"Aku lebih ingin tahu lebih banyak informasi tentang hal-hal seperti ini. Tentang kemampuan-kemampuan kita." Aku berhenti sejenak, mencoba merangkai kata-kata yang tepat.
"Dan ya, itu mungkin alasan kelasku sekarang adalah peramal." Aku tersenyum, meskipun senyum itu terasa sedikit pahit.
Diego mengangkat alisnya, terlihat sedikit terkejut tapi kemudian tersenyum.
"Woaahh... keren!!."
Aku tersenyum kecil, tapi ada rasa bingung yang masih menghantui pikiranku.
Namun, aku memutuskan untuk mengalihkan perhatian dari pemikiranku sendiri dan bertanya tentang dia.
Aku tersenyum kembali, meskipun keraguan masih menghantui pikiranku.
Untuk sesaat, aku memutuskan untuk mengalihkan fokus.
"Oh iya, skill-mu terbuka juga kan, Diego? Sekarang, lebih jelas skill yang kamu miliki kan?" tanyaku, berusaha memecah keheningan yang kian terasa di antara kami.
Diego menyeringai, matanya berbinar dengan antusiasme yang menyegarkan.
"Oh iya, sekarang semuanya terbuka. Ternyata aku punya lima skill, dua pasif dan tiga aktif," katanya, dengan semangat yang menular.
"Woah, lima? Tiga aktif? Keren banget!" Aku merasa sedikit iri mendengar itu.
"Aku cuma punya dua skill aktif,"
"Yang pertama, aku bisa menciptakan energi yang sama dengan yang lawanku gunakan, tapi dengan biaya kekuatan mental. Kedua, sebagai peramal, aku bisa membaca kenangan orang atau objek dengan menyentuhnya. Ada juga satu skill pasif yaitu bisikan yang mengarahkan kita sebelumnya." Aku memilih untuk tidak menyebutkan dua skill pasif lainnya yang kurasa tak perlu dibagikan.
"Woah, keren..." Diego terkesan, mengangguk mendengarkan.
"Skill-ku… Yang pertama pasif. 'Hati Baja,' membuatku tetap teguh dalam melindungi. Kedua, 'Refleks Pelindung,' memberi reaksi cepat untuk melindungi orang lain."
Aku mengangguk kagum.
"Yang aktif... pertama 'Cengkeraman Adamantine,' cengkeraman yang luar biasa kuat. Kedua, 'Tameng Manusia,' aku bisa mengambil serangan untuk orang lain dan memantulkannya. Terakhir, 'Seruan Perang,' teriakan yang menginspirasi rekan dan membuat musuh takut."
Aku tertawa kecil, menyadari betapa cocoknya skill itu dengan Diego.
"Ah, sangat mencerminkan dirimu," kataku, tersenyum.
Diego tersenyum malu. "Haha, sepertinya begitu."
Kami terdiam beberapa saat, menikmati keheningan yang mengisi udara di sekitar kami.
Perasaan lebih ringan menyelimuti diriku setelah percakapan itu, meskipun aku tahu masih banyak yang harus kutahu tentang diriku sendiri.
Namun, untuk saat ini, aku merasa lebih terhubung dengan Diego, seolah dunia sedikit lebih cerah.
Tiba-tiba, sebuah pop-up sistem muncul kembali, melayang di depan kami.
.
.
.
.
----------------------------------
Pemberitahuan
----------------------------------
Satu menit sebelum Zona Aman akan segera ditentukan.
Sistem akan mengaktifkan penandaan wilayah.
Siapkan diri Anda.
----------------------------------
.
.
.
.
Rasa tenang yang sebelumnya ada, kini mulai berganti dengan ketegangan yang semakin menggulung